Setelah membawa anak perempuan yang bertemu denganku dijalan, aku membawa mereka ke kost ku. Mereka kelaparan sehingga makan dengan sangat lahap. Setelah makan mereka beristirahat. Kubiarkan mereka beristirahat dan aku bermain ponsel. Setelah sang ibu bangun, aku lalu menanyakan nama anaknya.
"Anak saya namanya Weni, dek."
"Saya Dewi buk."
"Dek, terima kasih atas pertolongan kamu. Saya berjanji akan membalas kebaikan kamu dek."
Aku terdiam sejenak mendengar perkataannya, dan membalasnya dengan senyuman. "Buk, apa Ibuk mau bekerja jadi pemotong daging di rumah makan?"
"Dimana itu dek?"
"Dekat kok buk dari sini, cuma 300 meter aja jalan kaki juga nyampe. Bos saya kemarin cari orang khusus motong dan bersihkan ikan dan daging."
"Iya dek, saya mau dek saya kerja apa aja mau yang penting halal."
"Saya telpon bos saya dulu ya buk, mudah-mudahan belum dapat cari pekerjanya."
Aku mengambil ponsel dan menelpon bosku. Alhamdulillah... hatiku senang sekali mendengar bos langsung menyuruh ibu itu bekerja besok.
"Buk, langsung kerja besok bisa nggak buk?"
"Iya dek, saya mau.. saya mau dek." espresi wajahnya terlihat luar biasa senang. Dia terus mengucapkan terima kasih padaku.
"Tapi... anak ibu gak papa kalau ditinggal disini sendirian?"
"Nggak papa dek, dia anak yang berani. Dia bukan anak cengeng, dia pasti mau koq."
"Yasudah besok ibu pindah ke sebelah aja, nanti saya bayarin dulu uang kostnya. Dan saya juga akan pinjamkan uang buat ibu selama belum terima gajih, meskipun gak banyak saya harap bisa bermanfaat."
"Ya Allah... baik sekali kamu dek, terima kasih banyak ya dek." ibu itu menangis dan terus menerus memuji Tuhan.
Keesokan hari, aku membayarkan kost dan memberi ibu itu uang sisa gajiku 1 juta. Sebenarnya aku bisa saja menyuruh mereka tinggal di kostku, tapi aku harus tetap waspada terhadap orang yang baru saja kukenal. Jangan sampai nanti, aku membantu orang yang salah, karena aku juga sebatang kara di kota ini. Tapi kurasa bantuan ku itu cukup untuk mereka bertahan hidup sebelum menerima gaji nanti.
Dengan ini aku senang bisa membantu orang lain dan tenang karena sang ibu sudah memiliki pekerjaan. Weni anaknya pun sekarang sudah mulai pulih dari sakitnya.
Ibu Weni menyekolahkan Weni di sekolah terdekat agar bisa dicapai dengan berjalan kaki. Untuk sepeda dan barang-barang lainnya belum bisa mereka beli. Dengan gaji 1.500.000 ibu Weni berusaha sehemat mungkin dan juga berusaha untuk menyisihkan sedikit.
Hampir setiap hari ibu Weni mengantarkan makanan untukku sisa dari rumah makan. Meskipun rumah makan tutup pukul 11 malam, namun ibu Weni boleh pulang jika pekerjaannya sudah selsai dan kembali lagi jika ada ikan atau daging yang harus dipotong dan dibersihkan.
Begitulah sekarang rutinitas ku sehari-hari bersama dengan tetangga baruku Weni dan ibunya. Weni yang sudah berumur 9 tahun juga sudah mengerti harus menjaga dirinya sendiri apabila ditinggal sendirian, dia hanya di dalam kamar dan mengunci rapat pintu kamar kostnya. Weni takkan membukakan pintu jika selain aku dan ibunya yang mengetuk atau memanggil.
Mereka bisa lebih berhemat karena Ibunya seringkali pulang Engan membawa makanan yang sudah matang dari tempat dia bekerja.
Aku yang terlalu lelah bekerja juga jarang sekali bertamu untuk menengok Weni dan ibunya. Begitupun mereka yang memahami pekerjaanku, mereka juga enggan untuk mengganggu tidurku. Hanya jika mereka mengantarkan makanan saja barulah mereka mengetuk kamar kostku. Selain itu, kami sibuk dengan rutinitas kami masing-masing.
Pukul 00.00 dini hari sangat dingin menusuk tulang. Mataku juga masih berat untuk melek malam ini. Sehingga aku mengemudi dalam keadaan ngantuk dan mata lengket. Mungkin efek bangun tiap malam sekarang mulai kurasakan. Mataku yang mengantuk berat membuat mataku terus berair dan,
Braaakkkkkkk.
Aku tidak bisa mengingat kejadian setelah itu. Yang pasti kurasakan perih di lutut dan sakit seluruh badanku. Ketika aku terbangun aku berada di dalam sebuah kamar berukuran sama dengan kamar kostku.
Ketika aku ingin bergerak sesuatu menempel di punggung tangan kiriku, infus. Aku mencoba mengingat-ingat kejadian terakhir. Akhirnya aku ingat kejadian samar-samar diingatanku.
