Sejak dari rumah sakit, Hani bisa merasakan perubahan sikap suaminya. Farhan yang mulai lunak dan perhatian padanya, tiba-tiba kembali seperti dulu lagi saat mereka baru menikah, dingin dan acuh. Setiap kali mereka makan bersama, Farhan tak banyak bicara kecuali ditanya lebih dulu, bahkan tidak ada lagi tatapan Farhan yang bisa membuat hatinya bergetar.
Hani bertanya-tanya ada apa dengan suaminya. Namun Hani tidak berani bertanya langsung, ia menunggu saat yang tepat ketika suasana hati Farhan kembali mencair.
Seusai sarapan, Hani membereskan meja makan. Dari jendela dapur, ia melihat keluar di pekarangan belakang rumah, Farhan sedang berlatih berjalan sambil berpegangan kuat pada walkernya. Farhan dibantu dan ditemani oleh Donny. Hani meninggalkan kegiatannya membereskan meja makan dan berlari keluar lewat pintu belakang menghampiri Farhan dan Donny. Farhan mengacuhkannya dan tetap fokus melatih kedua kakinya untuk bergerak. Hanya Donny yang tersenyum pada Hani yang tampak antusias melihat Farhan berusaha berjalan.
Pagi itu Farhan pelan-pelan bisa menggerakkan sedikit kedua kakinya, meski di awal ia begitu susah payah. Farhan tersenyum senang, melihat sudah ada perkembangan pada kedua kakinya.
Hani dan Donny sama senangnya,
"Alhamdulillah," ucap Hani penuh syukur dan tak lepas menatap Farhan.
"Donny, tolong panaskan mesin mobil, aku mau siap-siap ke kampus jam 8,"
Donny mengangguk, saat hendak mendorong kursi roda Farhan ke arahnya, Hani menghentikannya. Gadis itu mengambil alih kursi roda Farhan dan mendorongnya ke arah suaminya yang menunggu. Mau tak mau, Farhan kemudian duduk di atas kursi rodanya.
"Aku bisa sendiri," tolak Farhan saat Hani akan mendorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah. Farhan berlalu begitu saja, tanpa basa-basi.
"Kamu harus lebih sabar Hani," sahut Donny tiba-tiba.
"Mungkin dia tidak akan pernah bisa cinta sama aku," Hani terdengar putus asa.
"Apa kamu mau menyerah begitu saja?"
"Aku tidak tahu Don, sampai kapan pernikahan ini akan bertahan. Selama aku masih istrinya, aku tidak akan pernah tidak memperlakukannya selayaknya suamiku,"
"Kamu pasti bisa, jangan pernah berhenti untuk terus mendukungnya sampai dia bisa sembuh," Donny pamit ke garasi hendak mengeluarkan mobil dan memanaskan mesinnya.
***
Hani tampak sibuk di depan laptop. Meski sekarang di Amerika, Hani belum berhenti bekerja sebagai salah satu perancang busana di sebuah rumah mode di Jakarta. Hani mengirimkan semua sketsa rancangannya lewat email, beberapa hari yang lalu ia baru saja mendapat transferan honor desain ke rekeningnya karena salah satu kebaya rancangannya laku dibeli oleh salah satu artis ibukota yang akan menggelar pernikahan sebulan lagi.
Bel rumah tiba-tiba berbunyi, Hani segera bangkit dari kursi dan berlari keluar kamar lalu segera membuka pintu. Hani sempat mengira Farhan yang datang, namun selama kuliah Farhan tidak pernah pulang sesiang ini.
Senyum canggung Reza menyambutnya.
"Oh, Reza. Ada perlu apa kamu ke sini?" tanya Hani yang belum mempersilahkan Reza untuk masuk ke dalam rumah.
"Apa tidak boleh aku mampir ke rumah kamu? Suami kamu ada di rumah?"
"Tidak ada. Farhan sedang di kampus," jawab Hani biasa saja namun tetap menjaga nada bicara dan ekspresinya. "Silahkan masuk,"
Reza pun masuk dan duduk di sofa ruang tamu.
"Kamu mau minum apa? Biar aku buatkan,"
"Terserah kamu saja,"
Hani mengangguk dan meninggalkan Reza sendirian di ruang tamu. Reza memandangi setiap sudut ruang tamu, ia merasa ganjil tak mendapati adanya foto pernikahan Hani dan Farhan yang dipajang. Reza semakin yakin bahwa Hani dan Farhan tidak saling mencintai seperti yang pernah diceritakan oleh Gita.
Tak lama kemudian Hani datang membawa baki minuman, secangkir cappucino.
"Silahkan diminum,"
Reza merasa Hani memperlakukannya agak berbeda sejak pertemuan mereka di rumah sakit.
"Hani, aku ke sini ingin minta maaf soal pembicaraan kita waktu itu di rumah sakit,"
Hani mengangguk.
