Aku menatap laki-laki di depanku dengan lekat. Badan nya yang kurus, hitam dan dek... Briyan??
"Pak Briyan??!" aku melongo dengan kedua tangan menenteng high heels ku.
Briyan nampak serba salah ingin berbicara denganku, nampaknya ia minder dengan penampilannya saat ini. Atau karena merasa bersalah sudah menghilang tanpa kabar.
"Kenapa kamu tinggal di sini Wi?!" Briyan bertanya padaku dengan penuh keheranan.
"Sssttt !!" Aku memberikan isyarat padanya untuk diam. "Bicaranya di dalam saja, nggak enak dilihat orang."
Briyan menggeleng mengikuti ku dari belakang. Aku membuka kunci pintu dan terlebih dahulu meletakkan sepatu Haigh heels ku.
"Duduklah dulu," perintahku padanya.
Aku berjalan pincang menuju dapur dan merebus air untuk membuatkan Briyan kopi dan mengompres tumit ku yang lecet.
Aku membuatkan Briyan secangkir kopi dan mengantarkannya. Kemudian kembali mengambil baskom yang berisi air hangat dan kain kompres. Aku mengompres tumit ku yang lecet dan agak bengkak di hadapan Briyan.
"Bolehkah aku menyalakan rokok?"
"Tidak boleh!"
"Kamu nggak pernah berubah, tetap saja kejam seperti biasa," ucapnya memasukkan kembali rokok dan koreknya ke dalam saku nya.
"Kamu nggak lihat, tempat ini sangat sempit?" aku mengucapkannya sambil meringis menahan sakit.
"Ma'afkan aku dan ibuku, Wi."
Aku menghentikan sebentar kompresan di tumit ku dan menatapnya sejenak, "tenang saja, bukan salahmu sepenuhnya."
"Aku mau kamu kembali tinggal di wisma, di sana lebih nyaman buatmu." Ucapnya sambil menatap setiap sudut kontrakan baruku.
"Kamu tenang saja, aku lebih senang di sini."
"Bagaimanapun juga, aku merasa bersalah," ucapnya menunduk.
"Kamu nggak perlu membayar kesalahanmu, kamu sudah sangat baik selama ini padaku. Jadi, jangan berpikir berlebihan."
"Andai saja..."
"Andai saja apa?"
"Andai saja aku benar-benar jatuh cinta sama kamu Wi."
Aku mengernyitkan kening mendengar perkataannya. "Sudahlah pak Briyan, jangan berlebihan seperti itu kalau mau tinggal lebih lama di sini!"
"Itulah maksudku Wi, andai kan kamu lebih lemah lembut padaku. Mungkin aku akan benar-benar jatuh cinta sama kamu."
Aku terhenyak mendengar kalimatnya, aku menahan tawa ku. "Sayang sekali pak Briyan, aku sama sekali nggak tertarik jadi istrimu, apalagi mempunyai ibu mertua yang galak seperti ibumu!" aku tertawa setelah mengatakannya.
"Ya, aku sudah menyeretmu dalam masalah, sekali lagi aku minta ma'af."
"Dan, pak Briyan. Tipe perempuan seperti aku ini sangat langka. Kamu cari saja, cuma ada 1 dalam 1000 orang."
Kami terdiam sejenak.
"Jadi, bagaimana harimu di tempat kerjamu yang baru?"
"Aku yakin akan mendapatkan gaji yang besar bulan depan, pak. Aku sangat optimis tentang itu."
"Maksudku, kamu betah di sana?"
"Ya, lumayan betah untuk sa'at ini. Hanya saja, sift malam membuatku sangat mengantuk. Aku jadi lebih sering bangun kesiangan."
"Itu nggak bagus buat kesehatan mu."
"Jadi, apa yang terjadi sama kamu? bagaimana bisa kamu jadi kurus, hitam dekil seperti ini? aku hampir gagal mengenalimu."
"Itu karena Sean sialan!"
"A-apa?"
"Sean sialan sudah menjebakku di hutan belantara tanpa listrik, sinyal ponsel dan makanan. Dan yang lebih parah lagi, aku harus membantunya memuat kayu-kayu hutan besar!" Kali ini wajah Briyan berubah menjadi kesal.
Jujur saja, sebenarnya meskipun ia jadi kurus, hitam dan dekil, wajahnya tetap tampan dan manis. Matanya yang sipit membuatku terkadang membayangkannya.
"Ha ha ha ha ha, jadi begitu?"
Briyan menceritakan sedikit awal mula dia mengikuti Sean ke hutan rimba. Dia tak banyak bercerita, sepertinya ia sangat lelah. Dapat terlihat dari wajahnya yang kusut, seperti pakaian yang tak pernah disetrika.
Briyan dan aku jadi canggung dibuatnya. Aku rasa kami sudah kehabisan topik pembicaraan. Sebentar lagi ia pasti akan berpamitan pulang.
"Aku lapar, ayo kita makan di luar!"
Ajakannya membuatku terkejut, aku berpikir sejenak.
"Sebenarnya aku juga lapar, tapi aku lupa mampir membeli makanan karena kakiku yang sakit."
"Cepat, ambil jaket mu!"
Aku tersenyum dan beranjak dari tempat dudukku. Ke kamar dan mengambil jaket yang agak tebal. Ku lihat jam tangan ku sudah menunjukkan pukul 11 malam.
"Ini sudah tengah malam, kamu yakin mau pergi?"
"Kalau kamu mau, tenang saja. Aku akan menjagamu seperti biasa. Aku nggak mungkin melakukan hal tak senonoh padamu."
"Ya, kalaupun kamu berani kamu akan ku habisi."
Briyan melototkan matanya. Kami pergi mencari tempat makan yang masih buka. Sepertinya pinggir pantai menjadi pilihan yang bagus. Kami duduk di bangku panjang milik penjual sate.
"Kamu yang pesan, aku malu!" ucapnya memerintahkan ku.
Aku beranjak dari tempat dudukku tanpa keberatan dan memesan 4 porsi sate. Setelah itu kembali duduk. Aku dan Briyan mengobrol santai. Aku mulai menikmati kebersamaan kami. Wajahnya, candanya, aku agak merindukan itu. Bagiku, dia adalah teman yang baik. Kami terus bercanda hingga pesanan kami matang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments