Hani membuka pintu kamar Farhan dan masuk ke kamar itu untuk pertama kalinya. Kamar Farhan lebih luas dibanding kamarnya. Di sudut kamar ia melihat sebuah kursi roda lain milik suaminya.
Hani bergegas ke arah lemari, membukanya dan memasukkan beberapa potong pakaian Farhan yang sudah dicuci dan dilipatnya dengan rapi.
Hani memandangi seluruh sudut kamar yang setiap hari dibersihkan dan dibereskan oleh bik Lastri. Ia melihat beberapa koleksi foto yang tertata rapi di atas sebuah bufet.
Dugaan Hani benar, Farhan tak memajang foto pernikahan mereka di kamarnya. Hani memandangi koleksi foto di kamar Farhan yang tersusun rapi dalam pigura. Terlihat foto Farhan dari masa ke masa, dari SMA, kuliah hingga foto wisudanya.
Hani membuka pintu kamar mandi dalam kamar itu, kamar mandi Farhan didesain untuk memudahkan segala aktifitasnya sebagai seorang difabel. Hani kemudian keluar dari kamar.
Rumah ini sengaja dibangun secara mandiri oleh Farhan ketika ia sudah tidak bisa lagi hidup normal tanpa kursi roda. Makanya rumah ini hanya dibangun satu lantai saja, karena Farhan tak bisa naik tangga lagi.
Sejak ia memutuskan untuk fokus bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, Farhan memutuskan untuk tidak tinggal lagi di rumah orang tuanya. Ia ingin hidup mandiri, ia tak mau sebentar-sebentar harus merepotkan mamanya yang setiap saat selalu merawat dan membantunya bersama seorang perawat pribadi.
Awalnya tak mudah bagi Farhan mendapatkan izin dari kedua orang tuanya untuk tinggal sendiri di rumah yang dibangunnya. Setelah ia mampu meyakinkan bahwa ia sudah bisa mengurus dirinya sendiri untuk menjalani segala aktifitasnya sebagai seorang difabel, Farhan bahkan tak lagi memerlukan bantuan seorang perawat pribadi. Ia hanya butuh sopir pribadi karena kondisinya tak memungkinkan baginya untuk menyetir mobil sendiri, dan juga membutuhkan seorang pembantu rumah tangga.
Sore hari sambil menunggu Farhan pulang dari kantor, Hani ke halaman depan rumah, mengambil selang air dan menyiram-nyiram bunga yang tertata rapi dalam pot maupun yang sudah ditanam dalam tanah.
Sebuah mobil Honda Brio membunyikan klakson dari balik pagar rumah. Hani mematikan keran, kemudian berlari ke arah pagar dan membukanya. Gita turun dari mobil itu sambil menenteng tas dan juga sebuah rantang berisi makanan.
"Kak Gita, kenapa tidak bilang mau datang," ujar Hani senang dan memeluk kakaknya itu.
"Kamu sejak nikah dan pindah ke rumah baru, tidak pernah menelepon ibu,"
Hani nyengir, "nanti sebentar malam aku telepon ibu kak,"
Gita menyodorkan rantang berisi masakan kesukaan adiknya itu yang dimasak khusus oleh ibunya. "Ini ibu titip rendang dan soto ayam buat kamu,"
Mata Hani berbinar menerimanya. Tak lama kemudian sebuah mobil Honda Freed memasuki halaman rumah setelah pak Cecep turun membuka pagar. Mobil itu berhenti tepat di depan Hani dan Gita.
"Farhan," gumam Hani senang melihat suaminya sudah pulang dari bekerja di kantor.
Gita bisa membaca dengan baik bagaimana raut muka adiknya yang begitu senang saat suaminya sudah pulang. Hani berlari-lari kecil ke depan pintu mobil sambil menenteng rantangnya. Pak Cecep sudah sigap meletakkan kursi roda milik Farhan di depan pintu mobil, lalu kemudian membukanya. Dengan lincah, Farhan menggeser badannya dari jok mobil lalu duduk di atas kursi rodanya.
Ia sedikit kebingungan begitu menyadari Hani yang berdiri tersenyum di hadapannya sambil menenteng sebuah rantang makanan.
"Kamu sudah pulang ya," Hani berbasa-basi sambil menyodorkan tangan kanannya ingin mencium tangan Farhan. Namun Farhan hanya memandangnya bingung dengan kening berkerut kemudian menjalankan kursi rodanya melewatinya.
"Sini pak Cecep biar saya yang bawa tasnya," Hani mengambil alih tas berisi laptop dan beberapa dokumen itu untuk mengalihkan perasaannya karena Farhan menolak untuk dicium tangannya olehnya.
"Hai, kamu sudah lama?" tanya Farhan sekedar basa-basi ketika menyadari ada Gita.
"Baru saja," jawab Gita, "kamu baru pulang kerja ya,"
"Iya. Kenapa tidak masuk ke rumah," Farhan berlalu begitu saja. Kedua kakak adik itu memandanginya melewati jalur khusus kursi roda dan masuk ke dalam rumah.
"Ayo masuk dulu kak," ajak Hani.
Gita mengangguk dan mengikuti Hani di belakang.
"Aku mau buat minum dulu ya," kata Hani setelah meletakkan tas dan rantang di atas meja.
"Tidak perlu dek. Aku tidak lama, hanya datang mau antar makanan dari ibu buat kamu,"
Hani kemudian duduk di depan kakaknya.
"Han, kamu baik-baik saja kan sama Farhan?" tanya Gita penasaran setelah melihat tadi bagaimana sikap Farhan saat baru turun dari mobil, ia mengacuhkan perhatian adiknya.
Hani mengangguk tenang dan menjawab, "In Syaa Allah kak,"
"Tadi aku lihat bagaimana sikap dia sama kamu," Gita seakan risih dan ingin marah melihat perlakuan Farhan terhadap adiknya.
"Tidak apa-apa kak. Kami kan, dijodohkan. Kita masih sama-sama adaptasi menjalani pernikahan ini,"
"Apa dia mengancam kamu?" tanya Gita seolah ingin membenarkan dugaannya tentang bagaimana kondisi rumah tangga adiknya itu.
"Astaghfirullah kak, Farhan tidak pernah melakukan itu," bantah Hani.
"Apa dia selama ini merepotkan kamu dengan kondisinya itu?"
"Kak berhenti berpikiran yang macam-macam kepada Farhan! Dia bukan laki-laki yang seperti itu,"
"Oh, aku minta maaf. Sebenarnya aku merasa bersalah Han, karena permintaanku kamu mau dijodohkan dengannya dan akhirnya kalian menikah. Kamu mengorbankan perasaan kamu sendiri dengan laki-laki yang tidak yang kamu cintai sama sekali. Aku sudah bersikap egois hanya karena aku tidak bisa menerima kondisinya yang lumpuh...,"
"Kak, sejak awal aku tidak pernah merasa terbebani dengan kondisi Farhan," potong Hani.
Gita memandangi adiknya dengan tatapan yang dalam, "apa kamu sudah jatuh cinta sama dia?"
Lagi-lagi Hani tak bisa menjawab pertanyaan yang sama. "Kak aku hanya berusaha menjalani pernikahan ini secara normal. Sejak ijab qobul aku adalah istrinya, terlepas kami saling mencintai atau tidak, aku hanya berusaha menjalankan tugasku sebagai seorang istri yang melayani dia kak,"
Gita terdiam. Sebagai kakak, ia tak pernah bisa memahami bagaimana jalan pikiran Hani bila dalam kondisi seperti ini. Kadang Gita tak menyadari, saat adiknya berkata sejujurnya ia sedang kenapa-kenapa tapi Hani tidak pernah memikirkan dirinya sendiri, ia hanya memikirkan orang lain, sikap inilah yang membedakannya dengan sang adik.
Gita cukup merasa lega mendengar apa yang disampaikan Hani, adiknya baik-baik saja dengan pernikahannya, dan Gita yakin Hani tak berbohong untuk menutupi perasaannya yang sebenarnya.
Tanpa keduanya sadari, di ruang tengah tak jauh dari ruang tamu Farhan diam mematung mendengarkan pembicaraan empat mata antara adik kakak itu.
Farhan berpikir apa selama ini ia sudah salah menilai Hani sebagai perempuan yang terpaksa menikah dengannya?
Saat mendengar Gita pamit hendak pulang, Farhan masuk ke kamarnya, ingin mandi lalu berganti pakaian.
Farhan berendam di bathtub dengan air hangat. Semua percakapan Hani dan Gita tadi terus terngiang di telinganya. Sebenarnya Hani bisa saja menceritakan yang sebenarnya kepada Gita tentang kondisi mereka selama menjalani pernikahan. Tapi Hani selalu membantah dan membelanya. Tak terasa adzan maghrib berkumandang, Farhan cepat-cepat membilas badannya dan keluar dari kamar mandi.
Seusai mandi dan berpakaian, Farhan keluar dari kamarnya, ia mencari Hani di dapur. Namun hanya bik Lastri yang sedang sibuk memasak untuk makan malam mereka.
Farhan ke ruang tengah, juga tidak ada siapa-siapa. Akhirnya ia ke depan kamar Hani, pintu kamarnya tidak tertutup rapat, dari dalam kamar Farhan bisa mendengar suara merdu Hani yang melantunkan ayat suci Al-Quran sehabis melaksanakan shalat maghrib. Farhan kemudian pergi, dan tak lama setelahnya Hani selesai mengaji.
***
Hani sedang sibuk membereskan meja makan bersama bik Lastri usai ia makan malam bersama Farhan.
"Aduh, bu tidak usah," cegah bik Lastri saat melihat Hani mengangkat tumpukan piring kotor hendak menyimpannya di wastafel.
"Tidak apa-apa bik, saya biasa seperti ini di rumah,"
"Lebih baik ibu bikin teh saja buat tuan," bik Lastri memberi saran sambil menunjuk ke arah Farhan dari balik kaca pintu yang sedang duduk-duduk sendirian di teras belakang.
Farhan tak mengerti apa yang terjadi padanya, kenapa pembicaraan Hani dengan Gita tadi terus ia pikirkan. Tiba-tiba Hani datang meletakkan secangkir teh hangat di atas meja di sampingnya.
Hani tersenyum kemudian dengan canggung menarik sebuah kursi kayu dan duduk di seberang meja.
"Besok siang kita ke rumah mama, kita diundang makan siang di sana," sahut Farhan langsung yang dibalas anggukan oleh Hani.
Suasana berubah hening. Hanya terdengar suara seruput teh hangat dari bibir Farhan yang tampak menikmati teh yang dibawakan dan dibuatkan oleh Hani. Dalam hati Farhan mengakui, teh buatan Hani sangat enak.
"Um, Farhan, kamu tidak mau coba untuk rutin fisioterapi lagi?" tanya Hani hati-hati.
Farhan meliriknya sejenak, "aku tidak sempat. Terlalu banyak pekerjaan di perusahaan,"
"Kamu bisa meluangkan waktu, tiga kali seminggu, dua kali seminggu atau sekali seminggu," Hani masih berusaha mengajak Farhan agar kembali rutin menjalani fisioterapi.
"Kamu bosan ya, lihat aku di atas kursi roda terus?" tanya Farhan terdengar seperti mengejek dirinya sendiri.
Hani ingin marah, karena maksud baiknya disalah artikan, namun ia berusaha menahan diri.
