Nara melangkahkan kaki ke dapur. Melihat kantong kresek hitam di atas meja. "Apa ini?" dengan hati-hati Nara membukanya.
Nara tersenyum melihatnya. Ternyata ada berbagai macam makanan cepat saji di dalamnya. Dan juga camilan. Serta obat untuk Bima. Dengan segera Nara menaruhnya ke dalam kulkas.
"Sayang, sudah selesai?" tanya Nara pada sang adik.
"Sudah kak." Rini turun dari kursi yang dia duduki. Mencuci tangannya di wastafel. Setelah itu membantu kakaknya untuk membersihkan meja makan.
"Kamu bersihkan ini ya. Kakak mau menaruh ini di kulkas." ucap Nara dengan kedua tangan membawa lauk pauk yang masih banyak ke dapur.
"Besok bisa di panasi lagi. Buat sarapan." gumam Nara.
"Kakak sudah selesai." ucap Rini.
"Pintar." Nara memuji sang adik yang sudah membersihkan meja makan.
"Rini, bantu kaka. Kita pindahkan Bima. Kamu pegang infusnya ya." pinta Nara. Tanpa banyak bicara, Rini membantu sang kakak.
Dengan pelan, Nara menggendong Bima. Membawa Bima ke kamar belakang. "Kita akan tidur di sini kak? tanya Rini pelan. Takut akan membangunkan Bima.
"Iya." jawab Nara lirih.
"Kakak mau ke mana?" tanya Rini lirih saat melihat Nara keluar dari kamar.
"Ambil obatnya Bima." ucap Nara.
Segera Nara masuk ke dalam kamar Viki. Membersihkan tempat tidur Viki. Dan mengambil pakaian mereka yang berada di paper bag.
Nara menutup pintu kamar Viki. Tidak lupa mengambil obat Bima di dapur. Lalu kembali ke dalam kamar.
"Mungkin bang Viki lupa memberitahu Nara." ucap Nara melihat obat Bima yang sudah berada di dalam genggamannya.
"Kamarnya enak ya kak." ucap Rini.
"Selimutnya wangi, tebal lagi. Hangat." tangan Rini menggenggam erat tepi selimut yang berada di atas dadanya.
Nara dan Rini segera terlelap di bawah selimut tebal. Wajah mereka nampak terlihat lelah. Bagaimana tidak merasa lelah, jika keduanya selalu bekerja keras setiap hari untuk mencari sesuap nasi.
Membagi pekerjaan supaya lebih mudah dijalani. Nara mencari uang, dan Rini menjaga Bima. Tidak pernah kedua adik kakak tersebut mengeluh atas apa yang mereka jalani.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Viki menghempaskan badannya di atas kasur empuk miliknya. Memejamkan mata sebentar. Lalu menatap langit-langit di kamarnya.
"Meski hidup gue seperti ini setidaknya gue belum pernah merasakan apa yang mereka rasakan." batin Viki, mengingat dirinya yang mempunyai kelainan seksual. Tapi hidupnya masih nyaman.
"Kehidupan macam apa yang kalian lalui." gumam Viki. Membayangkan hidup Nara dengan kedua adiknya yang masih kecil-kecil. Tanpa kedua orang tua di samping mereka.
"Sungguh hebat kalian. Bisa bertahan." ucap Viki lirih. Membayangkan mereka saja membuat kepala Viki serasa mau pecah.
Tiga anak kecil yang bertahan hidup tanpa mengharap bantuan dari orang lain.
Mata Viki kembali terpejam. Mengingat setiap pertemuan dengan Nara. Tidak pernah bocah tersebut meminta tolong pada Viki.
Dengan penampilan Viki, pasti Nara tahu bahwa dirinya orang kaya. Setidaknya Nara bisa meminta uang dengan menjual cerita kehidupannya. Nyatanya bocah tersebut tidak melakukannya.
Bahkan Nara selalu bertingkah ceria. Seolah tidak ada beban di hidupnya. Padahal jika Viki lihat, bocah seusia dia harusnya masih bersenang-senang.
Tapi dia harus mencari uang. Awalnya Viki mengira Nara mencari uang untuk dirinya sendiri. Nyatanya, Nara menghidupi kedua adiknya yang masih kecil.
"Apa yang harus gue lakukan dengan mereka." gumam Viki. Hingga akhirnya Viki terlelap dalam mimpinya.
Pagi hari, Viki bangun dari tidurnya karena di kejutkan dengan suara Nyonya Rahma yang hampir memecahkan gendang telinganya.
