Meninggalkan Desa

"Aku akan pergi dari desa ini, secepatnya!"

"Ya, aku pula. Besok kita berangkat, dengan atau tanpa restu!" Satrya memberi sahutan.

Setelah kejadian barusan, Akhza dan Satrya semakin yakin untuk meninggalkan desa. Rasa malu mereka terlampau tinggi.

Mereka berpisah di tengah jalan. Akhza segera masuk ke dalam rumahnya, disambut ibunya.

"Akhza, engkau sudah pulang. Makanlah segera. Ibu menemukan sayur pakis di rawa dekat sungai, sayur kesukaanmu."

"Wah, itu bagus, Bu! Sudah lama diriku tidak mencicipi sayur pakis masakan Ibu," sorak Akhza. "Tetapi sepertinya, ada yang ingin aku bicarakan dengan Ibu."

"Apa itu, Anakku? Tidak biasanya engkau meminta izin hanya untuk bertanya." Ibunya mengerutkan dahi tetapi tetap tersenyum.

Akhza membalas senyum, kemudian dirinya berkata lagi, "Aku ingin pergi keluar desa dan menjadi seniman bela diri hebat. Aku akan menyematkan desa dari jeratan tangan busuk penyamun-penyamun itu, sehingga kita semua dapat hidup aman dan damai."

Sang ibu kemudian menghela napas. "Nak, keinginan lama itu lebih baik kita bicarakan sambil makan, ya?"

Tetapi itu hanyalah sekadar bualan. Saat makan, ibunya selalu berusaha mengalihkan perhatian Akhza agar tidak membicarakan rencananya itu, tetapi pada akhirnya disadari pula oleh Akhza.

"Bu, aku serius."

Ibu Akhza kembali menghela napas panjang dan mengatakan, "Nak, kerajaan akan membantu kita. Kita hanya perlu bersabar dan menunggu."

"Menunggu sampai kapan, Bu?"

"Pasukan bantuan dari Geowedari akan tiba sebentar lagi, Nak. Di hadapan kerajaan, perampok-perampok itu tidak ada apa-apanya."

Akhza tertawa pelan. "Sampai kapan kita akan menunggu, Bu? Bapak pergi sendiri ke kotaraja dan meminta bantuan, tetapi dia pulang dengan tangan kosong. Kotaraja berjanji akan mengirim pasukan, tapi nyatanya, sampai Bapak gugur pun mereka tidak sampai. Apalah untungnya menyelamatkan desa kecil seperti ini." Akhza mendorong piringnya setelah kehilangan selera makannya. "Tapi bagiku, ini adalah tanah di mana aku lahir dan juga tanah di mana aku akan mati nanti. Aku tidak ingin desa ini hancur oleh ulah penyamun. Aku tidak ingin Ibu bernasib sama dengan Bapak."

"Nak Akhza, Ibu tidak mengapa mati terbunuh di tangan penyamun asalkan kau tidak pergi menantang bahaya di luar."

"Bapak adalah pendekar, Bu. Dia sudah berkelana ke mana-mana, dan lihatlah hasilnya, dia bisa melindungi kampung ini dan menyelamatkan bukan hanya istri atau anaknya, melainkan seluruh penduduk desa."

"Tapi pada akhirnya Bapak meninggalkan kita," kata ibunya lirih.

"Aku lebih baik mati sebagai pahlawan ketimbang hidup terinjak dan ditindih tahi kerbau seperti ini." Akhza memuncak, ia menggertak gigi. "Aku sudah berjanji pada Satrya untuk pergi dengan atau tanpa izin. Keputusan itu sebenarnya telah bulat." Lalu suara Akhza melemah, dan dia berdiri dari meja. "Tapi aku tak akan bisa melakukan itu. Aku akan tetap di sini, jika Ibu tidak mengizinkanku pergi."

Akhza meninggalkan seulas senyum sebelum pergi ke kamarnya. Sang ibu menghela napas panjang hingga tanpa sadar air matanya mengalir di pipi, wanita paruh baya itu pergi dari meja makan menuju kamarnya.

Akhza tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia merebah, tapi tidak bisa tertidur. Namun, entah apa gerangan, pintu kamarnya tiba-tiba diketuk. Tidak ada orang lain di rumah selain ibunya.

"Ada apa, Bu?"

"Nak Akhza, keluar terlebih dahulu. Ibu hendak bicara denganmu, pergi ke meja makan."