"Farhan, aku istri kamu. Apa aku salah berbicara seperti ini? Tentu aku sangat berharap kamu bisa sembuh dan bisa berjalan lagi. Mama pernah cerita kalau dokter bilang, kamu masih ada harapan untuk sembuh dengan rajin mengikuti jadwal fisioterapi,"
"Aku sudah coba, tapi hasilnya, lima tahun aku masih di atas kursi ini," Farhan terdengar seperti putus asa.
"Apa selama lima tahun itu, kamu rajin fisioterapi? Tidak kan! Kamu hanya setahun dua tahun mencoba, lalu kemudian menyerah dengan keadaan,"
Farhan diam. Hani benar, ia terlalu mengharapkan fisioterapi yang dijalaninya dulu bisa menunjukkan hasil yang instan, ia tak mau berusaha lebih keras dan lebih tekun lagi untuk mencapai kesembuhan pada kedua kakinya.
"Hani, kenapa kamu begitu peduli sama aku?" tanya Farhan tiba-tiba.
"Aku istri kamu,"
"Bukan jawaban itu yang aku mau. Kenapa kamu begitu ingin lihat aku sembuh dan bisa jalan kembali?"
Hani terdiam, ia memikirkan alasan apa yang ia punya selain karena statusnya sebagai istri.
"Aku tahu, sejak awal kamu pasti tidak ingin kan dijodohkan sama aku. Aku sudah dengar semuanya tadi waktu kamu bicara berdua dengan Gita di ruang tamu,"
Hani terkejut. "Kamu memang benar, waktu kak Gita memintaku menggantikan posisinya untuk dijodohkan denganmu, aku sempat ragu. Lalu aku shalat istikharah selama beberapa malam sebelum kita dan kedua orang tua kita ketemu di restoran waktu itu. Pada malam ketiga aku istikharah, aku tertidur dan bermimpi menikah denganmu,"
Farhan tak menyangka dengan cerita itu, dia pikir hal seperti itu hanya ada di dalam novel.
"Mungkin memang ini adalah rencana Allah," lanjut Hani.
Farhan hanya diam, ia kemudian pamit ke kamarnya meninggalkan Hani sendirian yang justru termenung semalaman di luar, berusaha menyelami hatinya sendiri apakah ia benar-benar sudah mencintai Farhan sebagai seorang lelaki?
Di dalam kamarnya, Farhan diam merenungi penjelasan Hani tadi soal shalat istikharah dan mimpi menikah dengannya. Di sudut lain kamarnya yang luas, Farhan mendekati sebuah walker, alat bantu jalannya. Ia berpegangan dengan kuat dan mengangkat tubuhnya untuk berdiri.
Farhan sama sekali tak merasakan kedua telapak kakinya saat bertumpu di atas lantai. Ia mencoba untuk melangkah, tapi kedua kakinya sama sekali tidak bisa digerakkan, syaraf yang mengirimkan perintah dari otaknya untuk menggerakkan kakinya sudah tidak berfungsi, bahkan untuk sekedar menggeser beberapa centi saja posisi kakinya, Farhan tidak bisa.
Jika dalam keadaan seperti ini, yang dibutuhkan adalah bantuan fisioterapis. Farhan terus mencoba menggerakkan kakinya, hingga ia terlalu memaksa dan membuatnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
Jauh di dalam hatinya Farhan sangat ingin sembuh, ia ingin kedua kakinya kembali normal, ia rindu berjalan dan berlari. Sejak kecelakaan yang menimpanya lima tahun lalu, ia merasa seperti tidak mempunyai kaki lagi.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Lovely
thor usul, mobil abang ganteng dibikin agak keren yes, Alpard atau Pajero ... Aelah aku malah ngomong in mobil...
ah aku lanjut lah, gasken😊😊😊
2021-11-30
1
As-Sana (IG: rain_session
Saya nyicil bacanya yaaa😍😍
2020-07-11
0