"Ya Allah...aku yakin, bahwa takdir-Mu lebih baik dari semua yang aku inginkan, beri aku kekuatan untuk memahami ini sebagai anugerah dari-Mu..."
---------------------------------------
Satu set T-shirt warna merah muda dipadu dengan sepatu sport dengan warna senada, menambah anggun penampilannya kali ini.
Pagi ini, Arum lebih memilih bersepeda untuk mengencangkan otot betisnya. Dia berkeliling di sekitar kompleks rumah Eyang.
Sesekali bibirnya mengembangkan senyum ketika bertegur sapa dengan tetangga yang berpapasan di jalan.
"Mbak Arum... olahraga pagi ?"
"Iya Ibu...mari."
Sikapnya yang ramah menunjukkan bahwa dia benar-benar mumpuni sebagai cucu seorang priyayi yang di hormati di kampung halamannya.
Sejenak dia berhenti di tepi taman desa yang tertata rapi dengan berbagai tanaman Toga disana. Tanaman yang sangat banyak manfaat dan khasiat itu, bisa digunakan semua warga desa yang membutuhkan.
"Jeng Ayu...sendiri saja ?"
Arum tersentak kaget, ketika suara merdu Danu terdengar tepat berada di telinganya.
"Mas Danu ! Kapan pulang ?" teriaknya girang.
Danu tersenyum melihat tingkah Arum yang kekanak-kanakan.
"Ini Mas baru pulang." jawabnya sembari menunjukkan tas ransel yang penuh dengan pakaian kotor di punggungnya.
"Mas pasti capek ?"
"Bukan hanya capek, Mas juga kantuk berat."
"Ya sudah...Mas pulang dulu, istirahat yang cukup, nanti Arum ke rumah Mas."
Danu menjawab permintaan Arum dengan senyum yang sangat berarti bagi Arum yang telah lama merindukannya.
Sebelum mereka berpisah di persimpangan jalan, Danu memberikan sebuah paper bag yang entah apa isinya.
"Ini buat Arum ?"
"Iya... memangnya buat siapa lagi ?"
"Makasih Mas."
"Sama-sama, Mas pulang dulu ya ?"
"Iya.... hati-hati Mas."
Arum mengayuh sepedanya kembali pulang ke rumah. Dalam angan, dia menebak-nebak 'apa isi di dalam paper bag warna pink ini ?'
***
"Tidak bisa begitu Bu !"
terdengar suara Papa sedikit meninggi.
"Pokoknya Ibu tidak setuju !"
namun suara Eyang terdengar lebih lantang dan keras dibanding suara Papanya.
"Ibu...kami mohon, semua demi kelancaran usaha Mas Abi."
kali ini, suara Mama ikut terdengar diantara perdebatan ibu dan anak itu.
Arum menghentikan langkah kakinya. Dari balik pintu penghubung ruang tengah, dia berdiri dan berusaha mempertajam pendengarannya.
'apa sebenarnya yang mereka bicarakan ?'
rasa penasaran menyelidiki hatinya.
"Ibu tidak habis pikir, kalian begitu egois !"
suara Eyang bergetar, isak tangisnya mulai terdengar.
"Ini semua juga demi kebahagiaan Arum Bu." kata Papa memohon.
'kebahagiaanku ? apa maksudnya ini ?'
Hampir saja Arum keluar dari persembunyiannya, sebelum akhirnya dia urungkan niat setelah mendengar teriakkan Eyang.
"Bukan kebahagiaan Arum, tapi kepuasan kalian sendiri !" bentak Eyang.
"Ibu...masa depan Arum akan terjamin." kata Mama meyakinkan.
Namun Arum belum mengerti kemana arah pembicaraan mereka.
"Tidak ! biarkan Arum memilih jalannya sendiri."
"Sudah menjadi keputusan Abi Bu...Arum harus tetap menerima perjodohan ini."
Kata-kata terakhir Papanya itu, bagaikan petir yang menyambar telinga Arum. Ingin rasanya dia berteriak, namun tangannya masih mampu membungkam mulutnya sendiri.
Air matanya tumpah tak terarah. Tidak pernah terpikirkan olehnya, kalau hal ini akan terjadi. Bahkan di kehidupan modern yang di gadang-gadang oleh kedua orang tuanya sekalipun.
"Ibu tetap tidak setuju Abi !"
"Arum anak Abi Bu...jadi dia pasti akan menurut apa yang Abi katakan." ucapnya yakin.
"Maaf Pa....Arum punya pilihan hidup Arum sendiri."
Akhirnya kata-kata itu keluar dari bibirnya.
"Arum." panggil Eyang yang melihatku sudah berderai air mata.
"Arum... dengarkan dulu Papa bicara."
"Arum sudah mendengarnya Pa."
Pagi yang seharusnya secerah mentari ini, harus berubah mendung katika petir tiba-tiba menyambar, memporak-porandakan hati yang tengah dilanda asmara.