"Aku hanya mau jujur, perasaan aku ke kamu masih sama,"
Hani menarik nafas dalam-dalam, "tolong Za, jangan lagi dibahas yang sudah lalu. Kamu harus menghargai aku yang sudah menikah,"
Reza mengangguk, tampak sedikit kecewa.
"Sejak dulu sampai sekarang, kita adalah teman Za. Kalau kamu masih mau jadi teman aku, tolong jangan pernah bahas hal ini lagi. Aku tidak mau kalau sampai Farhan tahu,"
"Iya Han, aku tidak akan membahas hal ini lagi. Sekali lagi aku minta maaf. Tapi soal perasaan aku ke kamu, itu benar,"
Hani jadi tidak nyaman karena kejujuran Reza.
Dulu ia dan Reza adalah teman yang cukup akrab, hingga kemudian tumbuh perasaan cinta di antara mereka yang kala itu masih remaja SMA. Hani tak pernah mengutarakan perasaannya, ia tetap menganggap Reza sebagai teman. Teman berbagi, berbagi dalam hal mengerjakan tugas, berbagi contekan ketika ulangan dan banyak lagi.
Namun beda dengan Reza, ia banyak bercerita tentang kondisinya dengan kedua orang tuanya, di mana menjelang kelulusan SMA. Reza berharap bisa melanjutkan kuliahnya di UI tapi kedua orangtuanya menghendakinya menjadi seorang dokter dengan menempuh pendidikan kedokteran di Harvard. Reza dilematis jika harus meninggalkan Indonesia yang berarti juga meninggalkan Hani.
Reza kemudian memberanikan diri mengungkapkan perasaannya pada gadis itu, Hani juga mengakui perasaannya. Lalu Reza mengenalkan Hani pada kedua orangtuanya tapi kedua orang tua Reza, tak menyambut Hani dengan baik karena merasa Hani dan Reza beda status sosial dengan mereka.
Sejak hari itu Hani memutuskan untuk mengubur perasaannya, karena ia percaya segala hal harus disertai dengan ridho orang tua.
Hani meyakinkan Reza untuk menerima keinginan orang tuanya untuk menempuh pendidikan kedokteran di Harvard. Atas saran dari Hani itulah, ketegangan yang sempat tercipta antara Reza dan kedua orangtuanya berakhir dengan keikhlasannya untuk menempuh pendidikan kedokteran dan melupakan impiannya untuk menjadi seorang arsitek.
Perjalanan Reza sebagai mahasiswa kedokteran di Harvard berjalan mulus dan kini ia baru saja mendapatkan pekerjaan baru di salah satu rumah sakit di Massachusetts sebagai dokter umum. Beberapa tahun ke depan Reza sudah merencanakan untuk mengambil pendidikan spesialis.
***
Di luar sedang turun salju, Hani merapatkan jaket tebalnya kemudian menutup jendela-jendela agar hawa dingin tidak masuk. Sebentar lagi maghrib, tapi Farhan belum pulang juga. Hani mengambil ponsel dalam saku jaketnya dan menelpon ke nomor Farhan. Sambungan telepon berbunyi, namun tidak ada jawaban, sampai berkali-kali Hani menelpon.
Hani kemudian menelpon ke nomor Donny yang langsung menjawab dan menjelaskan kalau sejak siang tadi Farhan menghabiskan waktu di perpustakaan.
Hani merasa lega saat tahu kabar suaminya, ia bersiap-siap melaksanakan shalat maghrib dan setelah itu memasak hidangan makan malam.
Setelah dari perpustakaan, Farhan mengajak Donny makan malam di luar meski salju turun cukup lebat.
"Kenapa tidak makan di rumah saja Han? Hani pasti sudah masak untuk kamu," ujar Donny setelah mereka memesan menu.
"Sekali-kali tidak apa-apa makan di luar," jawab Farhan acuh.
Sedikit banyak akhirnya Donny tahu juga bagaimana kondisi rumah tangga Farhan dan Hani. Semua ketahuan sejak Farhan meminta tolong mengecek kondisi Hani di lantai dua saat gadis itu demam tinggi karena kesulitan adaptasi dengan iklim Amerika.
Mereka selama ini tidak pernah tidur sekamar. Farhan sudah menganggap Donny seperti kakaknya karena usia mereka yang hanya terpaut beberapa tahun saja. Meski tak pernah jujur, namun Donny bisa membaca bagaimana perasaan Farhan saat ini. Namun Farhan bukan tipe orang yang mudah berbagi tentang perasaannya kepada siapa saja.
Sambil menunggu menu makanan mereka, Farhan mengambil ponselnya dari saku tasnya di bagian belakang kursi rodanya. Ponselnya mode silent karena sejak siang ia berkutat dengan literatur berkaitan dengan mata kuliahnya tadi, pantas saja ia tak mendengar telepon dari istrinya itu, Farhan membaca chat WhatsApp dari Hani yang dikirimkan beberapa jam yang lalu yang bertanya di mana ia sekarang.
