Hari pertama mengajar berjalan dengan lancar dan kini tiba saatnya Brayan untuk pulang. Namun, sebelum meninggalkan ruang guru langkah Brayan tertahan sejenak. Seseorang dari belakang sedang memanggil namanya.
"Pak Rayan, tunggu!"
Brayan menoleh kebelakang. Dia masih bisa mengenali wajah siapa yang sedang memanggilnya, tetapi tidak mengingat namanya.
"Iya, ada apa?"
Seragam batik dengan rok panjang hitam. Seorang murid perempuan mengatur napasnya, karena harus berlari untuk mengejar Brayan.
Dengan napas yang masih tersengal murid itu berkata, "Pak ... ini untuk bapak."
Sebuah amplop kecil berwarna pink diserahkan kepada Brayan.
"Apa ini?" tanyanya.
"Udah Bapak terima aja. Oh iya, jangan buka disini ya!" pinta murid itu sambil tertunduk malu-malu.
Tangan Brayan terulur untuk mengambil amplop pink dengan dahi yang mengerut. Brayan tidaklah polos, dia tahu apa yang sedang dia terima.
Brayan hanya menatap amplop itu tanpa ekspresi sambil melihat muridnya berlalu pergi begitu saja. Dia pun hanya bisa menghela napas panjang saat tahu ada seorang murid yang secara terang-terangan memberikan surat kepada dirinya.
"Hari gini masih jaman menulis surat?" Brayan menggeleng sambil memasukkan amplop pink itu ke dalam sakunya.
Di ujung sana sudah bersembunyi dua orang yang murid perempuan yang ingin memastikan jika rencana mereka telah berhasil.
"Gimana, Al?" tanya Zahra kepada Aliya, yang berjalan mendekati dengan cengengesan.
"Di terima, Ra." Sorak Aliya kegirangan.
"Serius?"
Aliya mengangguk antusias sebagai jawaban keseriusannya.
Siapa yang tidak mengenal Aliya Munawarah, salah satu murid yang banyak memiliki catatan buruk selama hampir dua tahun menimba ilmu di sekolah itu. Bukan hanya itu saja Aliya juga sering tidak mengikuti kelas di asrama.
"Kamu nekad ya, Al. Guru baru kamu kerjai! Kalau dia sampai baper dan menganggap itu sungguhan, bagaimana?"
"Biarkan saja, kalau dia baper ya pepet terus. Lumayan masih muda, tampan juga," kelakar Aliya.
"Sstt ... jangan berisik! Nanti kalau ada yang dengar gimana? Dah, balik ke asrama yuk!" ajak Mifta yang takut jika sampai terlihat guru lainnya.
**
Selepas Ashar, Brayan meninggalkan pondok. Tujuannya saat ini adalah jalan-jalan ke taman kota yang memang sudah dia rindukan selama ini. Selain tempatnya yang nyaman untuk bersantai, jajan kuliner juga sangat dirindukan.
Duduk di sebuah bangku panjang, Brayan menyandarkan tubuhnya di bangku sambil menunggu pesanannya datang. Makanan yang tak pernah dijumpai selama 4 tahun terakhir ini, yaitu bakso beranak.
Satu mangkok hanya berisi satu buah bakso, tetapi jangan tanya isi di dalam bakso yang baru saja dia belah. Berhubung Brayan datang sendiri, maka dia pun memilih yang ukuran biasa.
Di tengah-tengah menikmati baksonya, netralnya menangkap seseorang yang tak asing baginya, karena tadi pagi baru saja dilihatnya. Meskipun hanya sekilas, tetapi ingatan Brayan cukup kuat untuk mengenalinya.
"Bukannya itu pria yang bersamaan dengan Fisya tadi pagi? Tapi, kenapa dia malah bersama perempuan lain disini?" Brayan hanya bisa membatin sambil mengamati dua orang yang terlihat sangat dekat.
"Sepertinya aku harus menanyakan kepada Briyan."
Brayan-pun tak ingin kehilangan jejak. Dia segera mengambil ponsel lalu menjepret sepasang anak Adam Hawa yang terlihat sangat dekat.
[ Ri, apakah ini pria yang kamu sebut sebagai tunangan Fisya? ]
Begitulah caption foto yang dikirim ke chat Briyan.
[ Kamu dapat dari mana? ]
[ Sudah kamu jawab saja! ]
[ Iya. Itu Alqan tunangan Fisya sama ceweknya. ]
Dada Brayan sesak saat membaca kalimat terakhir, yang mengatakan tunangan Fisya bersama dengan pacarnya. Bagaimana mungkin seseorang yang telah di tunangkan masih memiliki kekasih? Apakah keluarga Fisya tahu? Apakah Fisya juga mengetahui hal ini?
Berbagai pertanyaan mulai memenuhi kepalanya. Namun, Brayan memilih untuk menepisnya. Tidak ada gunanya Brayan ikut campur dalam hubungan Fisya dengan tunangannya, saat menyadari bahwa dia bukan siapa-siapanya Fisya.
Namun, meskipun Brayan mencoba untuk acuh, tapi pada kenyataannya dia terus memikirkan Fisya. Dia merasa tidak terima jika seseorang menyakitinya. Entah keberanian dari mana, saat ini Brayan nekat memasuki sebuah butik, tempatnya melihat Fisya tadi pagi.
Kedatangan Brayan disambut ramah oleh pelayan butik. Mata Brayan langsung megedar untuk mencari dimana sosok Fisya berada.
"Ada yang bisa dibantu, Mas?" tanya salah seorang pegawai butik.
Kebetulan sekali dengan pertanyaan yang dilayangkan kepada dirinya, Brayan segera menjawab, "Nafisya dimana ya?"
"Mas ada perlu apa dengan ibu Fisya?"
"Saya temannya. Saya ingin bertemu dengan dia."
"Baiklah, saya panggiljan ibu Fisya dulu. Mas tunggu saja sebentar."
Brayan tidak sabar untuk bertemu dengan Fisya. Ingin sekali dia mengatakan kepada Fisya jika tunangannya bukanlah pria yang baik.
Tak berselang lama, Fisya datang bersama dengan pegawai yang menunjukkan keberadaan Brayan.
"Itu orangnya, Bu. Kalau begitu saya permisi ya."
"Terimakasih."
Fisya belum bisa melihat siapa sosok yang sedang mencari dirinya karena pria itu sedang melihat lukisan yang terpampang di dinding.
"Kamu cari aku?" Suara Fisya menggetarkan hati yang kalut.
Degup jantung yang bertalu-talu, seolah ingin lepas dari sarangnya karena terlalu kuat berdebar.
Dengan tubuh yang setengah bergemetar, Brayan segera membalikkan tubuhnya agar bisa terlihat oleh Fisya.
"Kamu!" Tunjuk Fisya terkejut saat melihat wajah Brayan.
"Tidak usah terkejut seperti itu! Sya, bisakah kita berbicara sebentar?"
Fisya merasa sangat shock dengan kehadiran Brayan yang tiba-tiba muncul di hadapannya, karena mengingat Brayan yang 4 tahun terakhir ini tinggal di luar negeri. Tak ada sedikitpun penolakan, Fisya mengangguk pelan untuk mengiyakan keinginan Brayan berbicara sebentar dengannya.
Saat ini keduanya sudah berada di sebuah cafe dekat butik. Sesekali Brayan mencuri pandang kepada Fisya yang memilih menunduk.
Ternyata seiring berjalannya waktu bisa merubah kepribadian seseorang. Jika dulu Fisya super cerewet, tapi kali ini dia lebih menghemat kata-katanya untuk dikeluarkan.
"Ray, kamu apa kabar? Kapan pulang kesini?” tanya Fisya yang sudah mulai merasa bosan dengan suasana hening.
"Kabarku baik dan aku baru beberapa hari yang lalu pulangnya. Kamu sendiri bagaimana kabarnya."
Fisya tersenyum tipis. Ada rasa bahagia karena bisa bertemu kembali dengan Brayan, tetapi ada sedih, kenapa Brayan harus muncul disaat yang tidak tepat, saat dirinya telah menjadi tunangan pria lain.
"Alhamdulillah kabarku baik. Jadi ada penting apa yang membuatmu ingin berbicara denganku?"
Brayan menggaruk tengkuknya sambil memikirkan alasan yang tepat. Karena tidak mungkin Brayan mengatakan jika dia melihat Alqan bersama wanita lain. Sudah pasti 1000% Fisya tidak akan mempercayai ucapannya. Detik itu juga pasti Brayan akan dikatakan telah menfitnah Alqa, mengingat Brayan baru saja pulang beberapa hari yang lalu.
"Ray!" panggil Fisya.
"Ah, iya. Aku lupa mau ngomong apa tadi ya." kilah Brayan sambil cengengesan.
"Sya, aku lupa." Brayan nyengir memperlihatkan deretan gigi putihnya.
"Kamu gimana, sih? Belum tua udah pikun," cibir Fisya. "Udahlah, mending aku kembali ke butik aja! Gak jelas kamu!"
Jika dulu Brayan akan langsung naik darah ketika dicibir oleh Fisya, tetapi tidak untuk saat ini. Dulu masih labil dan belum bisa mengontrol emosi. Namun, untuk saat ini Brayan memilih santai atas cibiran Fisya, meskipun dia juga merindukan saat-saat adu mulut.
"Namanya juga lupa, Sya. Ya udah minum cofelate dulu deh. Mubadzir udah sampai sini enggak ngapa-ngapain," saran Brayan ragu.
Karena merasa tidak enak dan tidak mau dianggap sombong, Fisya akhirnya mengikuti saran Brayan. Tidak ada salahnya untuk menikmati cafelate sebantar bersama dengan Brayan yang telah lama berpisah.
Secangkir cofelate didepan Fisya pun membuat bayangan yang telah terkubur kembali muncul. Kala itu mereka belum dewasa, masih seperti tikus dan kucing yang saling menyerang. Tanpa terasa seulas senyum indah melengkung di bibir Fisya. Seolah dia menertawakan masa remajanya dulu.
"Kamu kenapa, Sya? Senyum-senyum sendiri?"
Saat itu juga Fisya langsung membuang jauh senyum indahnya lalu berkata, "Ray, seperti aku harus segera kembali ke butik, deh. Aku duluan, ya." Sungguh Fisya merasa sangat malu dengan ingatan dan membuat pipinya merona
"Ya udah, aku antar ya!"
..._...
..._...
..._...
...🌹 Bersambung 🌹...
...Cuma mau mengingatkan, jangan lupa Like ya!...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
sari emilia
nah kn muter to the poin aja np sih pling benci kl novel byk ngelantur nya...
2023-04-15
0
Amanah Amanah
gimna si Ray koq g mgomong
2023-01-01
0
borjun as
biasanya ya yg kayak tom n Jerry itu karena suka jadinya y gitu ngajak ribut untuk cari perhatian lawan..😀
2022-07-02
2