Reza dan Hani adalah teman sekelas waktu SMA. Awal mula bagaimana mereka bisa akrab sebagai teman adalah Reza sering iseng mengata-ngatai Hani karena gadis itu pernah berkali-kali harus remidial ulangan harian Fisika, dan Reza sebagai salah satu siswa peraih nilai tertinggi, ditugaskan oleh guru mereka untuk menjadi tutor sebaya bagi Hani yang pemahaman dan penilaiannya jauh tertinggal.
Hani awalnya merasa kesal kepada Reza, tapi ia berusaha untuk tidak mengambil hati karena ia tahu Reza seperti itu hanya karena iseng.
Karena seringnya Reza membimbing Hani dalam mata pelajaran Fisika, Reza tampak tertarik pada gadis itu. Dia tidak pernah menunjukkan kemarahan dan selalu bersikap serius ketika tiba waktu belajar, meski ujung-ujungnya Hani merasa kesulitan untuk menyelesaikan contoh soal yang ia berikan.
Reza pun mengajari Hani dengan sabar, hingga pada ulangan harian berikutnya gadis itu bisa lulus dengan nilai yang cukup memuaskan.
Sejak saat itu Hani dan Reza makin akrab apalagi kalau berkaitan dengan pelajaran hitung-hitungan seperti Fisika, Matematika, dan Kimia. Hani sangat terbantu dengan adanya Reza yang selalu membimbingnya dalam mengerjakan tugas ataupun belajar untuk persiapan ulangan.
Reza sering mengajak Hani keluar bersama beberapa teman sekelas mereka yang lain. Makan bersama, main ke Dufan dan Reza pernah mengajak Hani berdua saja ke puncak Bogor dan singgah di sebuah vila pribadi milik keluarganya.
Hani tampak senang diajak ke puncak Bogor, menikmati udaranya yang sejuk dan pemandangan hijaunya yang memikat mata.
“Sayang sekali Za, kamu tidak ajak teman-teman yang lain,” ucap Hani setelah menarik nafas yang panjang untuk menikmati sejuknya udara.
“Aku ajak mereka kok, tapi mereka mengeluh katanya jauh sekali, jadi aku ajak kamu dan kamu langsung mau,” ungkap Reza, meski sejujurnya ia berbohong. Ia tak pernah mengajak teman-temannya yang lain untuk jalan-jalan ke puncak Bogor, ajakan itu khusus untuk Hani saja.
Pengurus vila memanggil mereka masuk untuk menikmati santap siang di dalam. Hani merasa sedikit canggung ketika makan berduaan saja dengan Reza dan duduk saling berhadapan, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Reza, beberapa kali ia mendapati temannya itu diam-diam mencuri pandang ke arahnya saat sedang makan.
Usai makan, Reza mengajak Hani berjalan-jalan di sekitar vila milik keluarganya sambil melihat-lihat pemandangan hijaunya perkebunan teh.
“Han, boleh aku jujur sama kamu?”
“Apa Za?” tanya Hani sambil menyentuh tanaman teh dengan ujung jarinya ketika mereka berjalan menyusuri perkebunan teh.
“Aku suka sama kamu Han,” jawab Reza dengan berani, tidak canggung sedikit pun meski mereka berduaan.
“Iya Za, aku juga sama kamu, kamu teman yang sangat baik, karena kamu nilai fisikaku sudah tidak jelek-jelek amat,” Hani membalas pengakuan Reza sambil nyengir dan kembali asyik memandangi tumbuhan teh di sekeliling mereka.
“Maksud aku bukan itu Han. Aku suka kamu seperti perasaan suka laki-laki kepada seorang perempuan,” Reza menjelaskan.
Hani menghentikan langkahnya. Reza hanya berjarak semeter di belakangnya. Hani diam, Reza menunggunya di belakang. Tak lama kemudian Reza menghampirinya ke depannya. Ia sudah menduga gadis itu akhirnya merasa canggung setelah tahu maksud suka dari Reza.
“Bagaimana Han?” tanya Reza, “apa kamu juga begitu?”
“Reza, kita ini teman,” Hani mengingatkan, ia berusaha membantah hatinya. Bagaimana mungkin gadis sepertinya tidak menyukai Reza yang baik, pintar dan begitu perhatian kepadanya. Tapi sejak awal mereka memang hanya berteman.
“Aku mau kita lebih dari sekedar teman Han,”
Hani menatap Reza, sejurus kemudian ia tersenyum dan mengangguk.
Mata Reza berbinar, “maksud kamu, kamu juga suka sama aku?”
Hani mengangguk.
“Jadi mulai hari ini kita resmi pacaran?” tanya Reza makin antusias.
“Aku tidak mau pacaran Za. Tapi aku tidak berbohong kalau aku juga suka sama kamu,”
Reza mengangguk, memahami prinsip Hani. Hani sebenarnya bukan tipe perempuan yang terlalu dekat dengan laki-laki, selama ini hanya dia saja yang berhasil menjadi teman dekat gadis itu karena tutor sebaya bimbingan fisika.
“Setelah kelulusan UN, aku akan ajak kamu untuk kenalan sama orang tua aku,” Reza berjanji.
Hani terkejut, apa Reza sudah serius begitu padanya, sampai berani ingin mengenalkannya pada kedua orang tuanya. Padahal mereka masih anak SMA.
Hari yang dijanjikan Reza pun tiba, tak lama berselang setelah pengumuman kelulusan UN, Reza mengajak Hani ke rumahnya. Hani terkejut bukan main, Reza yang dikenalnya ternyata anak orang kaya setelah datang berkunjung ke rumah Reza ia juga tahu bahwa ayah Reza adalah seorang dokter yang merupakan direktur di salah satu rumah sakit swasta yang elit.
Mama dan papa Reza menatap gadis di depannya dengan pandangan menilai setelah Reza menyebutkan nama Hani, anak dari siapa, dan merupakan teman sekelasnya.
Gadis itu tersenyum manis, tampilannya sederhana saja tanpa polesan make up. Namun senyum Hani pelan-pelan memudar ketika senyum yang ia suguhkan tidak disambut oleh kedua orang tua Reza.
“Ma, pa, Reza suka sama Hani,” Reza menjelaskan setelah melihat respon orang tuanya yang hanya diam menatap Hani di sampingnya.
“Reza, kalian itu masih kecil, baru juga lulus SMA minggu lalu,” ujar papanya.
“Reza tahu pa, Reza ingin suatu hari nanti Hani yang jadi istri Reza,”
Hani menatap terkejut, apa Reza seserius itu. Sebelumnya Reza tak pernah bilang ingin menikah dengannya nanti.
“Untuk saat ini kita pasti akan kuliah dulu, Reza bisa kerja apa kalau tidak kuliah dulu,”
Papa Reza menggeleng, “Papa tidak setuju dengan keputusan kamu, kamu itu belum dewasa untuk memutuskan dengan siapa mau menikah nanti,”
Percakapan ayah dan anak itu kemudian lebih mendominasi, seperti tidak menganggap adanya Hani di antara mereka.
“Pa, Reza sudah cukup kenal sama Hani, Reza yakin tidak akan salah pilih,”
“Sudahlah Za, kamu terlalu dini memikirkan pernikahan sekarang,”
“Reza tidak ingin menikah sekarang kok pa, tapi nanti saat Reza sudah mapan. Reza sama Hani akan saling menunggu pa sampai usia kita sudah layak untuk menikah,” Reza memberikan alasannya.
Tujuannya membawa Hani kepada orang tuanya sekarang adalah supaya orang tuanya tidak main pilih sendiri dengan siapa nanti ia akan menikah, sejak dini ia mengenalkan pilihannya yaitu Hani.
“Reza, untuk sekarang kamu harus fokus sama kuliah kamu. Kamu tahu sendiri kan papa akan kirim kamu ke Harvard untuk sekolah kedokteran di sana,”
“Papa kan tahu Reza mau masuk arsitektur, bukan jadi dokter kayak papa,” Reza membantah dengan kesal.
“Kamu itu anak tertua, kamu harus meneruskan profesi papa. Beberapa tahun lagi papa mau bangun rumah sakit buat kamu,”
“Reza tidak mau pa. Reza tidak mau jadi dokter!” Reza dengan tegas menolak.
Papa Reza pun geram, anaknya ini begitu kerasa kepala.
“Kamu belum dewasa Za, papa berhak menentukan masa depan yang terbaik buat kamu,” papa Reza menatap ke arah Hani dengan ekspresi datar, “dan tidak usah terlalu berharap dengan keinginan Reza, yang bilang mau menikah sama kamu nanti,” papa Reza pergi meninggalkan mereka semua dengan raut angkuh.
“Pa! Papa!” Reza ingin menyusul papanya, namun mamanya menahannya sambil menarik lengannya.
“Sudahlah Za, kamu tahu sendiri kan bagaimana papa kamu. Dia tidak akan pernah mau mengalah kalau sudah satu kali bicara apa yang dia inginkan,” mamanya mengingatkan.
Hani hanya diam, melihat bagaimana kondisi Reza dalam keluarganya. Hani sebenarnya merasa kecewa atas respon kedua orang tua Reza kepadanya, tapi ia berusaha ikhlas menerimanya dan mampu dengan segera memperbaiki suasana hatinya.
Setelah kejadian itu, Reza selalu meyakinkan Hani bahwa ia serius dengan apa yang dikatakannya untuk menikahinya suatu hari nanti.
Tapi Hani justru berkata lain, “lupakan Za. Kalau kita berjodoh pasti akan bertemu kembali,”
“Han, aku serius sama kamu,” Reza mengingatkan untuk kesekian kalinya.
“Iya Za, aku percaya. Dan terima kasih untuk keseriusan kamu. Tapi papa kamu benar, kita masih terlalu muda untuk memikirkan pernikahan, lebih baik sekarang kita fokus untuk mendaftar kuliah,”
“Han, aku tahu papa aku orangnya bagaimana, kamu dengar sendiri kan keinginan dia agar aku jadi dokter seperti dia, tapi kamu juga tahu impian aku adalah jadi arsitek. Dan aku juga tidak mau, bila nanti aku ingin menikah dia juga yang memutuskan dengan perempuan mana aku harus menikah, aku tidak mau begitu Han, aku maunya sama kamu, makanya sedini mungkin aku mengenalkan kamu sebagai calon istriku, agar papa atau mama tidak berpikir dari sekarang untuk menjodohkan aku dengan perempuan lain nanti,”
Hani menatap Reza yang gelisah dengan raut tenang, “Za, jodoh itu Allah yang atur. Kamu tidak perlu takut. Aku hanya minta kamu jangan sampai terus-terusan bersitegang sama papa kamu hanya karena tidak menuruti semua keinginan kamu. Papa kamu berusaha memberi yang terbaik termasuk meminta kamu untuk jadi dokter. Ikut saja Za, apa maunya, In Syaa Allah itu yang terbaik buat kamu. Bagi aku Za, kehidupan kita tidak akan lebih baik tanpa restu orang tua, karena kalau orang tua sudah merestui maka Allah pasti akan memberi kemudahan,”
“Han,” Reza tak tahu harus berkata apa lagi.
“Jangan kecewa Za, kita harus saling ikhlas. Percaya saja, kalau jodoh kita pasti akan bertemu kembali,”
Reza ingat betul kata-kata terakhir Hani padanya sebelum ia berangkat ke Amerika memilih mengalah dari papanya yang keras kepala untuk menjadi dokter. Dan mereka pun berpisah, Reza menempuh studi kedokteran di Universitas Harvard dan Hani melanjutkan mengambil jurusan tata busana karena kesenangannya membuat desain baju.
Beberapa tahun kemudian ia kembali bertemu Hani di sini, di Massachusetts. Tapi kenapa pertemuan mereka kembali ketika Hani telah menjadi istri laki-laki lain.
Reza begitu shock ketika mendengar kabar pernikahan Hani dan Farhan dari grup sekolahnya, itulah alasannya ia tak mau buru-buru kembali ke Indonesia, hatinya kecewa, namun ia berusaha ikhlas, hingga tanpa sengaja ia bertemu Gita dan kakak dari Hani itu menjelaskan bagaimana kondisi pernikahan Hani dan Farhan yang sebenarnya. Dijodohkan dan tanpa saling mencintai. Reza berpikir ia masih punya peluang untuk mendapatkan Hani kembali.
***
Farhan baru saja selesai mengikuti perkuliahan siang ini. Sebelum keluar ia sempat bercakap-cakap sebentar dengan dosennya Profesor Smith sembari menunggu mahasiswa lainnya keluar.
Tak lama kemudian Farhan keluar dari ruang perkuliahan dengan kursi rodanya. Tidak ada satupun mahasiswa lainnya yang memandangnya sebelah mata karena kondisinya, ia bahkan selalu menjadi mahasiswa kesayangan dari beberapa dosennya karena selalu melontarkan pertanyaan yang kritis di kelas dan juga selalu memberikan argumen yang masuk akal. Intinya, Farhan adalah sosok yang cerdas.
“Han,”
Farhan berhenti, ia kenal suara itu. Pelan-pelan ia menoleh dan melihat Naila melangkah mendekatinya.
Farhan berusaha menguasai emosinya, tidak lagi jika ia harus marah-marah pada perempuan itu. Apalagi ia sedang berada di kampus, banyak mahasiswa sekelasnya yang sedang berlalu-lalang di sekitar mereka.
Naila cukup nekad mengunjungi Farhan langsung di Harvard, ia punya beberapa kenalan di Harvard, dari dosen hingga mahasiswa dan meminta tolong pada mereka untuk mencarikan Farhan, dan mata kuliah apa saja yang sedang ia tempuh. Dan akhirnya hari ini ketemu, setelah sedari tadi Naila menunggu dari luar hingga Farhan selesai mengikuti kelas.
“Han aku ingin bicara berdua,” pinta Naila dengan raut yang sendu dan penuh harap.
Farhan pun membawa Naila ke tempat yang lebih privat, ke sebuah taman di kampus Harvard yang jauh dari kerumunan mahasiswa.
Farhan diam saja dengan pandangan lurus ke depan sementara Naila di sampingnya duduk pada sebuah bangku taman yang panjang.
“Han, aku ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi empat tahun yang lalu,”
“Nai, aku akan pulang kalau kamu terus mengatakan itu,” Farhan terdengar seperti mengancam.
“Han, kasih aku kesempatan kali ini saja untuk menjelaskannya,” Naila memohon sambil mencengkram lengan Farhan agar tidak pergi. Ia buru-buru melepaskan tangannya saat Farhan memandangi lengannya yang dicengkeram.
“Baiklah, jelaskanlah. Jangan terlalu lama, aku masih harus ke perpustakaan,” Farhan mengalah, dan memberi kesempatan pada Naila.
“Han, bukan tanpa alasan waktu itu aku meninggalkan kamu,” Naila memulai.
Farhan diam mendengarkan meski sejujurnya ia tak suka mendengarkan cerita masa lalu.
“Papaku jatuh sakit ketika perusahaannya terancam bangkrut. Satu-satunya cara adalah mencari pinjaman, dan yang menawarkan pinjaman waktu itu adalah salah satu rekan bisnis papa, dia memberi syarat akan memberikan pinjaman asalkan ada ikatan pernikahan antara anak-anak mereka, karena pinjaman yang akan diberikan ini jumlahnya sangat besar. Papaku tidak perlu membayar sepeserpun hutangnya, kalau aku dinikahkan dengan anak dari rekan bisnisnya,” Naila menjelaskan, tapi Farhan tampak tidak peduli.
“Aku tahu kamu masih marah Han, waktu itu aku benar-benar tidak punya pilihan. Hidup papaku dan juga keselamatan perusahaannya berada di tanganku, sehingga dengan terpaksa aku memilih melepaskan kamu dan memilih papaku,” Naila terdengar terisak pelan.
Farhan menoleh memandangnya, sejurus kemudian Naila balas memandangnya. Farhan melihat Naila tampak banyak pikiran, ia melihat kedua bibirnya juga pucat.
“Han, kamu percaya kan dengan yang aku katakan?” Naila mendekat sembari meraih sebelah tangan Farhan dan menggenggamnya.
“Nai, tolong kamu jaga sikap, aku sudah punya istri di rumah,” Farhan menarik tangannya, bicaranya pun begitu dingin.
Naila makin terisak, “aku tahu Han, kamu sudah menikah. Aku sadar itu. Tapi Han, aku masih punya perasaan yang sama untuk kamu,” Naila mengaku jujur dengan nada bicara penuh keputusasaan, bagaimana tidak, ia masih mencintai Farhan tapi lelaki itu kini telah beristri wanita lain.
“Sudahlah Nai, itu urusan kamu. Bicara kamu tidak penting. Kamu buang-buang waktuku saja,” Farhan segera pergi dengan kursi rodanya, meninggalkan Naila.
Naila bangkit berdiri dan memanggilnya di belakang, “Han!”
Farhan tak menggubris, ia terus berlalu. Hingga tiba-tiba Farhan mendengar suara di belakangnya seperti sesuatu yang terjatuh. Ia berhenti, lalu menoleh dan melihat Naila tersungkur di atas tanah dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Sulati Cus
dasar naila dulu g mau perjuangkan cinta nya setelah farhan menikah malah mengusik farhan, situ sehat jk emang tulus hrsnya biarkan dia bahagia bukannya km yg memutuskan dg alasan appun itu sangat menyakitkan bagi farhan
2021-05-27
2