Akhza menarik napas panjang, lalu menghembuskan sedikit cepat sebelum dengan malas berdiri dan keluar dari kamar.

Ibunya terlihat sudah duduk di meja makan yang sudah dibersihkan dari hidangan yang tadi mereka makan. Akhza menarik kursi dan duduk berseberangan dengan wanita itu.

"Ibu tahu, bahwa ketakutan adalah hal yang sedikit berguna, tetapi kadang malah tidak berguna sama sekali. Percayalah, Nak, Ibu hanya takut terjadi sesuatu padamu." Ibunya berkata dengan hangat dan lembut, mengalahkan dingin dan sunyinya malam pada saat itu. "Namun Ibu lupa, bahwa darah Bapakmu mengalir di dalam tubuhmu. Dan Ibu yakin, kau akan menjadi lebih hebat dari Bapakmu."

Jantung Akhza berdebar, ia merasakan sesuatu yang bagus akan datang.

"Ibu izinkan kamu pergi." Wanita itu tersenyum, senyum terhangat yang pernah tercetak di bibir rapuhnya semenjak kepergian suaminya. "Asalkan engkau berjanji akan kembali ke desa ini sebagai pahlawan hebat dan mengusir penyamun-penyamun itu."

"Ibu, aku harap Ibu tidak sedang bercanda."

"Untuk apa Ibu bercanda di tengah malam seperti ini?"

"Kalau begitu, ini mimpi!" Akhza berdiri dari bangku, tangannya bergetar. "Aku akan kembali ke tempat tidur."

"Ibu belum selesai. Kembali duduk." Sang ibu bersikap seakan tegas, Akhza hanya  bisa menuruti, duduk tetapi tidak bisa diam, kakinya terus bergetar. "Ibu tidak mau kaulupakan desa ini nanti. Kembalilah setelah engkau berhasil, atau jangan kembali sama sekali. Ingatlah selalu perkataanku itu."

Mereka berkemas tengah malam itu juga. Akhza akan berangkat seusai janjinya kemarin, Satrya akan menjemputnya di pagi buta, lebih dini dari petani-petani yang berangkat ke sawah.

Semua barang bawaan Akhza telah siap sedia. Mulai dari pakaian, makanan kering, alat masak, hingga daun-daun herbal.

Tak seberapa lama kemudian, terdengarlah suara ketukan di pintu. Akhza dengan bersemangat segera bergerak menuju pintu dan membukakannya.

Terlihatlah Satrya yang berdiri sambil tersenyum lebar di depan pintu. Dia tampak menyoren sebatang golok yang sepertinya masih baru, pakaian rapi, dan bundelan besar di punggungnya, tak lupa juga dengan destar merah kebanggaannya di kepala.

"Kau sudah siap? Ayo kita lari sekarang, keburu ibumu bangun." Satrya sedikit berbisik, tapi sesaat kemudian ia meneguk ludahnya ketika melihat ibu Akhza berdiri tepat di belakang pintu sambil berdeham. "Oh tidak, sepertinya kita sudah terlambat"

"Aku sudah dapat izin, tenang saja." Akhza tertawa pelan. "Ayo masuk."

Satrya masuk lalu menyalami ibu Akhza sambil tertawa canggung.

"Apa kau sudah dapat izin dari orang tuamu, Satrya?" tanya ibu Akhza sedikit tajam.

"Tentu saja sudah, Ibu." Satrya kembali tertawa canggung lalu melirik Akhza seakan meminta bantuan untuk mengalihkan perhatian ibunya.

"Kalau begitu, kalian direstui. Ibu akan buatkan teh hangat sebelum kalian berangkat, di luar udaranya sangat dingin."

Ibu Akhza berjalan ke dapur, meninggalkan Akhza dan Satrya di ruang tengah. Segera setelah kepergiannya, Satrya menghembuskan napas lega.

"Bagaimana bisa kau dapat izin?" Satrya kembali bersemangat. "Aku kira kau tak akan dapat izin, melihat sikap ibumu yang begitu memanjakan dirimu."

"Agak sulit, tapi bukan masalah. Lalu, kenapa kau bisa mendapat izin?"

"Tidak ada satu pun dari keluargaku yang peduli padaku. Lagi pula, keluargaku juga berengsek, aku lihat Bapakku selingkuh di sawah dengan seorang janda dari desa sebelah. Sedangkan, aku lihat Ibuku sering pergi ke rumah kepala desa saat tidak ada siapa pun. Untuk apa pula diriku izin pada mereka?"

"Bagaimana bisa kau mengatakan itu dengan sangat santai?" Akhza masih tercengang. "Itu ... sangat tidak lazim."

"Aku tahu, makanya aku ingin cepat-cepat pergi dari desa ini."

Akhza mengangguk pelan, sebelum ibunya datang dengan dua cangkir gerabah berisi teh. Akhza dan Satrya mengucapkan terima kasih sebelum menyeruput pelan teh yang mengepulkan uap hangat itu. Mereka berbincang tentang jalan yang akan dilalui sambil minum teh.

"Akhza, senjata apa yang akan kau bawa?" Ibu Akhza keluar dari kamarnya dengan membawa sebuah kotak kayu panjang yang tampak sangat berdebu.

Akhza segera menunjukkan golok yang terikat di pinggangnya.

"Bukannya itu adalah golok yang biasanya kau bawa ke sawah?"

"Hanya ini yang paling bagus." Akhza tersenyum kecut, lalu kembali menyarungkan goloknya.

"Ibu mau memberikan ini padamu."

Ibu Akhza tersenyum menatap anaknya yang kini tampak penasaran itu, lalu tangannya dengan cekatan membuka kotak kayu panjang yang dibawanya. Aroma debu tercium cukup pekat setelah kotak itu terbuka, sepertinya kotak itu memang sudah tua sampai tidak bisa menahan debu masuk ke dalam.

Dari dalamnya, Akhza melihat sebuah pedang berukuran sedang tersarung rapi. Ia tipis, dan sedikit lebih pendek daripada pedang yang pernah dia lihat. Sarungnya berwarna hitam, dan gagangnya seperti terbuat dari emas atau kuningan yang berbentuk suatu kepala elang, sedangkan di pembatas antara gagang dan bilah juga berbentuk kepala elang kecil di kedua sisi yang sedikit menjulur ke atas, pandangan dua kepala elang di pembatas itu menghadap pada mata bilah.

Ibunya mengangkat pedang itu dari kotaknya, lalu menarik gagangnya secara perlahan-lahan.

Akhza salah mengira, mata bilah pedang itu meliuk-liuk seperti keris. Warna bilah itu hitam sedikit mengkilap, atau perak, warnanya sering berubah-ubah tergantung sudut pandang.

Saat semua bilah keluar dari sarungnya, aura mengerikan terpancar dari ujung tajam mata pedang itu. Ibunya mengangkat tinggi pedang-keris itu sambil menatapnya lekat-lekat.

"Ini adalah Keris Garuda Puspa, Nak. Keris yang dipakai bapakmu untuk memerangi perompak di kampung ini dulu. Dan keris ini juga yang menemani bapakmu di saat-saat terakhirnya. Di menempanya sendiri, bertahun-tahun lamanya, dengan penuh kasih dan kekuatan di dalamnya. Sayangnya, ini sudah terlalu banyak mencabut nyawa orang, auranya tidak terlalu bersahabat." Sang ibu menyarungkan Keris Garuda Puspa kembali. "Sekarang, ini diwariskan kepadamu, tapi bukan milikmu. Pusaka ini dimiliki oleh kebaikan dan kedamaian."

Si ibu menyerahkan keris sepanjang pedang itu pelan-pelan, dan Akhza menerimanya dengan tangan bergemetar; antara senang dan takut.

"Ingatlah baik-baik, Nak. Keris ini bukan milikmu, kau hanya bertanggungjawab menggunakan keris ini sebaik mungkin. Lakukanlah kebaikan sampai bunga-bunga mekar saat kau melintas di dekatnya."

Akhza mengangguk khidmat meski ia tak yakin itu dapat dilakukan.

Mereka berdua lalu menggendong bundelan, dan Akhza membungkus keris itu dengan kain agar tidak menarik perhatian sampai ia bisa melindungi dirinya sendiri.

Akhza dan Satrya diantar sampai di ambang pintu, sebelum Akhza memeluk ibunya erat-erat sambil menangis.

"Kembalilah dan jadilah pendekar terhebat di tanah Jawa." Ibunya mengelus kepala putra satu-satunya itu, ia tidak bisa menahan laju air mata lagi.