"Hm, tadi Hani menelpon ke nomorku soalnya kamu tidak menjawab telponnya,"
Farhan hanya mengangguk dengan ekspresi datar.
"Ayolah Han, sampai kapan kamu akan bersikap begini sama Hani?" Donny merasa gemas, selama ini ia menahan diri untuk membahas tentang hubungan Farhan dan Hani karena tak mau dianggap mencampuri urusan rumah tangga orang lain.
"Sejak dulu sikapku memang begini sama dia. Aku tidak akan semudah itu lagi percaya pada perempuan,"
Kening Donny berkerut, "ada trauma di masa lalu?" tanya Donny sedikit mengejek.
Farhan tersenyum getir, bila diingat-ingat lagi masa lalunya dulu. Tujuh tahun yang lalu sebelum kecelakaan yang menyebabkan kedua kakinya lumpuh, Farhan seperti laki-laki pada umumnya, kuliah, berprestasi, sempat juga beberapa gadis mahasiswi seangkatannya atau bahkan sampai juniornya begitu mengaguminya, awalnya Farhan tak mau peduli, namun salah satu mahasiswi di bawah angkatannya yang ia ketahui juga mengaguminya, menarik perhatiannya.
Gadis itu adalah Naila, mahasiswi fakultas ekonomi sama dengannya. Naila cantik, punya senyum yang manis dengan lesung pipi dan juga seorang yang berkepribadian supel dan sangat modis. Pertama kali bertemu Naila, Farhan biasa saja tak langsung jatuh cinta, Naila yang berusaha mendekatinya dan ia berhasil menarik perhatian dan juga perasaan Farhan. Akhirnya keduanya menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih yang sering jadi pembicaraan di kampus, khususnya di kalangan mahasiswa fakultas ekonomi.
Hingga kemudian kecelakaan itu menimpa Farhan tepat di hari wisudanya. Naila masih sempat menjenguk dan menemaninya di rumah sakit, setahun kemudian begitu saja Naila tiba-tiba memutuskan hubungan mereka dan tak lama kemudian Farhan mendengar kabar Naila akan segera menikah dengan laki-laki lain. Sejak kabar pernikahan itu terdengar, Farhan memblokir akun Naila di semua sosmednya. Dan hingga detik ini ia tak pernah tahu dan tak mau tahu lagi bagaimana kabar mantan kekasihnya itu, yang dulu sudah direncanakan ingin dinikahinya.
Namun karena kecelakaan yang tiba-tiba menjadikannya difabel karena harus menggunakan kursi roda, semuanya berbalik arah. Sejak saat itu, Farhan tidak mudah lagi untuk jatuh cinta, apalagi percaya begitu saja pada perasaan cinta dari seorang wanita.
Farhan merasa dadanya sesak tiap kali mengingat hal itu, masa lalu yang ingin dilupakannya. Tiba-tiba ia ceritakan begitu saja kepada Donny.
"Karena itulah, orang tuaku berusaha mencarikan jodoh untukku karena mereka takut dengan kondisiku ini aku susah mendapatkan jodoh. Dan akhirnya keinginan itu yang membawaku menjalani pernikahan ini dengan Hani," terang Farhan.
Pelayan restoran kemudian datang membawakan pesanan menu makan malam mereka. Pembicaraan mereka terhenti untuk menyantap menu makan malam.
***
Sampai selesai shalat isya Hani terus menunggu Farhan pulang. Makan malam yang ia hidangkan di meja sudah dingin. Hani selalu bertanya-tanya dalam hatinya, "kapan kamu akan pulang Farhan?"
Suara bel rumah terdengar, Hani bergegas membuka pintu. Tampak Farhan dan Donny, Farhan segera masuk, Donny juga segera pamit ke kediamannya. Begitu menutup pintu, Hani segera menghampiri Farhan yang baru masuk ke kamarnya.
"Farhan, kamu sudah makan malam?" tanya Hani di ambang pintu.
"Iya," jawab Farhan singkat sambil menyimpan tas yang tadi di bawanya ke atas meja kerjanya.
"Oh, iya," balas Hani dengan nada sedikit kecewa.
"Kalau sudah tidak ada, tolong kamu keluar. Aku mau ganti baju,"
"Iya," Hani mengangguk lalu keluar dari kamar Farhan dan menutup pintu. Hani melangkah lemas menuju dapur, kemudian mengambil tudung saji dan menutup semua menu makan malam hasil masakannya di atas meja makan.
"Aku yakin Han, meski kita menikah karena perjodohan tapi ini tidak seburuk yang kamu bayangkan, kita bisa mencoba menjalani ini dengan baik," Hani memanjatkan harapannya malam itu, setitik embun menetes pelan di pelupuk matanya
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Astiningtyas
😭😭😭...nangis bacanya
2020-10-04
2
Uldah Azahra
ⓨⓖ ⓢⓐⓑⓐⓡ ⓨⓗ ⓗⓐⓝ
2020-09-23
1
Firdhayani
😭😭😭
2020-06-17
1