Mereka mendengus dingin kepada pelayan yang malang itu, sebelum dua pasang mata mereka menatap benci ke arah Akhza.
Pria tua yang ditatap itu segera membalas dengan tatapan yang mengancam dan sangat tajam teramat seolah pisau telah menusuk dahi dua muda-mudi itu, membuat mereka segera melepaskan tatapan serta bersikap acuh tak acuh.
Kala kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Melihat betapa indahnya bangunan ini, sebelum pandangannya jatuh pada sepasang muda-mudi yang duduk di pojok ruangan itu. Mata Kala memincing untuk dapat melihat mereka dengan lebih jelas lagi. Terlihat si pemuda sedang mengecup bibir si gadis dengan ganas. Tak ayal, mata bocah itu kembali membeliak.
Kala tidak pernah melihat adegan bermesra-mesraan seperti ini sebelumnya. Tinggal di gunung hanya disuguhkan adegan monyet kawin! Itu saja tidak mesra.
Sorot mata pemuda itu tiba-tiba tertuju pada Kala, pandangan mereka saling bertemu, terlihat orang itu tersinggung lalu berubah menjadi amarah. Kala mengambil inisiatif untuk melepas pandangan matanya.
Akhza menyadari apa yang Kala lihat tadi. Tidak mau perhatian bocah tanggung itu terarah pada sepasang kekasih tak tahu malu itu, Akhza segera memulai percakapan.
"Kala, bisa kauceritakan riwayat hidupmu? Aku merasa tidak enak pada orangtuamu karena membawamu jauh-jauh ke sini. Coba ceritakanlah meski itu sedikit," kata Akhza. "Dan aku harap Tabib Maheswari dapat menjaga cerita ini ini, kecuali Kala sendiri yang mengizinkannya."
Maheswari mengangguk tanda mengerti. Kala merasa canggung menceritakan kisah hidupnya yang menyedihkan kepada Maheswari, tapi ia tetap bercerita.
Kala menceritakan semuanya, begitu semuanya, bagai tiada lagi yang tersisa.
Bercerita panjang lebar seperti itu membuat waktu seakan berlalu dengan cepat dan kadang pula berlalu sangat lambat.
Maheswari adalah satu-satunya pendengar yang paling terbawa suasana, matanya berlinangan air mata, hingga akhirnya air mata itu jatuh di pipi ketika Kala menceritakan bagian di mana sang nenek pengasuhnya meninggal.
Kala tak menyadari bahwa Maheswari bereaksi sedemikian, dan tetap melanjutkan cerita ke bagian yang jauh lebih menyedihkan.
Kala sampai pada saat ia menyelamatkan Akhza dan waktu kabut datang tiba-tiba, sampai sini Akhza mulai terkekeh sebab ini sudah sampai di mana bagian lucu. Kala mengatakan bahwa tiba-tiba kepala Akhza mencebul dari atap kubah darurat dengan muka angker. Orang tua itu terlihat sangat konyol pada saat itu.
Kala tidak menceritakan saat-saat di mana dirinya pingsan, dan langsung mengakhiri cerita saat itu juga.
"Ya, kira-kira begitu," tukasnya.
Tentu Kala merasa malu sebab terlalu mudah tak sadarkan diri untuk seukuran pria.
Akhza menyambung cerita Kala dengan senyum jahat di bibirnya. "Dan kau jatuh pingsan dengan mulut terbuka lebar bagai habis melihat hantu."
Kala tersenyum malu, ia memandang Maheswari yang sedang mengusap air matanya sambil berusaha tertawa. Seketika itu pula raut wajahnya berubah.
"Tabib ... Tabib menangis?"
"Betapa malangnya nasibmu, Kala ...." Maheswari mengelap air matanya sebanyak mungkin dan berusaha tidak menangis, tetapi suara sesenggukannya masih terdengar pelan.
Kala merasa bersalah, tetapi di sisi lain dirinya juga merasa heran.
Beruntung saja hidangan segera datang mencairkan suasana yang mulai canggung. Akhza kagum dan heran mengapa hidangan bisa datang di saat-saat menarik seperti ini.
Tiga pelayan menaruh seluruh hidangan di meja Kala. Dua pelayan lainnya membawa makanan ke meja pojok di mana muda-mudi mesra tadi berada. Kala melihat muda-mudi itu terlihat kesal dan bersikap kasar ke pelayan.
"Selamat menikmati makanan, Kisanak-Nyisanak."
Akhza mengangguk dan memberi uang lebih sebagai tanda terima kasih pada tiga pelayan yang ditugaskan untuknya, dua pelayan lainnya yang melayani muda-mudi tersenyum kecut sebab mendapat pelanggan yang kasar dan tak dapat uang tambahan.
