"Aku akan pergi dari desa ini, secepatnya!"
"Ya, aku pula. Besok kita berangkat, dengan atau tanpa restu!" Satrya memberi sahutan.
Setelah kejadian barusan, Akhza dan Satrya semakin yakin untuk meninggalkan desa. Rasa malu mereka terlampau tinggi.
Mereka berpisah di tengah jalan. Akhza segera masuk ke dalam rumahnya, disambut ibunya.
"Akhza, engkau sudah pulang. Makanlah segera. Ibu menemukan sayur pakis di rawa dekat sungai, sayur kesukaanmu."
"Wah, itu bagus, Bu! Sudah lama diriku tidak mencicipi sayur pakis masakan Ibu," sorak Akhza. "Tetapi sepertinya, ada yang ingin aku bicarakan dengan Ibu."
"Apa itu, Anakku? Tidak biasanya engkau meminta izin hanya untuk bertanya." Ibunya mengerutkan dahi tetapi tetap tersenyum.
Akhza membalas senyum, kemudian dirinya berkata lagi, "Aku ingin pergi keluar desa dan menjadi seniman bela diri hebat. Aku akan menyematkan desa dari jeratan tangan busuk penyamun-penyamun itu, sehingga kita semua dapat hidup aman dan damai."
Sang ibu kemudian menghela napas. "Nak, keinginan lama itu lebih baik kita bicarakan sambil makan, ya?"
Tetapi itu hanyalah sekadar bualan. Saat makan, ibunya selalu berusaha mengalihkan perhatian Akhza agar tidak membicarakan rencananya itu, tetapi pada akhirnya disadari pula oleh Akhza.
"Bu, aku serius."
Ibu Akhza kembali menghela napas panjang dan mengatakan, "Nak, kerajaan akan membantu kita. Kita hanya perlu bersabar dan menunggu."
"Menunggu sampai kapan, Bu?"
"Pasukan bantuan dari Geowedari akan tiba sebentar lagi, Nak. Di hadapan kerajaan, perampok-perampok itu tidak ada apa-apanya."
Akhza tertawa pelan. "Sampai kapan kita akan menunggu, Bu? Bapak pergi sendiri ke kotaraja dan meminta bantuan, tetapi dia pulang dengan tangan kosong. Kotaraja berjanji akan mengirim pasukan, tapi nyatanya, sampai Bapak gugur pun mereka tidak sampai. Apalah untungnya menyelamatkan desa kecil seperti ini." Akhza mendorong piringnya setelah kehilangan selera makannya. "Tapi bagiku, ini adalah tanah di mana aku lahir dan juga tanah di mana aku akan mati nanti. Aku tidak ingin desa ini hancur oleh ulah penyamun. Aku tidak ingin Ibu bernasib sama dengan Bapak."
"Nak Akhza, Ibu tidak mengapa mati terbunuh di tangan penyamun asalkan kau tidak pergi menantang bahaya di luar."
"Bapak adalah pendekar, Bu. Dia sudah berkelana ke mana-mana, dan lihatlah hasilnya, dia bisa melindungi kampung ini dan menyelamatkan bukan hanya istri atau anaknya, melainkan seluruh penduduk desa."
"Tapi pada akhirnya Bapak meninggalkan kita," kata ibunya lirih.
"Aku lebih baik mati sebagai pahlawan ketimbang hidup terinjak dan ditindih tahi kerbau seperti ini." Akhza memuncak, ia menggertak gigi. "Aku sudah berjanji pada Satrya untuk pergi dengan atau tanpa izin. Keputusan itu sebenarnya telah bulat." Lalu suara Akhza melemah, dan dia berdiri dari meja. "Tapi aku tak akan bisa melakukan itu. Aku akan tetap di sini, jika Ibu tidak mengizinkanku pergi."
Akhza meninggalkan seulas senyum sebelum pergi ke kamarnya. Sang ibu menghela napas panjang hingga tanpa sadar air matanya mengalir di pipi, wanita paruh baya itu pergi dari meja makan menuju kamarnya.
Akhza tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia merebah, tapi tidak bisa tertidur. Namun, entah apa gerangan, pintu kamarnya tiba-tiba diketuk. Tidak ada orang lain di rumah selain ibunya.
"Ada apa, Bu?"
"Nak Akhza, keluar terlebih dahulu. Ibu hendak bicara denganmu, pergi ke meja makan."
Akhza menarik napas panjang, lalu menghembuskan sedikit cepat sebelum dengan malas berdiri dan keluar dari kamar.
Ibunya terlihat sudah duduk di meja makan yang sudah dibersihkan dari hidangan yang tadi mereka makan. Akhza menarik kursi dan duduk berseberangan dengan wanita itu.
"Ibu tahu, bahwa ketakutan adalah hal yang sedikit berguna, tetapi kadang malah tidak berguna sama sekali. Percayalah, Nak, Ibu hanya takut terjadi sesuatu padamu." Ibunya berkata dengan hangat dan lembut, mengalahkan dingin dan sunyinya malam pada saat itu. "Namun Ibu lupa, bahwa darah Bapakmu mengalir di dalam tubuhmu. Dan Ibu yakin, kau akan menjadi lebih hebat dari Bapakmu."
Jantung Akhza berdebar, ia merasakan sesuatu yang bagus akan datang.
"Ibu izinkan kamu pergi." Wanita itu tersenyum, senyum terhangat yang pernah tercetak di bibir rapuhnya semenjak kepergian suaminya. "Asalkan engkau berjanji akan kembali ke desa ini sebagai pahlawan hebat dan mengusir penyamun-penyamun itu."
"Ibu, aku harap Ibu tidak sedang bercanda."
"Untuk apa Ibu bercanda di tengah malam seperti ini?"
"Kalau begitu, ini mimpi!" Akhza berdiri dari bangku, tangannya bergetar. "Aku akan kembali ke tempat tidur."
"Ibu belum selesai. Kembali duduk." Sang ibu bersikap seakan tegas, Akhza hanya bisa menuruti, duduk tetapi tidak bisa diam, kakinya terus bergetar. "Ibu tidak mau kaulupakan desa ini nanti. Kembalilah setelah engkau berhasil, atau jangan kembali sama sekali. Ingatlah selalu perkataanku itu."
Mereka berkemas tengah malam itu juga. Akhza akan berangkat seusai janjinya kemarin, Satrya akan menjemputnya di pagi buta, lebih dini dari petani-petani yang berangkat ke sawah.
Semua barang bawaan Akhza telah siap sedia. Mulai dari pakaian, makanan kering, alat masak, hingga daun-daun herbal.
Tak seberapa lama kemudian, terdengarlah suara ketukan di pintu. Akhza dengan bersemangat segera bergerak menuju pintu dan membukakannya.
Terlihatlah Satrya yang berdiri sambil tersenyum lebar di depan pintu. Dia tampak menyoren sebatang golok yang sepertinya masih baru, pakaian rapi, dan bundelan besar di punggungnya, tak lupa juga dengan destar merah kebanggaannya di kepala.
"Kau sudah siap? Ayo kita lari sekarang, keburu ibumu bangun." Satrya sedikit berbisik, tapi sesaat kemudian ia meneguk ludahnya ketika melihat ibu Akhza berdiri tepat di belakang pintu sambil berdeham. "Oh tidak, sepertinya kita sudah terlambat"
"Aku sudah dapat izin, tenang saja." Akhza tertawa pelan. "Ayo masuk."
Satrya masuk lalu menyalami ibu Akhza sambil tertawa canggung.
"Apa kau sudah dapat izin dari orang tuamu, Satrya?" tanya ibu Akhza sedikit tajam.
"Tentu saja sudah, Ibu." Satrya kembali tertawa canggung lalu melirik Akhza seakan meminta bantuan untuk mengalihkan perhatian ibunya.
"Kalau begitu, kalian direstui. Ibu akan buatkan teh hangat sebelum kalian berangkat, di luar udaranya sangat dingin."
Ibu Akhza berjalan ke dapur, meninggalkan Akhza dan Satrya di ruang tengah. Segera setelah kepergiannya, Satrya menghembuskan napas lega.
"Bagaimana bisa kau dapat izin?" Satrya kembali bersemangat. "Aku kira kau tak akan dapat izin, melihat sikap ibumu yang begitu memanjakan dirimu."
"Agak sulit, tapi bukan masalah. Lalu, kenapa kau bisa mendapat izin?"
"Tidak ada satu pun dari keluargaku yang peduli padaku. Lagi pula, keluargaku juga berengsek, aku lihat Bapakku selingkuh di sawah dengan seorang janda dari desa sebelah. Sedangkan, aku lihat Ibuku sering pergi ke rumah kepala desa saat tidak ada siapa pun. Untuk apa pula diriku izin pada mereka?"
"Bagaimana bisa kau mengatakan itu dengan sangat santai?" Akhza masih tercengang. "Itu ... sangat tidak lazim."
"Aku tahu, makanya aku ingin cepat-cepat pergi dari desa ini."
Akhza mengangguk pelan, sebelum ibunya datang dengan dua cangkir gerabah berisi teh. Akhza dan Satrya mengucapkan terima kasih sebelum menyeruput pelan teh yang mengepulkan uap hangat itu. Mereka berbincang tentang jalan yang akan dilalui sambil minum teh.
