Viki dan beberapa pebisnis muda berbincang ringan mengenai dunia bisnis. Sambil menunggu acara si mulai.
Tatapan mata Viki berhenti saat ada seorang wanita yang menggendong anak kecil. Dan kemungkinan itu adalah anaknya. "Nara." batin Viki, seketika teringat jika Nara dan adiknya masih berada di apartemennya.
Tanpa berpamitan pada pemilik acara, Viki meninggalkan acara tersebut. Bahkan Viki juga tidak berpamitan pada sahabatnya, Ella.
Karena sahabatnya sedang berada di toilet. Berganti gaun, karena sempat ada kejadian yang mengharuskan Ella mengganti gaunnya.
Dengan kecepatan tinggi, Viki mengendarai mobil menuju apartemen. "Kenapa gue bisa lupa." gumam Viki sembari menyetir mobil.
Tok,, tok,, tok,, Terdengar ketukan pintu beberapa kali.
"Kak, sepertinya ada yang mengetuk pintu." ujar Rini yang sedang melihat televisi. Rini mengambil remote, dan mengecilkan volumenya.
Sejak sore, Rini hanya melihat acara kartun di televisi. Karena Nara sudah tidak sesibuk tadi siang. Sehingga dirinya tidak lagi menjaga Bima.
"Kamu jaga Bima, kakak lihat sebentar." ucap Nara, meninggalkan Bima yang sedang bermain di samping Rini.
"Bang Viki." seketika senyum Nara mengembang saat membuka pintu, melihat siapa yang datang. Dengan reflek Nara memeluk Viki yang masih berdiri di ambang pintu.
"Maaf, abang seharian sibuk." Viki mengelus lembut rambut Nara.
"Maaf." ucap Nara kembali menarik badannya dari Viki.
Viki melangkahkan kakinya masuk, dan Nara menutup pintu. Tangan Nara memegang dadanya, terasa jantungnya berpacu dengan sangat cepat.
"Halo Rini, Bima." sapa Viki.
Bima hanya melihat Viki tanpa bereaksi, karena memang anak balita tersebut belum pernah bertemu dengan Viki.
Berbeda dengan Rini, anak berumur tujuh tahun tersebut langsung berdiri dan mencium telapak tangan Viki.
"Abang kemana, tadi pagi nggak ke sini?" tanya Rini.
"Abang sibuk." jawab Viki, melepas jas di badannya. Dan juga dasi.
"Bang, mau dibuatkan minum apa?" tanya Nara. Pandangan Viki beralih menuju ke arah Bima.
"Cairan infus Bima sudah habis?" bukannya menjawab pertanyaan Nara, Viki malah menanyakan Bima.
"Iya Bang, sejak sore tadi." ucap Nara.
Viki menyugar kasar rambutnya. Mengeluarkan ponsel dari dalam saku dan menghubungi Andrew. "Sebentar lagi dokter kesini." ucap Viki.
"Terimakasih bang."
"Saya mau membersihkan badan dulu." Viki melangkahkan kakinya menuju kamar, tapi seketika dirinya teringat sesuatu yang membuatnya berhenti.
"Apa kalian sudah makan?" tanya Viki.
"Sudah Bang, lauk tadi malam masih banyak. Dan Nara juga masak sedikit." jelas Nara.
Tanpa menjawab, Viki membalikkan badan dan masuk ke dalam kamar. Mata Nara masih melihat ke arah pintu, dimana tubuh Viki menghilang di balik pintu tersebut.
Viki melihat kamarnya terlihat lebih rapi. Viki bisa menebak siapa yang melakukannya.
"Mungkin Bang Viki capek." ucap Nara.
Hati Nara merasakan kecewa saat Viki memilih pergi dan meninggalkannya untuk masuk ke dalam kamar. Ketimbang berbincang dengan dirinya.
"Dimana Viki?" tanya dokter Andrew yang sudah datang untuk mencabut selang infus di tangan Bima.
"Bang Viki berada di dalam kamar, sedang beristirahat." jelas Nara dengan sopan.
Andrew melihat ke arah Nara dengan intens. "Jika dilihat, gadis ini tampak cantik. Hanya perlu sedikit polesan di wajahnya." batin Andre melihat wajah Nara.
Imut dan manis. Dengan bibir tipis berwarna pink asli. Dan juga hidung mancungnya. Tak lupa dengan bola mata Nara yang berwarna sedikit kebiru-biruan.
Nara yang menyadari tatapan Dokter Andrew merasa risih. Segera Nara menyibukkan diri dengan Bima.
"Sudah lama?" suara Viki membuyarkan pikiran Andrew tentang Nara.
"Kita bisa bicara di depan." ajak Viki.
"Bang, Nara buatkan minum." tawar Nara dengan senyum manisnya. Membuat Andrew mengernyitkan dahinya dan tersenyum samar.
Andrew tidak salah lihat. Ada pancaran rasa suka di mata Nara untuk Viki.
"Kopi saja." jawab Viki.
"Sama." ucap Andrew.
Viki dan Andrew duduk di kursi empuk yang berada di ruang tamu. "Bagaimana?" tanya Viki.
"Apanya?"
"Bima?" jelas Viki.
"Lebih baik." jawab Andrew singkat.
"Vik."
"Hemm."
"Gue mau tanya." ucap Andrew, Viki hanya diam dan menatap ke arah Andrew dengan lamat.
"Apa elo ada hubungan dengan Nara?" tanya Andrew. Vikipun langsung menggeleng untuk menjawab pertanyaan tersebut.
"Lantas, kenapa elo berbaik hati mau menampung mereka di sini? Mereka orang asing." ucap Andrew mengingatkan Viki.
Viki menengadahkan kepalanya. "Hanya rasa kemanusiaan. Lebih tepatnya kasihan." ucap Viki tenang.
Tanpa Viki sadari sepasang mata menatap nanar ke arahnya, mendengar penuturan Viki. Nara dengan kedua tangan mungilnya membawa nampan berisi dua cangkir kopi.
Seketika menghentikan langkahnya. Mengatur nafasnya, memejamkan mata sebentar.
"Bang, ini minumnya." Nara menurunkan dua gelas berisi kopi di atas meja.
"Silahkan diminum." segera Nara pergi ke belakang kembali.
"Kelihatannya gadis itu suka sama elo." ungkap Andrew saat Nara sudah tidak berada di antara mereka.
"Ngawur. Dia manggil gue abang. Berarti dia anggap gue seperti kakaknya." sanggah Viki.
"Ckk,, elo kenapa nggak percaya sama gue sih." dengus Andrew.
"Percaya sama elo. Musyrik namanya." celetuk Viki, mendapat lemparkan bantal dari Andrew.
"Gue lihat dia cantik. Ya,, poles dikitlah."
"Adik gue memang cantik." ujar Viki menyesap kopi di dalam cangkir tersebut.
"Tidak buruk." batin Viki menikmati rasa kopi yang baru saja di buat oleh Nara.
"Seandainya dia beneran suka sama elo. Gimana?" tanya Andrew masih merasa penasaran.
"Tidak akan pernah terjadi." ujar Viki.
"Apa jangan-jangan elo..." Andrew memandang Viki dengan tatapan aneh. Dan Viki tahu persis apa yang ada di dalam otak sang dokter.
"Jangan berpikiran mesum. Brengsek." umpat Viki.
"Wajar gue berpikir seperti itu." tegas Andrew.
"Gue bukan elo. Dokter cabul." sindir Viki.
Di belakang, Nara menangis. Entah mengapa hatinya merasa sakit saat mendengar Viki menerima mereka disini karena rasa kasihan semata.
"Sebenarnya ada apa denganku?" tanya Nara lirih pada dirinya sendiri.
"Kenapa tiba-tiba dada ini sesak." Nara menyalakan air di wastafel. Mencuci piring yang hanya satu biji.
"Dan kenapa aku menangis." ucap Nara, dengan telapak tangannya, Nara menyiramkan air ke wajahnya.
"Nara, apa yang kamu tangisi." keluhnya pada diri sendiri.
Nara menyukai Viki. Dirinya menyimpan perasaan cinta pada Viki. Perasaan seorang perempuan pada lelaki dewasa.
Tapi Nara tidak menyadarinya. Atau lebih tepatnya, Nara tidak tahu apa yang dirinya rasakan. Karena selama ini, Nara belum pernah merasakan perasan seperti ini.
Apalagi Nara juga tidak pernah berinteraksi dengan lawan jenis. Dirinya merasa takut, jika seorang lelaki mendekatinya. Apalagi Nara banyak melihat korban pemerkosaan di sekitarnya.
Menjadikan Nara menjauh sejauh mungkin dengan makhluk berjenis kelamin lelaki. Tapi entah dengan Viki, dirinya merasa nyaman dan senang bila berada di dekat Viki.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 205 Episodes
Comments
FLA
disini mengandung bawang ya, si Ella bikin tegang disini nangis haiss...
2022-06-26
2
Ceethra DeeNa
Nara... Semoga Rasa Sukamu BeRbaLas ...
2022-06-26
3