Akhza melihat senyum itu, ia tertawa pelan lalu memberi dua keping perak ke dua pelayan itu. Mereka berlima membungkuk berterimakasih. Tetapi saat mereka berlima ingin pergi, lagi-lagi pemuda di meja pojok menghentikannya, tidak lupa dengan nada bicara yang tinggi.
"Kamu dan kamu!" Pemuda itu menunjuk dua orang yang melayaninya tadi. "Kalian yang melayaniku, kalian tak berhak mendapat uang lebih dari orang itu." Lalu ia menatap Akhza dengan aura pembunuh yang sangat besar. "Kaukira aku tak mampu memberi uang lebih, hah?!"
Keadaan mencekam setelah aura pembunuh itu dikeluarkan, udara sekitar juga berubah menjadi sangat dingin. Kala juga terkena tekanan dari aura pembunuh yang dikeluarkan oleh si pemuda, ia merasa Gunung Loro Kembar di atas pundaknya dan seperti berada di dekat hantu yang haus darah.
Maheswari juga merasakan tekanan itu namun tidak terlalu besar dampaknya, tidak seperti apa yang Kala rasakan. Akhza bahkan tidak merasakan tekanan itu sedikitpun, tetapi dirinya sadar bahwa Kala dan Maheswari sedang berada di bawah tekanan nafsu pembunuh yang besar dari sepasang kekasih itu. Maka dengan perasaan marah, dirinya pula melepaskan nafsu pembunuh.
Nafsu membunuh yang dikeluarkan oleh Akhza begitu besar dan terarah dengan baik ke si pemuda tanpa mengenai sesuatu apa pun yang lain bahkan gadis di sebelahnya pun tidak terkena dampak dari nafsu pembunuh itu, Akhza masih belum mengetahui apakah si gadis memiliki sifat yang sama seperti kekasihnya atau tidak.
Si pemuda bergetar hebat sebelum jatuh dan muntah darah.
Kekuatan Akhza sebenarnya lebih dahsyat, tapi ia menahannya atau nyawa pemuda itu bisa melayang. Sedangkan aura membunuh dari pemuda berhenti mengalir. Napas Kala tersengal-sengal, ia berusaha mengatur jalan napasnya yang sedari tadi tertahan itu.
Akhza menggeleng melihat Kesatria Garuda itu terkena masalah karenanya.
"Kalian bisa pergi sekarang," kata Akhza kepada para pelayan yang sedari tadi mematung. "Dan jangan buat masalah kecil ini menjadi masalah yang merepotkanku, atau kalian harus menyesal nantinya."
Para mengerti harus berbuat apa—atau lebih tepatnya tidak berbuat apa-apa. Mereka membungkuk berkali-kali sebelum lari ke luar ruangan.
Si gadis membantu kekasihnya berdiri, sedangkan pemuda itu hanya bisa memandang Akhza dengan geram tanpa daya melawan.
"Ayo makan!" seru Akhza dengan senyum lebar pada Kala dan Maheswari, seolah tidak terjadi apa pun tadi.
Kala menatap bubur tanahnya. Memang ini terlihat seperti lumpur murni, tanpa tambahan sayuran apa-apa atau nasi. Kala tak ambil peduli, ia sangat penasaran dengan rasa bubur aneh ini. Ia menyuap bubur cokelat itu. Sambil berharap bahwa rasanya manis-gurih.
"Ugh!"
Sekali lagi, lagi-lagi sekali lagi, mata Kala membelialak lebar. Bahkan tanpa sadar, sendoknya terlepas dan tenggelam di lumpur dalam mangkuk tersebut. Kala masih tak bergerak, masih berusaha mencerna rasa yang terecap di lidahnya.
"Eh, kamu tidak makan?" Maheswari menyunggingkan senyum menggoda—atau sedikit meledek.
"Aku sudah makan tadi siang, belum lapar." Kala mendorong mangkuknya sedikit ke tengah, bersandar pada kursi sambil mengelus-elus perutnya seakan-akan merasa kenyang.
Krrrrk!
Maheswari mengangkat alisnya dengan senyum yang semakin melebar, sedangkan Akhza tertawa panjang. Kala hanya bisa meringsut ke bawah dengan perasaan malu.
Baru saja ia mengatakan bahwa dirinya belum lapar, tapi perutnya malah berbunyi seperti itu!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Lalu Ell Leo
awal cerita yg jelek dan membosankan
2023-01-15
0
Alfi Ghaf
perut yang jujur
2022-12-18
0
Alfi Ghaf
para pelayan
2022-12-18
1