"Akhza, senjata apa yang akan kau bawa?" Ibu Akhza keluar dari kamarnya dengan membawa sebuah kotak kayu panjang yang tampak sangat berdebu.
Akhza segera menunjukkan golok yang terikat di pinggangnya.
"Bukannya itu adalah golok yang biasanya kau bawa ke sawah?"
"Hanya ini yang paling bagus." Akhza tersenyum kecut, lalu kembali menyarungkan goloknya.
"Ibu mau memberikan ini padamu."
Ibu Akhza tersenyum menatap anaknya yang kini tampak penasaran itu, lalu tangannya dengan cekatan membuka kotak kayu panjang yang dibawanya. Aroma debu tercium cukup pekat setelah kotak itu terbuka, sepertinya kotak itu memang sudah tua sampai tidak bisa menahan debu masuk ke dalam.
Dari dalamnya, Akhza melihat sebuah pedang berukuran sedang tersarung rapi. Ia tipis, dan sedikit lebih pendek daripada pedang yang pernah dia lihat. Sarungnya berwarna hitam, dan gagangnya seperti terbuat dari emas atau kuningan yang berbentuk suatu kepala elang, sedangkan di pembatas antara gagang dan bilah juga berbentuk kepala elang kecil di kedua sisi yang sedikit menjulur ke atas, pandangan dua kepala elang di pembatas itu menghadap pada mata bilah.
Ibunya mengangkat pedang itu dari kotaknya, lalu menarik gagangnya secara perlahan-lahan.
Akhza salah mengira, mata bilah pedang itu meliuk-liuk seperti keris. Warna bilah itu hitam sedikit mengkilap, atau perak, warnanya sering berubah-ubah tergantung sudut pandang.
Saat semua bilah keluar dari sarungnya, aura mengerikan terpancar dari ujung tajam mata pedang itu. Ibunya mengangkat tinggi pedang-keris itu sambil menatapnya lekat-lekat.
"Ini adalah Keris Garuda Puspa, Nak. Keris yang dipakai bapakmu untuk memerangi perompak di kampung ini dulu. Dan keris ini juga yang menemani bapakmu di saat-saat terakhirnya. Di menempanya sendiri, bertahun-tahun lamanya, dengan penuh kasih dan kekuatan di dalamnya. Sayangnya, ini sudah terlalu banyak mencabut nyawa orang, auranya tidak terlalu bersahabat." Sang ibu menyarungkan Keris Garuda Puspa kembali. "Sekarang, ini diwariskan kepadamu, tapi bukan milikmu. Pusaka ini dimiliki oleh kebaikan dan kedamaian."
Si ibu menyerahkan keris sepanjang pedang itu pelan-pelan, dan Akhza menerimanya dengan tangan bergemetar; antara senang dan takut.
"Ingatlah baik-baik, Nak. Keris ini bukan milikmu, kau hanya bertanggungjawab menggunakan keris ini sebaik mungkin. Lakukanlah kebaikan sampai bunga-bunga mekar saat kau melintas di dekatnya."
Akhza mengangguk khidmat meski ia tak yakin itu dapat dilakukan.
Mereka berdua lalu menggendong bundelan, dan Akhza membungkus keris itu dengan kain agar tidak menarik perhatian sampai ia bisa melindungi dirinya sendiri.
Akhza dan Satrya diantar sampai di ambang pintu, sebelum Akhza memeluk ibunya erat-erat sambil menangis.
"Kembalilah dan jadilah pendekar terhebat di tanah Jawa." Ibunya mengelus kepala putra satu-satunya itu, ia tidak bisa menahan laju air mata lagi.
"Aku akan kembali dan membahagiakan ibu nanti. Aku janji!" Akhza berlari cepat menjauhi rumah, sambil menangis, meninggalkan Satrya yang termangu.
"Jaga temanmu ini, Satrya. Dia terkadang suka berulah. Kau yang lebih tua ketimbang dirinya. Aku harap kau bisa memimpinnya." Sang ibu tersenyum lembut pada Satrya, Satrya mengangguk lalu mengejar Akhza.
Perjalanan mereka sangat panjang. Dan sukar untuk dikisahkan jika dibuatkan sebuah kitab tebal sekalipun. Terkadang bahaya menyertai, dan terkadang kelaparan menyertai, atau sesekali mereka tertawa.
Hutan rimba tak semenakutkan yang mereka kira sebelumnya, keduanya dapat bersahabat baik dengan rimba, kecuali di saat-saat hujan mengguyur.
Pagi ini mereka sampai di sebuah kota kecil, yang namanya agak sulit untuk disebutkan bagi keduanya. Tepat setelah pintu masuk kota, terdapat pasar yang masih ramai.
