Matahari bersinar cukup cerah sejak pagi tadi. Halimun tipis yang teramat menyejukkan turun ke kaki gunung. Hingga siang hari ini, pohon-pohon masih menyiur angin dingin dari lereng. Ratusan binatang dan tumbuhan spirit[1] di kaki gunung riang menikmati hangatnya sinar matahari sekaligus sejuknya angin.
Pagi ini bocah itu sangat senang. Baru beberapa saat yang lalu dirinya mendapatkan sekantung beras dari seorang petani yang berbaik hati.
Sekantung beras tersebut bisa dihabiskan dalam waktu lima hari jika bocah itu berhemat, dan beruntunglah ia hidup hanya sebatang kara di gubuknya sehingga tidak perlu berbagi biji-bijian yang mengenyangkan itu.
Namanya adalah Kala Piningit, seorang bocah tanpa keluarga yang tinggal seorang diri di kaki Gunung Loro Kembar. Berusia empat belas tahun, ia tinggal di sebuah gubuk tua kecil yang sangat keropos karena telah lama dimakan rayap, Kala menganggap gubuk nahas itu sebagai istana yang luar biasa megah.
Kala sangat miskin dan papa, untuk makan dirinya hanya mengandalkan hewan dan tanaman. Hampir setiap hari dirinya harus keluar dan memburu. Terkadang jika tidak mendapatkan hewan buruan, ia membuat panah atau tombak untuk ditukarkan dengan sejumlah ransum di desa yang terletak cukup jauh dari kaki Gunung Loro Kembar.
Hari ini, Kala sebenarnya hendak pergi mencari kayu bagus di hutan jika saja petani itu tidak datang, ia berencana membuat panah serta tombak sebab kemarin hari tidak mendapat hewan buruan. Entahlah, kebutuhan peralatan perang akhir-akhir ini meningkat tinggi, tetapi hal itu jadi sangat bagus untuk Kala dan sejumlah masyarakat miskin lain yang menggantung hidup pada tombak dan panah.
Secara lahiriah, bocah itu boleh dikata cukup tampan. Terandai saja sedikit lebih terawat, ia dapat membuat banyak wanita pangling di hadapannya.
Rambut Kala panjang dan awut-awutan, tapi itu cukup keren bagi anak gunung seperti dirinya. Kulitnya sewarna dengan sawo yang agak terlalu matang. Tingginya sedikit lebih tinggi daripada bocah seumuran.
Meskipun tampangnya masih bocah sebetul-betulnya bocah, tetapi jiwanya sangat dewasa. Kala sudah ditempa dengan pahitnya kehidupan, menjadikan sikapnya jauh lebih dewasa dibandingkan dengan umurnya.
Saat ini, beras di periuk telah matang dan siap santap. Tidak ada lauk atau sayur yang menemani. Bahkan dengan nasi itu saja sudah sangat jarang Kala nikmati.
Akhir-akhir ini hujan sering turun dan perburuannya menurun. Hewan buruan biasanya akan bersembunyi jika hujan datang, itu yang membuat Kala kesulitan, apa lagi untuk melawan dinginnya udara hujan. Belum lagi, Kala berkemungkinan akan bertemu dengan hewan spirit yang berkeliaran saat hujan datang.
Jika saja hutan di kaki Gunung Loro Kembar tidak dipenuhi hewan-hewan spirit yang sangat berbahaya, mungkin Kala tidak akan kelaparan, bahkan seharusnya perutnya pecah karena terlalu penuh.
Nusantara adalah tempat di mana seharusnya makanan melimpah ruah dan bisa didapatkan secara cuma-cuma, tetapi sayangnya Kala hidup di hutan yang dipenuhi hewan-hewan aneh. Sungguh mengganggunya.
Periuk diangkat dari tungku yang masih dikobari api. Meletakkannya di lantai kayu gubuk, Kala menatap periuk itu dengan sangat antusias. Ketika ia membuka tutup periuk, aroma nasi menyerbak dan menggugah selera.