"Kamu tidak mengerti Nak...Papa lakukan ini semua demi kebahagiaan Arum."
"Arum bisa menentukan kebahagiaan Arum sendiri."
"Arum...duduk dan dengarkan apa yang Papa katakan, mungkin ini permintaan Papa yang terakhir.
Namun Arum tidak mengindahkan permintaan Papanya. Dia berlari menuju kamarnya.
"Arum !" teriaknya memanggil.
"Abi ! biarkan dia sendiri." kata Eyang mencegah Papa yang akan mengejarku.
Abimanyu terduduk lemas di kursi. Rencananya kali ini gagal total. Bahkan istrinya hanya bisa ikut terduduk merangkul suaminya dan membisikkan kata untuk bersabar.
Sedangkan Arum sendiri harus menghabiskan waktu liburannya dengan menangis di atas ranjangnya. Bahkan dia melewatkan waktu makan siangnya.
Disaat-saat seperti inilah, Arum merindukan sosok Danu. Tidak ada yang dia inginkan lagi selain bisa bertemu dengan pujaan hatinya.
Tok...tok...tok.
"Jeng Ayu...ini Simbok." suara Mbok Sum membuatnya ingin segera bangkit dari ranjang.
"Iya Mbok." jawabnya.
"Buka Jeng...izinkan Simbok masuk."
Sejauh ini hanya Mbok Sum yang bisa merayunya. Bahkan Eyang sekalipun tidak bisa meluluhkan hatinya.
"Jeng Ayu belum makan, sudah lewat dari jam makan siang." ucapnya sembari meletakkan menu makan siangku.
"Arum tidak lapar Mbok." aku kembali ke atas ranjang masih dengan memeluk lutut di dadaku.
"Lapar atau tidak lapar, Jeng Ayu harus tetap makan...atau mau Simbok suapin ?"
Arum tidak menjawabnya, tapi dia menggeser tubuhnya dan memeluk erat perempuan paruh baya di sampingnya itu.
"Kenapa Jeng Ayu ? apa yang membebani pikiran Jeng Ayu ?"
"Arum tidak tahu Mbok ? apa yang harus arum lakukan ?"
Mbok Sum menghela nafas panjang. Sebenarnya, dia tidak mau ikut campur dalam hal ini. Karena ini persoalan pribadi keluarga majikannya. Tapi dia juga terlanjur mendengar dan gadis di depannya ini sedang menunggu pendapatnya.
"Mungkin ada alasan tersendiri bagi Den Abi, sehingga mengambil keputusan itu." nasehat Mbok Sum kepada Arum.
"Tapi ini tidak adil untuk Arum Mbok." keluhnya lagi.
"Jeng Ayu yang sabar ya...semua masalah pasti ada jalan keluarnya."
Suara keibuan Mbok Sum dan sikapnya yang selalu menunjukkan rasa kasih sayang, membuat Arum lebih nyaman dibanding dengan kedua orang tuanya.
Tanpa banyak bujuk rayu yang diberikan, Mbok Sum berhasil membuat Arum membuka mulut untuk mengisi perutnya yang kosong.
"Mbok." panggilnya ketika Mbok Sum mulai mengangkat pantatnya untuk beranjak pergi.
"Iya Jeng Ayu...ada yang bisa Mbok bantu lagi ?" tanyanya kembali dan mengurungkan niatnya untuk pergi.
"Kapan Mas Danu pulang ?"
Pertanyaan Arum membuat Mbok Sum terduduk heran.
"Kenapa Jeng Ayu menanyakan Danu ?"
Mbok Sum meletakkan kembali perkakas bekas makan Arum di meja. Beliau ingin tahu lebih jelas, apa gerangan yang membuat Arum menanyakan putranya.
"Aku kangen Mas Danu Mbok...aku butuh dia ada disisihku." ucapnya sembari meneteskan air mata.
"Kenapa Jeng Ayu bicara seperti itu ?"
'Karena Arum mencintai Mas Danu Mbok." ucapnya lirih.
Mbok Sum hanya bisa membungkam mulutnya sendiri. 'Ya Allah...jadi Danu, putraku yang menjadi penghambat rencana Den Abi.' gumamnya dalam hati.
Tak terasa air mata Mbok Sum mengalir di pipinya yang sudah mulai keriput dimakan usia. Beliau keluar dari kamar Arum dengan perasaan kacau tidak karuan.
'Apa yang akan terjadi dengan putraku, jika Den Abi tahu, kalau Danulah penyebab penolakan Jeng Ayu untuk dijodohkan.'
Dengan langkah gontai, Mbok Sum pulang kerumahnya.
Dia ceritakan apa yang barusan dia dengar kepada suaminya.
"Danu sudah dewasa Mbok, biar dia hadapi sendiri masalahnya." begitu komentar suaminya saat itu.
--------------------------
--------------------------
--------------------------
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments