Donny melirik dari spion bagaimana raut muka Farhan yang duduk di belakang. Tatapannya datar. Mengingatkannya bagaimana suasana hati lelaki itu ketika di rumah sakit saat Hani sedang sakit.
Keduanya kemudian menyaksikan secara langsung ketika Hani hampir saja bersinggungan dengan maut akibat ulah ugal-ugalan sebuah mobil yang melintasi jalan depan rumah mereka.
Farhan menarik nafas lega, ketika melihat tindakan Reza yang dengan cepat menarik tubuh mungil istrinya ke bahu jalan sebelum wanita yang dicintainya itu jadi terluka karena diserempet.
Namun di satu sisi, Farhan merasa tak suka dengan adanya Reza di sana. Kenapa bukan dia yang berdiri di sana, menyelamatkan istrinya.
Farhan merutuki diri, ia tak bisa berbuat apa-apa saat Hani dalam situasi berbahaya seperti tadi. Dan situasi tadi berlalu dengan penuh rasa syukur sebab adanya Reza, Farhan tak bisa langsung berlari keluar menghampiri istrinya, mengecek dirinya apakah ia terluka atau tidak.
"Donny, tolong kamu ke sana, lihat keadaan mereka. Lihat keadaan Hani, pastikan dia baik-baik saja," Farhan sungguh merasa tidak berdaya karena kondisinya.
Donny mengangguk kemudian menyalakan kemudi dan mendekat ke arah Hani dan Reza yang sekarang berdiri di belakang mobil Reza.
Farhan melihat saat Reza menyentuh sebelah pipi Hani. Ia mulai merasa kacau, sangat kacau, melihat bagaimana Reza begitu perhatian kepada istrinya.
Setelah menginjak rem, Donny bergegas keluar dan menghampiri keduanya.
Hani tidak peduli lagi dengan rasa sakit yang menjalar di pipinya, ia berjalan pelan mendekat ke arah mobil dan menatap suaminya setelah kaca diturunkan oleh Farhan.
"Han, ternyata kamu sudah pulang," Hani tersenyum senang sambil menyembunyikan sakit nyut-nyutan di pipinya.
"Kamu tidak apa-apa Han?" tanya Farhan dengan raut khawatir, "pipi kamu lecet dan lebam," Farhan mengamati wajah Hani dengan seksama.
"Hanya sakit sedikit, masih bisa ditahan kok," Hani menunjukkan wajah tenangnya supaya Farhan tidak lagi mengkhawatirkannya.
Hani membuka pintu mobil, Donny kemudian muncul dan menyiapkan kursi roda Farhan untuk segera ia naiki begitu turun dari mobil.
Mereka bertiga menghampiri Reza yang berdiri sendirian sambil menenteng sebuah kotak P3K yang selalu ia sediakan di mobilnya. Sebagai seorang dokter, bisa saja di tengah perjalanan ia menemukan korban kecelakaan ataupun terluka dan ia bisa segera menolong karena menyediakan kotak P3K di mobilnya.
Untuk pertama kalinya bagi Reza melihat Farhan tersenyum kepadanya meski hanya beberapa detik.
"Kamu tidak apa-apa Reza?" tanya Farhan peduli.
"Iya, aku baik-baik saja," jawabnya.
Hani dan Donny sedang sibuk memungut semua isi karton belanjaan dari supermarket yang bertebaran di mana-mana.
"Hani, kamu tidak perlu melakukan itu," ujar Farhan saat melihat Hani sibuk memungut satu per satu barang-barang belanjaannya dari supermarket.
"Iya Han, kamu istirahat saja. Biar aku yang mengambil semuanya," Donny menambahkan.
"Kamu masuk saja Han, biar aku obati luka kamu, sekaligus mengecek barang kali saja ada luka atau lebam di bagian lain badan kamu," sahut Reza sambil mengangkat kotak P3K nya.
"Tidak perlu Reza, aku bisa mengobatinya sendiri nanti, ini hanya luka lecet biasa," Hani menolak dengan lembut.
"Reza benar. Kamu masuk saja ke rumah untuk diobati, biar Donny yang mengambilnya. Reza adalah dokter, itu sudah tugasnya," Farhan menambahkan.