Aaakkkkhhhh !!!
Teriakku karena seluruh tubuhku yang sangat kaku penuh dengan luka memar.
"Hei, jangan bergerak!" teriak seorang lelaki yang tiba-tiba muncul di depanku.
"Siapa kamu?" tanyaku penuh hati-hati.
"Maaf aku sudah menabrak kamu tadi malam, aku akan bertanggung jawab. Aku harap kamu gak akan menuntut ku." katanya penuh khawatir dan penyesalan.
"Oke, baik. Sekarang aku ada dimana?"
"kamu di kontrakanku, di jalan Mawar."
Jalan mawar? wow, lumayan jauh dari tempat tinggalku. Sekarang untuk bergerak saja rasanya sakit sekali, bagaimana aku bisa pulang?
"Jadi, dimana motorku?" aku mulai berbaring rilex agar laki-laki didepanku juga ikut rilex. Karena dari tadi dia terlihat gugup berbicara padaku.
"Motor kamu masih diperbaiki, motor kamu rusak parah. Perlu waktu beberapa hari untuk memperbaiki secara keseluruhan."
Matilah aku!
Motor itu masih dicicil belum lagi ada setengah tahun. Aku mulai geram mendengarnya, sehingga aku duduk kembali dengan susah payah.
"kalau sampai motorku gak kembali sempurna dan kamu gak mengobatiku sampai sembuh, aku akan tuntut kamu!" ucapku tengan lantang.
Laki-laki itu terlihat gugup tapi aku tak ingin melihat wajahnya. Melihat tingkahnya sepertinya dia orang yang tidak bertanggung jawab dan tak bisa diandalkan.
Tak lama kemudian, seorang perempuan yang ternyata perawat masuk membawa obat-obatan dengan tas jinjing.
"Permisi, saya masuk."
Aku diam seribu bahasa, takkan kuberi kesempatan untuk laki-laki itu melihat senyumku karena aku tak mau nanti aku disepelekan.
Perawat itu juga masih muda, kami bertiga mungkin seumuran. Perawat itu menyuntik selang dengan obat dari botol kecil.
"Maaf, obat apa yang kamu suntikkan tadi?" tanyaku menatap perawat itu dengan tajam.
"Ini pereda nyeri, saya suntikkan saja supaya gak perlu menelan obat."
"Benarkah?"
Perawat itu telah selesai dan pulang dengan tas jinjing yang berisi obat.
"Kamu lapar? aku punya makanan."
"Ya, aku lapar." kataku tanpa melihat wajahnya.
Laki-laki itu membawakan makanan kotak yang sepertinya memang sudah dibelinya sebanyak 5 kotak. Aku heran melihatnya membeli makanan sebanyak itu.
"Jadi, ada berapa orang yang tinggal di kontrakan ini?"
"Cuma aku saja, cepat makanlah. Ngobrolnya nanti saja."
"Jangan berbohong kamu, mana mungkin kamu membeli nasi kotak sebanyak itu untuk dirimu sendiri?" kataku dengan sinis.
"Aku memang banyak makan, makanya badanku berisi begini. Aku makan 3 kotak nasi biasanya?"
Aku hampir tersedak mendengar pengakuannya sanggup memakan 3 nasi kotak sekaligus.
"Apa?! kalau satu kali makan kamu bisa menghabiskan 3 kotak nasi dikalikan 3 sudah ada 9 kotak yang kamu habiskan. Apa itu masuk akal?"
"Memangnya apa yang membuatmu berfikir kalau itu tidak masuk akal?" sekarang dia terlihat heran dengan pertanyaan ku.
"Memangnya kamu kerja apa sampai sanggup makan 9 kotak nasi sehari? kalau gajihku satu bulan 1.500.000 maka habis cuma untuk membeli nasi kotak saja." kataku masih sinis padanya.
"Memangnya kamu harus tahu aku kerja apa?"
sekarang dia terlihat lebih sensitif dengan sikapku.
"Nggak, aku nggak perduli. Aku cuma mau sepeda motorku kembali seperti semula, kamu obati semua lukaku sampai sembuh, membayar cicilan motorku, dan mengganti uang gajiku selama aku sakit karena aku gak tahu apakah nanti aku akan dipecat dari pekerjaanku karena kecelakaan yang kamu sebabkan."
"Cuma itu?"
"Ya, itu sudah cukup."
Laki-laki itu keluar kamar sebentar dan kembali dengan amplop coklat tebal.
"Ini uangmu, setelah kamu sembuh dan bisa pulang permasalahan diantara kita selesai."
"Oke."
Dia beranjak ke luar kamar dan tak lama kemudian kudengar dia mendengkur. Enak sekali dia tidur? sementara aku masih merasakan tubuhku yang kaku dan sakit luar biasa.
Kubuka amplop coklat yang dia berikan tadi, sangat tebal. Ku coba menghitung uangnya 30 juta! Kaki dan tanganku brgetar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
🤗🤗
semangat saling dukung🥰🥰
2022-08-18
0