Hani baru selesai memasukkan semua cucian ke dalam mesin cuci lalu menekan tombol wash. Ia mengambil keranjang dan berbalik badan, ia agak terkejut mendapati Farhan yang menatapnya ragu.
"Farhan, ada apa? Kamu butuh sesuatu?"
"Barusan papa telepon, minggu depan dia mau jalan-jalan ke sini sama mama," jelas Farhan yang tampak gusar.
Hani tersenyum senang.
"Dan mereka berencana akan menginap di sini,"
Hani mengangguk senang, tapi senyumnya hilang saat melihat Farhan tidak memberikan respon yang sama.
"Kamu tidak suka mama sama papa datang?"
"Kalau mereka menginap di sini, itu berarti kita harus tidur sekamar," jelas Farhan. "Mereka tidak mungkin datang ke sini dan melihat kamar kita terpisah,"
"Beberapa hari sebelum mereka datang, kamu harus pindahkan semua barang-barang kamu ke kamar aku," Farhan segera memutar kursi rodanya dan berlalu meninggalkan Hani.
***
Hani kembali menemani Farhan menjalani fisioterapi. Kali ini fisioterapis memberikan sejumlah gerakan pada kedua kaki Farhan, yang diselingi dengan pijatan, setelah itu Farhan kembali melatih kedua kakinya berjalan sambil berpegangan erat pada dua buah besi pegangan. Sudah ada kemajuan bagi Farhan, meski hanya bisa menggeser pelan kakinya, namun itu jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya kedua kaki Farhan sama sekali tak bisa digerakkan. Dengan kemajuan itu, Farhan merasa lebih semangat lagi untuk rutin menjalani fisioterapi sesuai dengan jadwal. Ia berharap suatu hari kedua kakinya bisa benar-benar sembuh dan ia bisa kembali berjalan dan berlari.
Begitu pula dengan yang dirasakan Hani, sama senangnya melihat suaminya ada kemajuan meski hanya menggeser beberapa centi kedua kakinya. Setelah latihan berjalan tadi, Farhan kembali duduk di atas kursi rodanya, pandangannya bertubrukan dengan sorot Hani yang menatapnya penuh kebahagiaan. Tatapan istrinya begitu tulus dengan pancaran harapan yang tidak pernah sirna oleh keyakinan akan kesembuhannya suatu hari nanti.
Entah kenapa tiap kali menyadari ketulusan Hani, Farhan selalu menampik, mungkin ia takut jatuh cinta, mungkin ia merasa jika Hani benar punya perasaan padanya semua bermula dari rasa iba melihat kondisinya yang cacat. Raut muka Farhan berubah ketika melihat sosok Reza masuk dan menghampiri Hani.
Hani balas tersenyum kepada Reza dan saling menyapa sebentar.
"Hai Za, kok kamu tahu aku di sini?"
"Kamu kan pernah cerita kalau Farhan sedang menjalani fisioterapi di sini, tidak jauh dari rumah sakit tempat kamu dirawat kemarin,"
sesekali Reza berpandangan dengan Farhan.
"Bagaimana fisioterapinya?" tanya Reza penasaran.
"Alhamdulillah kakinya sudah bisa bergerak sedikit,"
Farhan datang bersama Donny yang mendorong kursi rodanya.
"Hai, senang bisa bertemu lagi," sapa Reza dengan penuh keramahan.
"Kami duluan, sudah mau pulang," balas Farhan dengan tatapan yang datar. "Kalau kamu mau tinggal ngobrol sama dia, aku duluan sama Donny," Farhan berkata kepada Hani.
"Aku ikut!" sahut Hani cepat-cepat. "Hm, Za aku duluan ya. Assalamu'alaikum," Hani berlari-lari kecil menyusul Farhan dan Donny.
"Waalaikumussalam," jawab Reza yang tak lepas menatap punggung Hani yang berlalu meninggalkan tempat fisioterapi. Lelaki itu masih memiliki harapan kepada Hani, hingga saat ini ia belum juga menikah karena tidak menemukan perempuan lain yang setidaknya kepribadiannya mirip dengan Hani. Meski kedua orang tuanya sudah mendesaknya menikah, namun Reza belum ingin, apalagi ia masih bisa berdalih karena usianya masih sangat muda.
Reza sedikit kesal kepada Farhan, sejak pertama mereka bertemu, suami dari Hani itu tidak pernah tersenyum, selalu dengan wajah dan nada bicara yang datar. Seperti tidak betah berlama-lama bila ada dirinya. Reza tak habis pikir, kenapa karakter suami Hani seperti itu, apalagi lelaki itu lumpuh namun dengan angkuhnya tidak memperlakukan Hani selayaknya seorang istri.
***
Hani mengintip ke ruang tengah, tampak Farhan sedang serius membaca buku yang tebal setelah mereka makan malam. Hani menarik nafas dalam-dalam, kemudian melangkah ke ruang tengah sambil membawa baki dengan segelas coklat panas.
Farhan tahu istrinya datang, ia sempat melirik dengan ekor matanya namun kemudian kembali fokus membaca buku dengan teks bahasa Inggris tersebut yang dipinjamnya dari perpustakaan kampus Harvard.
Hani meletakkan segelas coklat panas di atas meja tak jauh dari posisi Farhan. Aroma coklat yang menguar, cukup menggodanya. Farhan menyadari Hani duduk di sofa sambil terus memandangnya. Gadis itu menatapnya ragu.
Farhan menutup pelan bukunya dan bertanya, "ada apa? Kamu mau bicara sesuatu?"
"Hm, aku, aku," Hani terdiam tak tahu mau mulai dari mana.
"Aku sudah menutup bukuku, jangan membuatku kesal karena kamu sudah menganggu waktuku membaca,"
"Aku mau tanya, kamu, tidak suka ya kalau aku ketemu dengan Reza?" tanya Hani hati-hati.
"Tidak suka kenapa?"
"Aku perhatikan kamu tidak suka tiap kali melihat ada Reza,"
"Maksud kamu, aku cemburu kalau ada Reza?" Farhan bicara dengan nada mengejek.
"Bu, bukan. Kalau memang kamu tidak suka aku, akan berhenti untuk bertemu dengan Reza lagi,"
"Terserah dari kamu!" Jawab Farhan tak peduli. "Aku tidak ada urusan dengan apa yang kamu lakukan, begitu juga sebaliknya,"
Hani terdiam sejenak, ia menyesali diri mengapa membicarakan hal ini sekarang, di saat yang salah. Farhan tampak tidak mood dengannya.
"Aku hanya butuh kamu bilang ya atau tidak, Han. Karena kamu suami aku," Hani menarik nafas pelan, berusaha menahan lelehan air matanya, Farhan bisa melihat wajah istrinya tampak memerah, "aku mengerti Han, kalau kamu belum bisa menerima aku sebagai istrimu, karena kita memang tidak kenal satu sama lain sebelum menikah. Tapi bagi aku, pernikahan ini adalah suci, aku tahu kamu tidak cinta sama aku sebagai istrimu, tapi aku berusaha menjalani semua ini sebagaimana mestinya, tapi kamu..., tidak,"
Suasana hening tercipta. Farhan merasa lagi dan lagi ia membuat Hani merasa sedih dan kecewa karena sikapnya.
"Maaf kalau aku sudah mengganggu waktu kamu," Hani segera pamit pergi dan berjalan masuk ke kamarnya. Begitu pintu menutup, air matanya merembes keluar. Hatinya sakit, atas sikap dingin dan acuh dari suaminya.
Hani berpikir, apa ia menyerah saja dengan pernikahan ini? Tapi perasaannya kepada Farhan pelan-pelan sudah mulai tumbuh, haruskah secepat itu ia menyerah?
Farhan pun masuk ke kamarnya, ia membanting pintu cukup keras. Kenapa hatinya gelisah melihat Hani yang menatapnya kecewa. Ia tak bisa melawan ego di hatinya, ia memang tidak suka melihatnya bersama Reza meskipun sekedar mengobrol biasa. Kenapa Hani tidak pernah jujur kepadanya tentang hubungannya dengan Reza di masa lalu.
***
Setelah obrolan mereka di malam itu, Farhan bisa merasakan sedikit perubahan dalam sikap Hani. Gadis itu masih tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri, memasak, mencuci, dan menyiapkan semua kebutuhan Farhan. Hanya saja mereka sudah jarang sarapan dan makan malam bersama. Hani biasanya makan duluan dan menyiapkan hidangan makanan di meja, Farhan tinggal datang dan makan. Rasanya aneh, makan sendirian, biasanya ia makan ditemani senyuman dari Hani.
Namun Farhan membiarkan saja, Hani sedang marah padanya, ia memilih diam. Bila tidak ada apa-apa, maka ia akan cepat-cepat memanggil Donny untuk segera mengantarnya ke kampus.
Hani mengintip dari balik jendela kamarnya ketika mobil yang dikendarai Donny melaju pergi membawa Farhan. Hani merasa tak enak memperlakukan Farhan seperti itu, tapi ia juga masih punya perasaan, ia berharap Farhan bisa mengerti.
***
Ini pertama kalinya Hani keluar rumah, ia pergi dengan naik taksi. Seminggu lalu ia bergabung dengan komunitas hijabers di sosial media yang khusus berdomisili di Massachusetts. Hani akan menghadiri gathering mereka di salah satu resto. Hani ingin hadir, daripada terus di rumah ia merasa cukup bosan, sementara Farhan tidak pernah peduli ia pulang malam apa tidak sehabis kuliah.
Tak susah bagi Hani menemukan alamat resto itu, karena sopir taksi yang ia tumpangi paham dan langsung mengantarnya ke tempat tujuan. Hani berkenalan dengan komunitas hijabers dari berbagai latar belakang, ada yang di Amerika sedang menempuh studi, ada yang ikut suami karena pekerjaan, ada yang masih single dan juga ada yang sudah menikah dan membawa serta anaknya ke gathering hari itu. Perasaan Hani terasa cukup terobati dengan bergabungnya dalam gathering itu, ia tidak terus kepikiran Farhan.
Hani sempat diajak berkenalan oleh salah satu anggota komunitas hijabers dengan pemilik resto tempat mereka melaksanakan gathering, ternyata seorang perempuan muda yang juga orang Indonesia namanya Naila.
"Kenalkan Nai, ini Hani, baru gabung di komunitas kami," sahut Lala, mengenalkan kedua perempuan itu.
"Halo mbak, saya Hani," sapa Hani duluan dan mengajaknya bersalaman.
"Hai, panggil Naila saja," balasnya dengan ramah.
"Kamu kuliah di sini, Han?" tanya Naila yang sudah bisa mengakrabkan diri dengan Hani meski baru kenal.
"Tidak. Yang kuliah di MIT* itu kakak aku, sementara suami aku kuliah di Harvard,"
"Kamu masih begitu muda, sudah menikah," ujar Naila cukup takjub.
Hani tersenyum.
"Selamat menikmati menu resto di sini ya, setidaknya bisa mengobati rindu dengan masakan khas Indonesia," pesan Naila kepada Hani dan semua anggota komunitas hijabers.
"Terima kasih Nai, sudah izinkan kami adakan gathering di sini, bisa makan sepuasnya menu di sini dengan potongan harga," sahut Lala.
"Sering-sering saja di sini. Di tanah rantau, kita dipertemukan, kita sudah seperti saudara," jelas Naila sembari menyebarkan senyumannya. "Kalian makan saja ya, saya mau pamit dulu, ada urusan di resto yang lain,"
Naila kemudian pamit pergi.
"Naila baik sekali ya," ujar Hani tiba-tiba.
"Iya, Naila itu baru lebih setahun menetap di sini, sudah sukses dengan bisnis restonya di Massachusetts,"
Hani manggut-manggut kagum, selain itu Hani mengakui Naila adalah perempuan yang cantik dan sangat modis, terlihat dari gayanya. "Dia sudah menikah?" tanya Hani penasaran.
"Dulu pernah menikah, tapi belum lama ini bercerai," jawab Lala, menyampaikan apa yang diketahuinya dari sosok Naila.
"Sayang sekali bercerai, bagaimana dengan anaknya,"
"Katanya ikut sama mantan suaminya. Naila pernah cerita mereka bercerai karena tidak ada kecocokan, soalnya mereka menikah karena dijodohkan," jelas Lala.
Hani terdiam. Sama seperti Naila, ia juga menikah dengan Farhan karena dijodohkan. Apakah pernikahan lewat perjodohan harus berakhir dengan perceraian hanya karena di awal tidak saling mengenal dan tidak saling mencintai?
"Han, kok diam, ayo makan dulu," Lala membuyarkan lamunannya.
Hani tersadar dan kemudian mengangguk lalu ikut bergabung di satu meja besar untuk menikmati menu resto yang sudah dipesan.
Bersambung...
*MIT (Massachusetts Institute of Technology)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Zikri
emang kenal lo dah lama hrus cerita masalah reza?lah lo sendiri kagak cerita ma hani masalah naila.....lo egois farhan.....kalo hani nih sodara gue...tak suruh ninggalin lo.....dasar gak tau diri....udah di tulusin...kagak faham.....
2021-05-11
0
Nina harliana.
kasihan hani 😭😭😭😭😭
2020-07-12
1
Eti Guslidar
naila pacar Farhan alias antan.
2020-07-09
2