"Terkadang aku merasa malu pada sosok orang tua yang tidak pernah mengeluh disaat susah, tak pernah lelah untuk mencari nafkah dan tetap tenang ketika menghadapi masalah...."
------------------------------------------
Benar apa yang Eyang katakan tadi, pasar ini buka jam 9, tapi sebelum jam 9 sudah ramai dipadati pengunjung.
Tidak cuma penduduk lokal tapi juga wisatawan luar kota bahkan manca negara. Kalau pagi-pagi begini, wisata kuliner di sekitar pasar Beringharjo masih komplit.
'Uuuffff.... sayangnya aku sudah kenyang, coba kalau belum, pasti sudah ludes semua aku bantai.' gumamku dalam hati.
Hidup mandiri tidak seberat yang dia bayangkan. Terbukti sampai saat ini dia nyaman menikmati kesendiriannya.
Arum berjalan menyusuri lorong pasar, kanan kiri terlihat penjual batik yang sudah berjajar rapi menawarkan barang dagangannya.
"Mau cari apa Mbak...silahkan dilihat-lihat dulu ?" tawar mereka ketika melihatku memegang model kimono batik yang kelihatan nyaman kalau dipakai.
"Kalau yang model ini berapa Bu ?" tanyaku.
"Ini untuk penglaris saja 200 Mbak."
Aku tersenyum mendengar harga yang ditawarkan.
'Meskipun ini merupakan pasar wisata, tapi kalau kita tidak pandai menawar pasti jatuhnya akan mahal.' begitu pesan Eyang sebelum dia berangkat ke sini.
"Biasanya 100 Bu ? Saya sudah biasa belanja di sini lo." jawabku tanpa menoleh ke arah Ibu penjual itu.
"Mbak mau ambil berapa ?"
"Sebentar...saya mau lihat daster ini dulu."
"Kalau mau beli banyak, dasternya yang ini 100rb dapat 3 Mbak...kalau yang Mbak pegang itu agak mahal 120 per potongnya."
Iya...Arum paham, kalau daster yang dia pegang harganya agak mahal. Karena Arum pernah diajak Eyang membeli daster yang persis semacam itu bahan dan modelnya.
Kalau Eyang sangat jeli membeli barang, beliau tahu mana yang kwalitas bagus mana yang sekedar tiruan.
"Yang ini dikurangi ya Bu ?" tawarku menunjuk daster yang dia kasih harga 120 ribu tadi.
"Yang mana saja belanjaannya...biar nanti saya diskon..." jawabnya sambil menghitung-hitung, mungkin estimasi untung dan rugi yang dia hitung.
"Blazer ini 1, kimono 1, daster yang ini 1, terus daster yang paket tadi Bu...1 paket saja."
"Oya....berati, 95, 100, 120, 100... berati semua 415 ribu, 400 saja buat langganan." rayunya.
"Apa ada sarung Bu ?" tanyanya kembali.
"Ada Mbak....banyak motifnya." pedagang itu menunjukkan berbagai macam sarung dengan motif batik yang bermaca-macam.
"Kalau untuk piyayi sepuh cocoknya yang mana ya Bu...?"
"Ooo...yang ini saja, warnanya tidak begitu mencolok, kainnya halus dan tidak luntur."
Menurutku memang benar, corak sarung batik yang dia pilihkan sesuai dengan keterangannya.
"Berapa Bu harganya ?"
"75 ribu, kalau untuk mbak cantik 50 ribu saja."
"Jadi semua 450 ribu ya Bu." katanya sambil menyerahkan beberapa lembar uang 50 ribuan.
"Iya Mbak cantik... terimakasih, mampir kembali nanti ya."
Aku membalasnya dengan senyuman dan kembali kutelusuri isi perut Beringharjo ini.
Kruyuk...kruyuk...
Cacing dalam perutku sudah mulai berdemo. Kulirik jam tanganku hampir pukul 12 siang, pantesan sudah terasa lapar.
"Bu...nasi gudeg komplit 1, jeruk hangat 1,nasinya sedikit saja ya Bu ?"
"Iya Mbak cantik...tunggu sebentar ya ?"
Aku ikut nongkrong dan memesan masakan khas Jogja ini. Di warung makan yang terletak di sudut perbatasan antara pasar sayur dan pasar kain.
Alhamdulillah...lumayan untuk mengganjal perutku yang mulai keroncongan karena perjalanan kakiku dari tempat parkir hingga ke sini cukup menguras tenaga.
"Maaf Jeng Ayu...ada yang bisa nenek bantu bawakan...?" tanya seorang nenek yang biasa menawarkan jasanya untuk membantu membawakan barang belanjaan pengunjung pasar ini.
Ternyata masih banyak yang hidup jauh dari kata layak di kota ini. Seusia nenek ini, seharusnya dia tinggal menikmati hidup menunggu hari tua bersama anak cucunya.
Tangan keriputnya menandakan betapa besar pengorbanannya di masa muda dulu.
"Maaf nek.... belanjaan saya cuma sedikit."
"Baiklah kalau begitu." jawabnya sambil berbalik untuk pergi.
"Tunggu sebentar Nek...."
"Iya Jeng Ayu...ada yang bisa nenek bantu ?" ucapnya antusias, berharap ada penghasilan yang bisa dia bawa pulang untuk menyambung nyawanya.
"Maaf Nek....ini Via ada sedikit rezeki, mohon diterima ya Nek..."
Dia berikan tiga lembar uang lima puluh ribuan dan dia letakkan di tangan yang sudah mulai kusut dimakan usia itu.
"Tapi Jeng...." ada rasa takut yang tersirat dari wajahnya.
"Gakpapa Nek... kebetulan Via dapat rezeki hari ini."
"Terimakasih banyak Jeng Ayu, semoga kesehatan dan kebahagiaan selalu menyertai Jeng Ayu..."
"Aamiin..."
Alhamdulillah....satu manfaat lagi bisa dia berikan untuk orang lain. Masih kutatap kepergiannya dari balik punggung yang mulai membungkuk karena memikul beratnya beban hidup.
Arum kembali berjalan menyusuri pinggiran kota gudeg ini. Hingga dia singgah di suatu tempat.
"Silahkan Mbak ... ada yang bisa saya bantu, apa kira\-kira yang dicari ?" tanya penjaga toko mas terbesar di sini.
"Eehhmmm.....apa ada koleksi bros peniti untuk orang tua ?"
"Ada... sebentar saya ambilkan."
Tak berapa lama, pegawai tadi menunjukkan koleksinya yang beragam model dan ukuran.
"Berapa per gramnya Mbak ?" tanyaku.
"Ini 22 karat per gramnya 450 ribu, kalau yang ini 24 karat per gramnya 600 ribu." jelasnya.
Arum mengambil 1 kotak yang 22 karat seberat 3 gram dan 1 kota lagi 24 karat dengan berat 5 gram.
"Yang ini ya Mbak."
"Mau dibikinkan surat sendiri-sendiri apa dijadikan dua ?"
"Eehmmm.... sendiri-sendiri saja Mbak."
"Kalau menginginkan pembungkus untuk kado, kami juga sediakan." kata pegawai itu memberikan tawaran.
"Oya ...boleh kalau begitu, dua-duanya ya Mbak..."
"Baik.... silahkan ditunggu sebentar."
Tak berapa lama aku menunggu, pesananku sudah siap. Alhamdulillah....misi hari ini sudah selesai.
Jalanan sedikit macet, maklum weekend. Hampir 1 jam perjalanan, aku sampai kembali di rumah Eyang.
"Assalamu'alaikum...."
"Wa'alaikumsalam...." Kutemukan Eyang sedang duduk di taman belakang rumah.
"Kok sudah pulang, apa tidak macet jalannya ?"
"Macet Eyang...Arum bawa sesuatu untuk Eyang."
Arum mengeluarkan kotak kado yang khusus dibelikannya untuk Eyangnya tersayang.
"Apa ini Nduk ?"
"Eyang buka saja, semoga Eyang suka."
Meskipun sudah berumur, tapi Ibu dari ayahnya ini masih kelihatan cantik. Eyang pintar merawat diri dengan jamu-jamu tradisional.
"Subhanallah....bagus sekali Arum, kamu beli ini untuk Eyang ?"
"Iya Eyang....Arum sudah janji, Arum akan belikan sesuatu untuk Eyang dengan tabungan dan gaji pertama Arum."
Eyang meraih tubuh cucunya itu dengan penuh kasih sayang. Beliau mencium dan memeluk Arum yang semakin lama semakin terlihat paras cantiknya.
"Ndoro.... Jeng Ayu, simbok mau pamit pulang dulu." kata Mbok Sum yang dari tadi menunggu di sela-sela pembicaraan kami.
"Oh...iya Mbok, ini juga ada sedikit tanda kasih sayang Arum untuk Mbok Sum."
Mbok Sum menerima paper bag yang berisi 3 buah daster dan 1 kotak yang berisi perhiasan emas.
"Walah....kok simbok juga dibelikan oleh-oleh to Jeng Ayu, apa tidak sebaiknya disimpan untuk masa depan Jeng Ayu ?"
"Gakpapa Mbok, ini merupakan wujud rasa syukur Arum, untuk selalu berbagi sebagai mana pernah Eyang ajarkan."
"Diterima saja Mbok, biar Arum juga senang." sambung Eyang yang tersenyum bangga melihat kepedulian cucunya.
"Alhamdulillah.... terimakasih banyak Jeng Ayu, semoga Gusti Allah yang bales kebaikan Jeng Ayu."
"Aamiin....."
Arum merasa senang, karena apa yang dia lakukan membuat senang orang lain. Semoga akan menjadikan keberkahan untuk keduanya.
Dia kembali ke kamarnya. Dan setelah mandi dia mencoba kimono yang tadi dibeli.
Benar dugaannya, kimono ini sangat nyaman dan pantes untuk kulitnya yang putih.
------------------------------------
------------------------------------
------------------------------------
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
Hayurapuji
udh ngambil banyak cuma diskon 15 rbu gak usah diskon aj bu hahha suka khesel panjang lebar tp ujung2nya segitu
2021-01-17
1