"Aku akan kembali dan membahagiakan ibu nanti. Aku janji!" Akhza berlari cepat menjauhi rumah, sambil menangis, meninggalkan Satrya yang termangu.

"Jaga temanmu ini, Satrya. Dia terkadang suka berulah. Kau yang lebih tua ketimbang dirinya. Aku harap kau bisa memimpinnya." Sang ibu tersenyum lembut pada Satrya, Satrya mengangguk lalu mengejar Akhza.

Perjalanan mereka sangat panjang. Dan sukar untuk dikisahkan jika dibuatkan sebuah kitab tebal sekalipun. Terkadang bahaya menyertai, dan terkadang kelaparan menyertai, atau sesekali mereka tertawa.

Hutan rimba tak semenakutkan yang mereka kira sebelumnya, keduanya dapat bersahabat baik dengan rimba, kecuali di saat-saat hujan mengguyur.

Pagi ini mereka sampai di sebuah kota kecil, yang namanya agak sulit untuk disebutkan bagi keduanya. Tepat setelah pintu masuk kota, terdapat pasar yang masih ramai.

Akhza dan Satrya berkeliling, mencoba peruntungan untuk mendapatkan pekerjaan sementara untuk membeli perbekalan sebelum melanjutkan perjalanan yang sepertinya tak berujung dan tak bertujuan.

Tidak ada yang mau menerima mereka, sebagian menolak dengan ramah dan sebagian lagi menolak dengan kasar.

"Sudah kurus kerempeng, masih pula meminta pekerjaan. Lebih pantas kalian jadi budak saja! Hahahaha!" Seorang pedagang buah tertawa keras, yang lain ikut tertawa.

Akhza menggelengkan kepalanya, lalu berbalik, berniat pergi tanpa membuat masalah. Tapi kesabarannya diusik saat sebuah mangga busuk menghantam tepat di kepalanya.

Satrya berbalik duluan dan memaki pedagang buah yang melempar temannya dengan mangga busuk itu. Sedangkan Akhza, berbalik dengan perlahan, tetapi raut wajahnya tidak sedang baik.

"Jika tidak mau menerima tenaga kerja kami, maka biarkan kami pergi." Akhza berkata dingin, disahut gelak tawa dari pedagang buah serta pedagang yang lainnya.

"Kalian itu rendahan, dan tidak pantas di sini. Kami akan melempari kalian dengan sayur dan buah busuk sebelum kalian bisa pergi dari sini." Si tukang buah sengaja berteriak keras, dan disambut oleh pedagang-pedagang yang sedang bosan menjalani kehidupan sehari-hari tanpa petualangan.

Akhza dan Satrya tak ayal dilempari berbagai sampah busuk. Satrya menarik tangan Akhza untuk membawanya pergi dari sana, tapi Akhza tidak bergerak melainkan kaku selayaknya sebuah patung.

"Nusantara tidak memerlukan orang seperti dia, Satrya." Akhza tersenyum lebar, tangannya dengan sangat cepat menarik golok Satrya dan berlari ke arah pedagang buah itu.

Kejadian itu sangat cepat. Kepala di pedagang buah berguling di tanah dengan wajah ketakutan, sebelum tubuhnya jatuh ke tanah tanpa nyawa dan tanpa kepala. Hening tercipta sebentar, tetapi setelah itu pedagang di sekitar mereka menjadi sangat marah dan mengeluarkan senjata tajam yang mereka gunakan untuk keperluan dagang.

Satrya menghampiri Akhza dengan ketakutan, ia melirik goloknya yang kini menjadi sedikit basah oleh darah.

"Akhza, apa yang kau lakukan?!"

"Aku sudah bilang, Nusantara tidak perlu orang seperti dia." Akhza berkata demikian, tapi ia bergemetar dan menjatuhkan golok di tangannya hingga menancap pada tanah. "Apa ... yang sudah aku lakukan?"

Satrya kemudian melihat ke sekitar. Betapa dirinya menjadi kaget, setelah melihat bahwa dirinya dan Akhza telah terkepung oleh lusinan pedagang pasar.

"Sekarang sudah telat. Kita harus melindungi diri!" Satrya mengambil golok di tanah, sedangkan Akhza meraung-raung ketakutan!

Satrya meneguk ludahnya, sebelum dengan terpaksa menebas tangan pedagang yang menyabetkan pisau ke arahnya. Darah bercucuran saat itu juga, dan Satrya tidak berhenti di situ karena kemarahan pedagang juga tak berhenti di situ.

Beberapa tangan terlepas dari tempatnya, dan beberapa orang terbunuh di sana. Jiwa Satrya hampir runtuh, dan ia sekarang benar-benar tidak kuat mendengar pekik kemarahan, duka, dan kesakitan dari orang-orang di sekitar. Ia juga melihat beberapa prajurit datang.

Lututnya melemas, dan goloknya jatuh dari tangan. Saat mereka beruda sudah benar-benar pasrah pada keadaan, keajaiban tiba: seluruh pedagang dan prajurit yang datang bersimpuh lutut, mereka juga tidak bisa bergerak walau sedikit menggeram. Anehnya, Akhza dan Satrya tidak mengalami hal serupa.

Seorang pria paruh baya berpakaian abu-abu berjalan santai di tengah-tengah mereka. Dia tersenyum dengan wajah yang sedikit keriput, sebelum menepuk masing-masing bahu Akhza dan Satrya hingga membuat mereka tidak mampu bergerak sama sekali.

Terpopuler

Comments

Alfi Ghaf

Alfi Ghaf

kepala si pedagang buah

2022-12-02

1

Alfi Ghaf

Alfi Ghaf

mengembuskan

2022-12-02

1

Alfi Ghaf

Alfi Ghaf

menyelamatkan

2022-12-02

1

lihat semua
Episodes
1 Gunung Loro Kembar
2 prawacana
3 Pemandangan di Tengah Sungai
4 Meninggalkan Desa
5 Semuanya Berlalu dengan Begitu Cepat
6 Kala Piningit, Bocah Gunung
7 Orang Tua dalam Kubangan
8 Mata Itu!
9 Gadis Tercatik yang Pernah Dilihatnya
10 Namanya Kelana Maheswari
11 Cerita Tentang Akhza
12 Mata Keemasan
13 Makanan yang Harganya Sangat Mahal
14 Perut yang Berbunyi
15 Cerita Dunia Persilatan
16 Menjadi Pendekar
17 Dari Pertarungan Itu, Tidak Ada yang Hidup
18 Maheswari Diserang!
19 Cincin Spatial Sebagai Kenang-Kenangan
20 Berlatih di Gunung Loro Kembar
21 Hidupnya Tidak Akan Lama Lagi
22 Meninggalkan Bukanlah Perkara Mudah
23 Turun Gunung
24 Pertempuran Pertama Kala
25 Pertempuran Usai
26 Bertemu Maheswari
27 Mencari Kedai di Larut Malam
28 Mencari Kedai di Larut Malam
29 Nenek Tua yang Aneh
30 Nenek Tua yang Aneh
31 Perubahan Sikap Si Nenek
32 Dua Pendekar dari Perguruan Harimau Besi
33 Garuda!
34 Elang Api
35 Penyelamatan Maheswari
36 Kenaifan
37 Mengalahkan
38 Menghancurkan Padepokan Harimau Besi
39 Sukses Berkencan?
40 Mengungkapkan pada Yudistira
41 Pengepungan Kota
42 Pertempuran Kembali Pecah!
43 Hujan Panah
44 Rasa Bersalah yang Luar Biasa
45 Kelinci Percobaan
46 Kala Menangis
47 Masakan Maheswari
48 Cara Wanita Makan
49 Hawa Pembunuh
50 Mahesa