Akhza dan Satrya berkeliling, mencoba peruntungan untuk mendapatkan pekerjaan sementara untuk membeli perbekalan sebelum melanjutkan perjalanan yang sepertinya tak berujung dan tak bertujuan.
Tidak ada yang mau menerima mereka, sebagian menolak dengan ramah dan sebagian lagi menolak dengan kasar.
"Sudah kurus kerempeng, masih pula meminta pekerjaan. Lebih pantas kalian jadi budak saja! Hahahaha!" Seorang pedagang buah tertawa keras, yang lain ikut tertawa.
Akhza menggelengkan kepalanya, lalu berbalik, berniat pergi tanpa membuat masalah. Tapi kesabarannya diusik saat sebuah mangga busuk menghantam tepat di kepalanya.
Satrya berbalik duluan dan memaki pedagang buah yang melempar temannya dengan mangga busuk itu. Sedangkan Akhza, berbalik dengan perlahan, tetapi raut wajahnya tidak sedang baik.
"Jika tidak mau menerima tenaga kerja kami, maka biarkan kami pergi." Akhza berkata dingin, disahut gelak tawa dari pedagang buah serta pedagang yang lainnya.
"Kalian itu rendahan, dan tidak pantas di sini. Kami akan melempari kalian dengan sayur dan buah busuk sebelum kalian bisa pergi dari sini." Si tukang buah sengaja berteriak keras, dan disambut oleh pedagang-pedagang yang sedang bosan menjalani kehidupan sehari-hari tanpa petualangan.
Akhza dan Satrya tak ayal dilempari berbagai sampah busuk. Satrya menarik tangan Akhza untuk membawanya pergi dari sana, tapi Akhza tidak bergerak melainkan kaku selayaknya sebuah patung.
"Nusantara tidak memerlukan orang seperti dia, Satrya." Akhza tersenyum lebar, tangannya dengan sangat cepat menarik golok Satrya dan berlari ke arah pedagang buah itu.
Kejadian itu sangat cepat. Kepala di pedagang buah berguling di tanah dengan wajah ketakutan, sebelum tubuhnya jatuh ke tanah tanpa nyawa dan tanpa kepala. Hening tercipta sebentar, tetapi setelah itu pedagang di sekitar mereka menjadi sangat marah dan mengeluarkan senjata tajam yang mereka gunakan untuk keperluan dagang.
Satrya menghampiri Akhza dengan ketakutan, ia melirik goloknya yang kini menjadi sedikit basah oleh darah.
"Akhza, apa yang kau lakukan?!"
"Aku sudah bilang, Nusantara tidak perlu orang seperti dia." Akhza berkata demikian, tapi ia bergemetar dan menjatuhkan golok di tangannya hingga menancap pada tanah. "Apa ... yang sudah aku lakukan?"
Satrya kemudian melihat ke sekitar. Betapa dirinya menjadi kaget, setelah melihat bahwa dirinya dan Akhza telah terkepung oleh lusinan pedagang pasar.
"Sekarang sudah telat. Kita harus melindungi diri!" Satrya mengambil golok di tanah, sedangkan Akhza meraung-raung ketakutan!
Satrya meneguk ludahnya, sebelum dengan terpaksa menebas tangan pedagang yang menyabetkan pisau ke arahnya. Darah bercucuran saat itu juga, dan Satrya tidak berhenti di situ karena kemarahan pedagang juga tak berhenti di situ.
Beberapa tangan terlepas dari tempatnya, dan beberapa orang terbunuh di sana. Jiwa Satrya hampir runtuh, dan ia sekarang benar-benar tidak kuat mendengar pekik kemarahan, duka, dan kesakitan dari orang-orang di sekitar. Ia juga melihat beberapa prajurit datang.
Lututnya melemas, dan goloknya jatuh dari tangan. Saat mereka beruda sudah benar-benar pasrah pada keadaan, keajaiban tiba: seluruh pedagang dan prajurit yang datang bersimpuh lutut, mereka juga tidak bisa bergerak walau sedikit menggeram. Anehnya, Akhza dan Satrya tidak mengalami hal serupa.
Seorang pria paruh baya berpakaian abu-abu berjalan santai di tengah-tengah mereka. Dia tersenyum dengan wajah yang sedikit keriput, sebelum menepuk masing-masing bahu Akhza dan Satrya hingga membuat mereka tidak mampu bergerak sama sekali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Alfi Ghaf
kepala si pedagang buah
2022-12-02
1
Alfi Ghaf
mengembuskan
2022-12-02
1
Alfi Ghaf
menyelamatkan
2022-12-02
1