Kedua orang tua Farhan mengundang semua anak, menantu, dan juga cucu-cucunya untuk hadir dalam acara makan siang bersama di rumahnya. Sewaktu pernikahannya kemarin, Hani belum sempat mengenal lebih jauh tiga orang kakak Farhan, sementara Farhan sendiri adalah anak bungsu dalam keluarganya.
Kakak Farhan yang paling tua adalah Farah yang sudah menikah dengan seorang pejabat yang bekerja di kementerian dan kini mereka memiliki tiga orang anak, kakak Farhan yang nomor dua adalah Faizal yang memegang jabatan sebagai CEO dalam perusahaan rintisan Rudiyanto, juga sudah menikah dan anaknya satu. Lalu kakak Farhan yang nomor tiga juga laki-laki namanya Fairuz juga sudah menikah dan punya dua anak, berbeda dengan Faizal, Fairuz memilih merintis karirnya sebagai seorang pengacara.
Sementara Farhan sebagai anak bungsu, sang papa mempercayakan jabatan manajer diisi oleh Farhan. Hani baru tahu kalau suaminya itu seorang manajer.
Rumah keluarga Rudiyanto begitu ramai, apalagi semua saudara-saudara Farhan begitu ramah dan baik. Membuat Hani merasa nyaman. Usai makan siang, saat Hani membantu asisten rumah tangga membereskan meja makan, ia melihat Farhan yang asyik menemani beberapa keponakannya bermain.
Anak Fairuz yang berusia lima tahun dan tiga tahun naik duduk di atas pangkuan Farhan, dan Farhan memainkan kursi rodanya seperti mobil membuat kedua anak itu antusias. Hani tersenyum melihat keakraban Farhan dan keponakan-keponakannya.
"Hani kamu sedang apa?" tegur mama Farhan saat Hani hendak mengangkat tumpukan piring kotor.
"Tidak apa-apa ma,"
"Sudah simpan saja, biar pembantu yang bereskan," mama Farhan memaksa menantunya.
"Hani bikin teh saja ya ma, buat Farhan dan yang lainnya," Hani melirik ke arah Farhan dan kakak-kakaknya di ruang tengah.
"Ya sudah deh kalau itu mau kamu," mama Farhan kemudian menepuk pundak Hani sambil berkata, "kamu memang menantu yang baik dan rajin," dan berlalu pergi membaur bersama cucu-cucunya di taman belakang kediamannya.
"Sudah dek, kasihan om Farhan pusing tuh. Main saja sama kakak di belakang ya," istri Fairuz meminta kedua anaknya turun dari pangkuan Farhan.
"Om Farhan, nanti main lagi ya," ujar anak Fairuz yang umur lima tahun kemudian pergi bersama adiknya setelah Farhan balas mengangguk.
Farhan kembali bergabung bersama kakak-kakak dan ipar-iparnya.
"Han, bagaimana istri kamu, sudah isi belum?" tanya Faizal saat adiknya datang bergabung.
"Belum kayaknya kak," jawab Farhan seperti acuh.
"Kamu ini, nikah itu jangan cuma enaknya saja. Suasananya pasti berbeda saat di rumah itu ada ribut-ribut karena anak-anak,"
"Kita belum kepikiran ke sana kak,"
"Sudah Zal, mungkin memang belum waktunya mereka punya anak. Mereka nikah juga belum cukup sebulan," celetuk Farah.
"Istri kamu memang menantu idaman, mama pasti sangat sayang sama dia," celetuk Fairuz juga saat melihat Hani datang sambil membawa baki yang berisi cangkir-cangkir teh.
"Kenapa repot-repot Han, ada bibik kok di dapur," sahut Farah saat melihat Hani menaruh baki dan meletakkan cangkir teh masing-masing di hadapan setiap orang di ruang tengah itu.
Hani hanya tersenyum dan berkata tidak apa-apa. Saat hendak menaruh secangkir teh di hadapan Farhan, tiba-tiba segerombolan keponakan Farhan berlarian di ruang tengah dan salah satu dari mereka menyenggol Hani, cangkir teh di tangan Hani kemudian terlepas dan menumpahkan teh panas di dalamnya tepat di atas kedua paha Farhan. Piring cangkir terjatuh di lantai dan pecah sementara cangkirnya mendarat di atas paha Farhan dan tidak terjatuh.
"Maaf Han!" Hani kaget, kalang kabut dan segera mengambil beberapa lembar tisu di atas meja dan mengelap celana Farhan yang basah di bagian paha. "Maaf aku ceroboh,"
Farhan hanya diam mematung dan merasa risih melihat tingkah Hani yang begitu kaget di hadapan kakak-kakaknya. "Sudah, tidak usah biar aku sendiri!" sejurus kemudian Farhan menghempaskan tangan Hani yang sedang memegang tisu.
"Farhan!" seru Farah yang tak senang melihat kelakuan Farhan kepada Hani.
"Kamu tidak perlu panik begitu," Farhan berusaha menjaga nada bicaranya.
"Itu pasti panas Han, jatuh di paha kamu," Hani merasa bersalah.
"Aku tidak merasakan apa-apa. Kamu tahu sendiri dari pinggang sampai telapak kaki, semuanya mati rasa. Biar kena air panas seember juga tidak akan terasa,"
Hani terdiam. Begitu juga yang lainnya. Pipi Hani memerah entah kenapa kata-kata Farhan tadi begitu kasar.
Farhan memilih pergi entah ke ruangan mana di rumah orang tuanya.
Farah mendekati Hani, membantunya berdiri dan mengajaknya duduk di sofa.
"Hani, maafkan Farhan ya. Dia tidak sekasar itu. Sejak kecelakaan yang menyebabkan kelumpuhan di kedua kakinya dia berubah jadi lebih sedikit temperamen, padahal dulunya dia anak yang baik dan sedikit usil,"
Hani mengangguk pelan, matanya terasa hangat, sekuat tenaga ia menahan air matanya.
"Farhan memang begitu, dia sangat tidak suka diperlakukan berlebihan di depan orang-orang. Kamu tidak perlu masukkan ke hati, dia tidak benar-benar marah," jelas Faizal.
Farah kemudian memanggil pembantu untuk membersihkan pecahan piring cangkir yang berserakan di lantai.
***
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Hani dan Farhan saling membisu duduk di jok belakang mobil, sementara pak Cecep sesekali mengawasi kedua majikannya melalui spion, ia juga penasaran apa yang terjadi dengan pasangan muda mudi itu.
Begitu sampai, Farhan lebih dulu masuk ke rumah setelah naik ke kursi rodanya.
"Neng sama tuan Farhan kenapa?" tanya pak Cecep penasaran. "Kok saling diam-diaman di mobil kayak orang musuhan,"
"Tidak ada apa-apa pak, Farhan sedang lelah saja, makanya begitu," jawab Hani kemudian masuk ke rumah.
Sesampainya di kamar, Farhan segera berganti pakaian lalu kemudian naik ke tempat tidurnya. Farhan terbangun di sore hari sekitar jam 4, seusai melaksanakan shalat ashar, ia keluar kamar. Dia merasa rumah begitu sepi, saat ke dapur, tidak ada siapa-siapa di sana. Biasanya Hani ada di sana membantu bik Lastri, di ruang tengah juga tidak ada siapa-siapa.
Farhan mencoba ke kamar Hani, ia mengetuk pintu beberapa kali sambil sesekali memanggil nama istrinya. Tidak ada sahutan. Farhan pun membuka pintu kamar Hani, dan kamar itu kosong.
Farhan segera ke teras rumahnya dan melihat pak Cecep sedang mencuci mobil Honda Freed nya di halaman sambil bernyanyi-nyanyi kecil.
"Pak Cecep!" Panggil Farhan dari teras.
Pak Cecep mematikan keran air dan berlari-lari kecil menghampiri majikannya.
"Ada apa tuan?"
"Orang-orang ke mana pak? Hani dan bik Lastri juga tidak ada di rumah,"
"Oh, neng Hani sama bik Lastri lagi ke stasiun kereta pak,"
"Buat apa mereka ke sana?"
"Itu bi Lastri tadi dapat telpon dari Blora kalau suaminya lagi sakit dan dirawat di rumah sakit. Jadi neng Hani yang antar bik Lastri ke stasiun kereta, mau kejar jadwal kereta ke Jawa Tengah,"
"Kapan mereka perginya?"
"Dari tadi sebenarnya, tidak lama setelah pulang dari rumah pak Rudi,"
"Kenapa bukan pak Cecep yang mengantar bik Lastri ke stasiun?" ada nada penyesalan dari ucapan Farhan.
"Tadinya sih begitu tuan, tapi neng Hani bilang biar dia saja. Siapa tahu selama pergi, tuan ada keperluan keluar nanti disupirin sama siapa kalau bukan saya,"
"Dia kenapa tidak bilang-bilang sama saya kalau mau keluar," gumam Farhan.
"Oh iya pak, tadi sebelum pergi neng Hani sempat titip pesan untuk sampaikan ke tuan kalau dia antar bik Lastri dulu ke stasiun,"
"Terus mereka pergi pakai mobil yang satunya?"
"Iya tuan,"
Farhan masuk kembali ke dalam rumah.
Kalau Hani dan bik Lastri pergi tak lama setelah mereka kembali dari rumah orangtuanya berarti itu sekitar jam dua lewat dan sekarang waktu menunjukkan pukul setengah lima. Farhan mulai was-was kenapa Hani begitu lama mengantar bik Lastri.
Farhan mengambil ponselnya di dalam kamar, dan mencoba menghubungi Hani. Berdering, tapi tidak ada jawaban. Berkali-kali Farhan mencoba menghubunginya, tapi tidak dijawab. Farhan mulai kesal. Sudah hampir maghrib, belum ada tanda-tanda Hani pulang ke rumah. Telponnya juga sejak tadi belum dijawab.
Saat Farhan mencoba menghubungi Hani untuk puluhan kalinya dari ruang tengah, telinganya menangkap suara yang berasal dari dalam kamar Hani.
Farhan terus menghubungi, sambil mendekat ke pintu kamar Hani. Ia membuka pintu dan semakin terdengar jelas kalau yang berbunyi itu adalah nada dering ponsel. Farhan mencari-cari asal bunyi itu dalam kamar istrinya dan menemukan ponsel Hani tergeletak di dekat meja kecil samping tempat tidurnya. Dengan susah payah, Farhan berusaha mengambil ponsel itu dan melihat semua panggilan tak terjawab berasal dari nomornya.
"Bagaimana bisa kamu lupa bawa ponsel, atau kamu sengaja?" gumamnya sedikit kesal.
Pikiran Farhan semakin kalut memikirkan di mana Hani sekarang dan bagaimana caranya agar dia tahu keadaannya. Kedua mata Farhan menangkap pigura 3R di atas meja kecil, itu foto pernikahannya dengan Hani.
Farhan mematung memandangi foto itu, Hani memajang foto pernikahan mereka di kamarnya sementara ia sama sekali tidak ada. Farhan kemudian menjelajahi setiap sudut kamar Hani. Kamar itu wangi, wangi yang familiar di hidungnya, setiap kali berinteraksi dengannya Hani selalu wangi seperti ini, wangi parfumnya.
Farhan mengarahkan kursi rodanya ke meja kerja Hani yang tertata rapi. Ia membuka-buka buku sketsa dan menemukan gaun-gaun rancangan yang dipadukan dengan hijab. Hani begitu terampil membuat sketsa bahkan gaun-gaun rancangannya sangat bagus.
Farhan selama ini tidak tahu, apa yang dikerjakan Hani selama di rumah. Ia juga tidak tahu apakah Hani tetap di rumah selama ia di kantor atau keluar untuk pergi bekerja. Farhan menemukan sebuah katalog dari sebuah butik yang cukup terkenal di Jakarta.
Ia membuka-bukanya dan melihat-lihat koleksi kebaya modern dari beberapa rancangan ia menemukan nama Hani yang tertera di sudut gambar. Ternyata Hani bekerja di sebuah butik yang khusus membuat dan menjual setelan kebaya.
Hani baru saja selesai memarkir mobil suaminya dan saat itu juga adzan isya berkumandang dari mesjid sekitar rumah.
"Astaghfirullah sudah isya," Hani buru-buru turun dari mobil, membuka bagasi dan mengeluarkan beberapa kantong belanjaan kebutuhan dapur yang dibelinya di supermarket setelah mengantar bik Lastri ke stasiun.
"Biar saya bantu neng," pak Cecep menawari setelah menutup pagar.
"Tidak perlu pak. Farhan ada di dalam?" tanya Hani sedikit khawatir.
"Ada neng. Dari tadi menunggu neng Hani pulang,"
Hani segera berlari masuk ke arah rumah, melewati ruang tamu dan bertemu Farhan di ruang tengah yang sedang asyik menonton televisi agar tak bosan menunggunya pulang. Begitu melihatnya datang, Farhan mengambil remot dan mematikan televisi kemudian menghampiri Hani yang berdiri masih menenteng kantong-kantong belanjaannya dari supermarket.
"Kamu masuk dulu simpan belanjaan itu di dapur," ucap Farhan dengan nada biasa. Hani segera menuju dapur disusul Farhan di belakangnya. Setelah meletakkan seluruh kantong belanjaan di atas meja makan, saat berbalik badan ia sudah mendapati Farhan di belakangnya.
"Duduk dulu,"
Hani menarik kursi dan duduk. Sejak menyadari ia lupa membawa ponsel, Hani selalu berpikiran Farhan pasti akan marah padanya saat ia pulang. Tapi ternyata Farhan memberikan respon yang berbeda sekarang.
"Ada apa dengan bik Lastri?" tanyanya pelan.
"Suaminya sedang sekarat di rumah sakit. Tadi pas kita pulang dari rumah mama, bik Lastri sudah menangis dan ingin cepat pulang ke Blora. Makanya aku cepat-cepat antar bik Lastri ke stasiun biar bisa cepat naik kereta. Di jalan juga sempat macet, jadi agak lama. Aku juga singgah ke supermarket belanja bahan makanan untuk seminggu ke depan,"
"Kamu lupa bawa ponsel?" tanya Farhan lebih lanjut, lupa bawa ponsel atau memang sengaja tidak bawa ponsel, itu yang membuatnya kesal.
"Iya aku lupa. Karena buru-buru biar bisa cepat dapat kereta, aku kira ponsel sudah dalam tas, ternyata ketinggalan di kamar. Maaf Han," Hani tampak menyesal.
"Terus kenapa kamu tidak beri tahu langsung ke aku kalau akan pergi mengantar bik Lastri?"
"Sebelum pergi aku sempat ke kamar kamu ingin pamit, tapi aku lihat kamu sedang tidur jadi aku cuma titip pesan sama pak Cecep," jelas Hani.
"Kamu tahu berapa lama aku menunggu kamu pulang, aku telpon berkali-kali ke ponselmu, tapi tidak diangkat. Ternyata ponsel kamu ada di kamar,"
Hani diam dan menundukkan wajahnya.
"Hani, aku tidak marah sama kamu," ucap Farhan cepat-cepat takut melukai hati istrinya lagi setelah tadi siang di rumah mamanya.
"Aku hanya khawatir, takut kamu kenapa-kenapa di jalan, sementara aku tidak bisa tahu kabar kamu karena kamu tidak bawa ponsel,"
Hani menatap Farhan, "iya Han aku mengerti. Kalaupun kamu marah, itu adalah hal yang wajar karena aku pergi dari siang sampai malam,"
"Dan aku minta maaf soal kejadian di rumah mama tadi,"
Hani mengangguk, "tidak apa-apa," kemudian tersenyum.
Tapi itu justru melukai Farhan.
"Hani, kamu tidak benci sama aku?"
"Kenapa pertanyaan kamu begitu?"
"Kenapa kamu tidak cerita yang sejujurnya kepada semua orang bagaimana sikap aku sama kamu setelah kita menikah,"
"Karena kamu suami aku. Aku mengerti kenapa sikap kamu begitu, karena kita menikah melalui perjodohan, mungkin beda ceritanya lagi kalau sebelum menikah kita sudah lama saling kenal,"
"Aku selalu melukai perasaan kamu Han, tapi kamu tidak pernah melakukan itu padaku,"
"Farhan aku ingin buktikan sama kamu, kalau masih ada yang tulus di dunia ini selain dari kedua orang tua kamu,"
Keduanya saling pandang dalam diam. Farhan bisa menangkap maksud ucapan Hani tadi.
"Um, aku mau shalat isya dulu, habis itu aku akan masak makan malam," suasana berubah canggung, Hani buru-buru bangkit berdiri.
"Tidak usah masak Han, kamu capek. Kita pesan makan delivery saja,"
Hani mengangguk dan segera menuju kamarnya. Setelah masuk ke kamar, Hani bersandar pelan di pintu kamarnya. Baru kali ini Farhan menatapnya berbeda dari biasanya, tatapan yang langsung mempengaruhi hatinya dan membuat jantungnya kocar-kacir berdetak.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
sokbinsokmar
aq baca jd gimanaaaa gitu kok manggilnya masih aja Han Han gak pakai mas/abang gitu
2024-10-25
0
Lovely
kurang setuju dengan kata sekarat, thor. terkesan kasar. Tulis sakit saja lebih apik...
semangat thor lope u
2021-11-30
1
Nur hikmah
waw farhan cpt amat berubah lembuty
2021-08-28
0