51 Tenda Medis
52 Penderitaan di Malam Hari
53 Suhu yang Teramat Dingin
54 Kecupan Sebagai Izin
55 Bergabung dengan Pasukan Telik Sandi
56 Bersiap
57 Terang-Terangan kepada Panji
58 Aku Punya Beberapa Tuak
59 Penyerangan yang Gagal!
60 Tertangkap
61 Penawaran yang Ditolak Mentah-Mentah
62 Firasat Buruk
63 Pengkhianatan
64 Titik Balik
65 Membantu Orang-Orang Desa
66 Bertarung dengan Ayam
67 Berhadapan Dengan 10 Anggota Caping Bulan Hitam
68 Gadis Penguntit
69 Menolak Bantuan
70 Danau
71 Kembali Berburu
72 Seperti Itulah Saudara
73 Aku Tidak Berniat Memiliki Istri
74 Guci Prana
75 Bantuan Tak Terduga
76 Pergi dari Desa Bersama Kaia
77 Membersihkan Diri di Air Terjun
78 Kaia Mulai Bercerita
79 Bangsawan Tirto
80 Meninggalkan Bangsawan Tirto
81 Makan Dagingnya, Atau Kau Tidak Akan Dapat Energi
82 Aura Pembunuh yang Pekat
83 Pertarungan yang Tidak Imbang
84 Pelajaran Tentang Dunia Persilatan
85 Terungkapnya Rahasia
86 Minum Bersama
87 Gadis Kecil Tidak Minum Tuak
88 Meninggalkan Penginapan Progo
89 Sampai di Kota
90 Perlakuan Buruk
91 Kaia Terkena Masalah
92 Mematahkan Tangan Anak Tumenggung
93 Pembunuh Bayaran
94 Menyelamatkan Kaia
95 Unjuk Rasa
96 Berburu
97 Memanfaatkan Kekuatan Warga
98 Mengunjungi Kedai Makan
99 Serangan dari Tabib
100 Memasuki Alam Lain
101 Kristal Angkasa
102 Pencak Silat - Arc 1 Selesai
103 Kaia Menjadi Pranor
104 Serangan dari Kastel Kristal Es
105 Bertemu Kembali dengan Walageni
106 Berjualan
107 Selayaknya Padi
108 Membeli Baju
109 Jodoh Pedang
110 Aku Akan Menemukan Obatnya!
111 Kedatangan Kastel Kristal Es
112 Kembali Tak Sadarkan Diri
113 Sepertinya Mereka Tidak Tahu Bahwa Dagingmu Sangat Dingin
114 Melatih Kaia
115 Serangan Hewan Siluman
116 Tugasku Adalah Melindungimu
117 Latihan yang Terlalu Berlebihan
118 Memasuki Zona Pertempuran Tanpa Sengaja
119 Pertempuran di Hutan Telu
120 Menghadapi Maheswari
121 Kembali Berpisah
122 Wasiat dari Aditya
123 Aku Bukan Buaya Darat!
124 Iblis yang Cantik
125 Latihan Keras di Tengah Hujan
126 Buaya Buntung
127 Rusaknya CIncin Interspatial
128 Gerak-Gerik Pandataran
129 Sekumpulan Orang Aneh yang Siap Mati Demi Tuak
130 Berperang Melindungi Kedai Minum
131 Jalur Pelarian Bawah Tanah
132 Persetan dengan Kematian
133 Kemarahan dalam Pertarungan
134 Ceritakan Aku Dongeng
135 Siluman yang Cantik
136 Teman Lama Akhza
137 Bayang-Bayang Makhluk Mengerikan; Kematian Mahanta
138 Masih dalam Pengejaran!
139 Berkunjung ke Perguruan Padepokan Emas
140 Berlatih di Hutan Akar Ireng
141 Latih Tanding
Episodes