"Apasih ma." rengek Viki. Bukannya bangun, Viki malah menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya, hingga kepala.
"Astaga... bangun. Mama mau bicara." seru sang mama menarik selimut dengan kasar di atas badan Viki. Membuangnya di atas lantai.
Bukannya membuka mata, Viki malah mengeratkan dekapannya pada guling di sampingnya. Seolah enggan untuk membuka mata dan beranjak dari ranjangnya.
"Vikiiiiii,,,,,, bangun." teriak sang mama. Membuat Viki mengambil bantal dan menaruhnya sebagai penutup telinga.
Sepertinya Viki tahu apa yang akan di bicarakan sang mama. "Bangun.." Nyonya Rahma dengan keras memukul tubuh Viki dengan bantal di sebelahnya berkali-kali.
"Ma, Viki masih mengantuk." Viki duduk dengan wajah di tekuk.
"Mama,,,, kasihan papa. Mama kembali lagi ke kamar." saran Viki.
"Papa sedang mandi." ucap sang mama dengan galak. Menatap ke arah Viki seperti hendak melenyapkan musuh.
"Kenapa kamu menurunkan Giska di jalan?" tanya Nyonya Rahma dengan kedua tangan berada di pinggang.
Ternyata benar dugaan Viki, mamanya dengan tega mengganggu mimpi indahnya hanya karena seorang perempuan bernama Giska.
"Viki ada urusan." jawab Viki asal. Dirinya malas berdebat dengan sang mama. Karena dirinya pasti akan kalah.
"Apa urusanmu lebih penting dari Giska? Hingga kamu menurunkannya di jalan. Tengah malam." ucap Nyonya Rahma menggebu-gebu.
"Iya." jawab Viki singkat.
"Kamu tahu?"
"Tidak."
"Jangan menjawab." seru sang mama.
"Mama malu sama Giska."
"Bodo." batin Viki.
"Mama yang mengundang dia ke sini."
"Yang mengundangkan mama, bukan Viki." batin Viki .
"Mau ditaruh di mana muka mama, saat bertemu dengan Giska."
"Ditaruh di tempatnya." batin Viki.
"Semalam, saat mama telpon untuk menanyakan keberadaan kamu, Giska menangis. Dia bercerita semuanya. Jika dia berdiri lama di jalan. Menunggu taksi. Apa kamu tidak berpikir, bagaimana jika ada orang yang jahat pada dia. Giska perempuan yang cantik." omel Nyonya Rahma.
"Buktinya dia baik-baik saja. Bahkan sempat mengadu pada mama. Siapa tahu dia mengarang cerita." batin Viki.
"Kenapa kamu diam saja. Apa kamu bisu." hardik Nyonya Rahma, melihat Viki hanya mengedipkan mata dan memandang ke arahnya.
Viki menautkan kedua alisnya. "Tadi mama bilang Viki nggak boleh bicara. Mama lupa." celetuk Viki, mampu membuat emosi sang mama semaki berkobar.
"Kamu....!!!" geram Nyonya Rahma meninggalkan kamar Viki dengan perasaan kesal yang sangat amat.
"Giska." gumam Viki kembali mengingat wajah perempuan tersebut.
"Dia tidak selugu dan sebaik yang mama kira." ucap Viki lirih.
Segera Viki turun dari tempat tidurnya, membersihkan badan dan segera turun untuk ikut sarapan bersama.
Sewaktu sarapan, Nyonya Rahma hanya diam dan cemberut. Beliau sama sekali tidak mengeluarkan suara sepatah katapun.
Tuan Hendra memandang ke arah Viki. Putranya hanya membuka mulut tanpa bersuara. "Giska."
Tuan Hendra menggelengkan kepala. Melanjutkan sarapannya. Begitu juga dengan Viki.
Tuan Hendra segera berangkat setelah selesai sarapan. Sementara Viki kembali ke atas, masuk ke dalam kamarnya. Karena ponselnya masih tertinggal.
"Kamu telepon Giska. Minta maaf pada dia." ucap Nyonya Rahma saat putranya melangkahkan kaki.
"Iya." jawab Viki singkat.
"Telepon ke mana. Nomor Giska saja gue nggak punya." batin Viki.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 205 Episodes
Comments
Ceethra DeeNa
Tetapppp SeMangattt Up Thor...
2022-06-25
3
FLA
bang bang gitu amat lu emak lu tu haaa
2022-06-24
3