Kala menyendok sejumlah nasi dan menjatuhkan di atas alas daun pisang, daun pisang itu dianggap sebagai piring emas olehnya.
Beras yang ia masak tidaklah terlalu banyak, sisanya ia simpan. Semua nasi yang ada di periuk masuk ke alas makannya tanpa tersisa.
“Tunggu ....” Kala memperhatikan nasi di atas sendoknya.
Itu jelas-jelas bukan nasi hangat! Itu nasi panas yang menerjang lidah kenyal Kala tanpa ampun. Kala tidak berpikir panjang, bodoh karena nafsu. Bahkan ia malas untuk sekadar meniup nasi panas itu!
Tanpa pikir panjang lagi, Kala menyuap sesendok nasi hangat ke mulutnya.
Kala berteriak keras, nasi di mulutnya itu bagaikan telah menyiram air mendidih ke lidahnya. Ia berteriak dengan bebas tanpa sesosok manusia pun yang mendengarnya selain telinganya sendiri.
Nasinya sangat panas, Kala ingin membuang nasi itu dari mulutnya, tetapi ia tidak punya banyak nasi lagi untuk dimakan!
Dalam kondisi genting seperti ini, Kala memutuskan menelan saja nasi itu.
Berkebalikan dengan bayangan perkiraannya. Nasi panas itu malah membakar tenggorokan, terus mengalir ke bawah. Rasa sakit itu sungguh merata sekarang.
Kala kalap, ia tidak bisa berpikir jernih lagi! Dengan langkah lari yang cepat, Kala pergi ke belakang rumah menuju sumur.
Sumur berisi air gunung yang menyejukkan. Kala dengan cepat menimba air dan meminumnya. Rasa panasnya banyak berkurang, dan saat ini dia kembali tenang untuk kembali melanjutkan makan.
Kala berjalan santai menuju tempat semula saat ia makan. Ia bersiul santai tanda bahwa ia baik-baik saja.
Dum!
Siulannya terhenti! Terdengar suara ledakan yang ingar bingar seantero hutan. Suara ledakan ini disertai oleh angin yang berembus lumayan liar! Rambut Kala yang panjang menari liar terbawa angin.
Pepohonan berusaha teguh berdiri di tengah maut. Dedaunan terbang dan sesekali menabrak tubuh ranting Kala. Gubuk tuanya berderit, membuat Kala khawatir bukan main. Mata Kala menyipit akibat deru debu yang terempas angin.
Lengannya dipergunakan untuk melindungi mata. Air-air di daun pohon bekas hujan semalam jatuh menimpa tanah seiring dengan goyangan pohon.
Dum...!
Ledakan itu terdengar lagi! Angin yang awalnya mulai surut kembali ganas, bahkan lebih ganas! Debu basah terbang. Ranting-ranting tak ayal patah dan pergi terbawa angin.
Gubuk kepunyaan Kala semakin berderit. Ledakan terdengar lagi dan lagi, entah berapa lama Kala dapat bertahan dari hantaman angin sekencang ini.
"Apa-apaan ini?"
BUM!!!
Sebuah ledakan besar dan yang menjadi puncak atas segala ledakan, itu terjadi! Suaranya membuat telinga Kala berdengung. Matanya tertutup, tetapi masih dapat ia merasakan tubuhnya terempas kuat ke belakang!
Tubuhnya lecet tergores oleh reranting. Beberapa detik lamanya Kala melayang-layang di udara sebelum akhirnya ia jatuh berdebum. Kala terguling-guling di atas tanah, ia berhenti setelah menghantam batu yang lumayan besar ukurannya.
Penglihatannya berkunang-kunang. Telinganya berdengung. Ia memaksakan diri untuk bangkit dan membuka mata, melihat apa yang terjadi.
Kabut memenuhi hutan. Kabut yang jelas tidak ada sebelum suara keras itu terdengar!
"Apa ... yang terjadi?" Kala berkata dengan terbata, "apakah Sang Hyang marah padaku?"
Kala berjalan ke arah gubuknya setelah beberapa saat melamun. Walau ia terlempar cukup jauh dari sana, tapi ia cukup mengenal hutan ini sehingga mudah baginya untuk mencari jalan pulang.
Lutut Kala lemas seketika bilamana ia melihat gubuknya runtuh; pohon besar menimpanya ditambah dengan angin kencang.
Tak ada yang tersisa selain puing-puing kayu.
“Ini ... rumahku ... mengapa bisa hancur?”
Kala sudah tinggal bertahun-tahun lamanya di sini. Jiwanya hancur saat melihat tempatnya berlindung selama ini rusak.
***
Beberapa saat telah berlalu. Mungkin sepeminuman teh lamanya. Kala mulai bangkit berdiri. Bagaimana pun juga, Kala harus menguatkan diri. Ia tidak bisa bersedih terlalu lama di tempat ini.
Jika ia harus membangun atap kecil dari puing-puing, maka akan ia lakukan. Jika ia harus mencari tempat hangat di hutan, maka ia akan lakukan.
Malam akan menjemput. Dingin akan menusuk sampai tulang-tulang. Kala tahu persis, Gunung Loro Kembar bukanlah gunung yang bersahabat.
Saat ia berusaha melangkahkan kakinya, Kala malah terjatuh. Seakan ia memang tidak kuat untuk menerima ini semua.
Dan pada akhirnya, ia menangis.
Dia memanglah lelaki, tapi bukanlah berarti manusia tanpa air mata. Sebagaimana manusia pada awamnya, ia juga bisa menangis. Bukankah setidaknya ia telah bersikap jantan dengan kembali bangkit dan tidak berlarut-larut dalam kesedihan?
Kala mengusap air matanya lalu bangkit. Membongkar puing-puing, mencari apa saja yang sekiranya masih bisa diselamatkan walau yang ia dapatkan hanyalah selembar kain selimut.
Nasi yang baru saja matang sudah bercampur dengan debu dan tertimbun di bagian bawah gubuknya, itu sangat menyedihkan, perutnya masih sangat lapar.
Saat Kala berjalan mengelilingi gubuknya, ia melihat sebuah lubang seukuran sumur di sisi barat gubuk.
Kala memastikan bahwa lubang itu tidak pernah ada sebelumnya. Bahkan ia memastikan sumurnya tidak pindah dari sisi selatan gubuknya.
Dengan langkah penasaran, Kala pergi ke arah lubang tersebut berada. Saat dilihat dari dekat, lubang tersebut mengeluarkan asap dingin dari dalamnya.
Kala tidak pernah merasakan asap berhawa dingin sebelumnya, kecuali kabut. Bahkan kabut tidak terlalu dingin seperti ini.
Setelah tinggal dua langkah lagi dari lubang, Kala bisa melihat seorang pria tua di dalamnya, dengan posisi bersila dan baju rombeng.
Mata sepuh itu tertutup dan nafasnya lemah. Kala bisa tahu bahwa ia sedang tidak sadarkan diri dari atas.
Lubang ini tidak terlalu dalam, hanya sekitar beberapa kaki saja.
Kala tidak tahu apa yang membuat seorang kakek-kakek ada di sini, belum lagi mengapa ada lubang yang terbentuk di sini.
Dari pria itu, Kala bisa melihat asap tipis yang mengalir keluar dari badannya, asap itu kemudian menyatu dengan kabut di sekitarnya.
___
Catatan:
[1]: Hewan dan tetumbuhan spirit adalah binatang dan tanaman yang memiliki kemampuan mengedarkan prana. Biasanya memiliki kecerdasan di atas rata-rata, di antaranya bahkan dapat berbicara dengan bahasa manusia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Alfi Ghaf
napasnya
2022-12-04
2
Alfi Ghaf
miskin dan papa?
2022-12-04
1
udin_seblak
setidaknya mc nya agak sdikit tampan... 😁👍
2022-10-18
0