Updated 141 Episodes

1
Gunung Loro Kembar
2
prawacana
3
Pemandangan di Tengah Sungai
4
Meninggalkan Desa
5
Semuanya Berlalu dengan Begitu Cepat
6
Kala Piningit, Bocah Gunung
7
Orang Tua dalam Kubangan
8
Mata Itu!
9
Gadis Tercatik yang Pernah Dilihatnya
10
Namanya Kelana Maheswari
11
Cerita Tentang Akhza
12
Mata Keemasan
13
Makanan yang Harganya Sangat Mahal
14
Perut yang Berbunyi
15
Cerita Dunia Persilatan
16
Menjadi Pendekar
17
Dari Pertarungan Itu, Tidak Ada yang Hidup
18
Maheswari Diserang!
19
Cincin Spatial Sebagai Kenang-Kenangan
20
Berlatih di Gunung Loro Kembar
21
Hidupnya Tidak Akan Lama Lagi
22
Meninggalkan Bukanlah Perkara Mudah
23
Turun Gunung
24
Pertempuran Pertama Kala
25
Pertempuran Usai
26
Bertemu Maheswari
27
Mencari Kedai di Larut Malam
28
Mencari Kedai di Larut Malam
29
Nenek Tua yang Aneh
30
Nenek Tua yang Aneh
31
Perubahan Sikap Si Nenek
32
Dua Pendekar dari Perguruan Harimau Besi
33
Garuda!
34
Elang Api
35
Penyelamatan Maheswari
36
Kenaifan
37
Mengalahkan
38
Menghancurkan Padepokan Harimau Besi
39
Sukses Berkencan?
40
Mengungkapkan pada Yudistira
41
Pengepungan Kota
42
Pertempuran Kembali Pecah!
43
Hujan Panah
44
Rasa Bersalah yang Luar Biasa
45
Kelinci Percobaan
46
Kala Menangis
47
Masakan Maheswari
48
Cara Wanita Makan
49
Hawa Pembunuh
50
Mahesa
51
Tenda Medis
52
Penderitaan di Malam Hari
53
Suhu yang Teramat Dingin
54
Kecupan Sebagai Izin
55
Bergabung dengan Pasukan Telik Sandi
56
Bersiap
57
Terang-Terangan kepada Panji
58
Aku Punya Beberapa Tuak
59
Penyerangan yang Gagal!
60
Tertangkap
61
Penawaran yang Ditolak Mentah-Mentah
62
Firasat Buruk
63
Pengkhianatan
64
Titik Balik
65
Membantu Orang-Orang Desa
66
Bertarung dengan Ayam
67
Berhadapan Dengan 10 Anggota Caping Bulan Hitam
68
Gadis Penguntit
69
Menolak Bantuan
70
Danau
71
Kembali Berburu
72
Seperti Itulah Saudara
73
Aku Tidak Berniat Memiliki Istri
74
Guci Prana
75
Bantuan Tak Terduga
76
Pergi dari Desa Bersama Kaia
77
Membersihkan Diri di Air Terjun
78
Kaia Mulai Bercerita
79
Bangsawan Tirto
80
Meninggalkan Bangsawan Tirto
81
Makan Dagingnya, Atau Kau Tidak Akan Dapat Energi
82
Aura Pembunuh yang Pekat
83
Pertarungan yang Tidak Imbang
84
Pelajaran Tentang Dunia Persilatan
85
Terungkapnya Rahasia
86
Minum Bersama
87
Gadis Kecil Tidak Minum Tuak
88
Meninggalkan Penginapan Progo
89
Sampai di Kota
90
Perlakuan Buruk
91
Kaia Terkena Masalah
92
Mematahkan Tangan Anak Tumenggung
93
Pembunuh Bayaran
94
Menyelamatkan Kaia
95
Unjuk Rasa
96
Berburu
97
Memanfaatkan Kekuatan Warga
98
Mengunjungi Kedai Makan
99
Serangan dari Tabib
100
Memasuki Alam Lain
101
Kristal Angkasa
102
Pencak Silat - Arc 1 Selesai
103
Kaia Menjadi Pranor
104
Serangan dari Kastel Kristal Es
105
Bertemu Kembali dengan Walageni
106
Berjualan
107
Selayaknya Padi
108
Membeli Baju
109
Jodoh Pedang
110
Aku Akan Menemukan Obatnya!
111
Kedatangan Kastel Kristal Es
112
Kembali Tak Sadarkan Diri
113
Sepertinya Mereka Tidak Tahu Bahwa Dagingmu Sangat Dingin
114
Melatih Kaia
115
Serangan Hewan Siluman
116
Tugasku Adalah Melindungimu
117
Latihan yang Terlalu Berlebihan
118
Memasuki Zona Pertempuran Tanpa Sengaja
119
Pertempuran di Hutan Telu
120
Menghadapi Maheswari
121
Kembali Berpisah
122
Wasiat dari Aditya
123
Aku Bukan Buaya Darat!
124
Iblis yang Cantik
125
Latihan Keras di Tengah Hujan
126
Buaya Buntung
127
Rusaknya CIncin Interspatial
128
Gerak-Gerik Pandataran
129
Sekumpulan Orang Aneh yang Siap Mati Demi Tuak
130
Berperang Melindungi Kedai Minum
131
Jalur Pelarian Bawah Tanah
132
Persetan dengan Kematian
133
Kemarahan dalam Pertarungan
134
Ceritakan Aku Dongeng
135
Siluman yang Cantik
136
Teman Lama Akhza
137
Bayang-Bayang Makhluk Mengerikan; Kematian Mahanta
138
Masih dalam Pengejaran!
139
Berkunjung ke Perguruan Padepokan Emas
140
Berlatih di Hutan Akar Ireng
141
Latih Tanding

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!