Hani menatapnya, Farhan balas menatapnya penuh harap ia akan mendengarkan apa yang dikatakannya. Hani pun mengangguk dan berjalan masuk ke rumah.
"Terima kasih sudah menyelamatkan dia," ucap Farhan kepada Reza sebelum ia melangkah menyusul Hani ke dalam.
Reza mengangguk kemudian bergegas menyusul Hani masuk ke rumah.
Farhan diam saja, Donny berdiri di sampingnya sambil membawa karton belanjaan yang sudah kembali terisi setelah memungut semuanya. Tanpa berkata-kata, Farhan menjalankan kursi rodanya masuk ke dalam rumah.
Di ruang tamu ia mendapati Reza sedang memandangi pipi Hani yang lecet dari jarak dekat. Suasana berubah canggung seketika begitu mereka menyadari kehadiran Farhan di ruang tamu. Hani menggeser posisinya menjauh beberapa jengkal dari Reza.
"Aku akan masuk, biar kalian tidak merasa canggung,"
"Han, tidak perlu!" tahan Hani.
"Farhan kamu tidak perlu ke mana-mana, aku tidak ada niat apa-apa selain ingin mengobati lukanya Hani," tambah Reza yang kemudian dengan telaten membuka kotak P3K nya, mengambil kapas yang ditetesi alkohol lalu menyapukannya dengan lembut ke pipi Hani yang luka lecet, setelah itu Reza menggantinya dengan mengambil sebatang cotton bud, meneteskan obat merah Betadine beberapa tetes lalu menyapukan pelan ke bagian pipi Hani dengan hati-hati.
Hani tak meringis kesakitan sama sekali, saat luka lecetnya bereaksi setelah diolesi betadin. Reza mengambil plester obat dan menempelkannya dengan rapi dan menutup sempurna luka lecet di pipi Hani.
Ia membereskan kembali isi kotak P3K nya.
"Syukurlah kamu hanya luka dan lebam di pipi, tadi kamu benar-benar jatuh dalam posisi yang cukup keras. Mungkin beberapa hari ke depan, sakitnya akan semakin terasa. Untung aku masih punya persediaan obat penghilang rasa sakit di kotak ini," Reza menyodorkan satu papan obat penghilang rasa sakit kepada Hani.
Hani menerimanya dan mengangguk terima kasih, "minumnya 1x1 saja sebelum tidur," pesan Reza.
"Terima kasih Reza," ucap Farhan meski sejujurnya ia merasa risih melihat lelaki itu mengobati Hani.
Tapi Farhan tidak ingin egois, tidak ada yang menginginkan musibah tadi terjadi, walaupun ia cemburu karena Reza bersama Hani tadi, bagaimana pun Farhan begitu berterima kasih kepadanya karena telah menyelamatkan Hani yang hampir saja tersentuh maut.
"Kalau tidak ada apa-apa lagi, aku pamit dulu. Hari ini aku ada janji dengan beberapa pasienku di poli umum," Reza melirik arlojinya dan kemudian berdiri sambil mengangkat kotak P3K nya.
"Za, lengan kamu juga lecet," tunjuk Hani saat tanpa sengaja melihat luka lecet itu ketika Reza bangkit berdiri.
Reza melihat pada lengannya. "Tidak apa-apa Han, ini hanya luka kecil, aku malah tidak rasa sakit. Luka kamu lebih parah, saat luka itu kering bisa saja meninggalkan bekas,"
"Tapi kamu juga terluka,"
"Aku ini dokter Han, luka kecil begini aku bisa mengobatinya sendiri. Aku pamit dulu ya,"
Hani dan Farhan mengantarnya sampai di pintu. Begitu keluar, Reza menoleh pada keduanya kemudian melambaikan tangan dan masuk ke mobil, lalu mengemudi pergi.
"Han, aku minta maaf," ucap Hani ketika ia menutup pintu.
"Untuk apa?" tanya Farhan.
"Reza,"
"Memangnya kenapa dia bisa bersamamu?" tanya Farhan penasaran.
"Kita ketemu di supermarket, kebetulan tadi aku kerepotan membawa belanjaan. Jadi dia membantu dan mengantarku pulang,"
Farhan mengangguk, "besok pergilah bersama Donny mengurus driving license, biar kamu ke mana-mana bisa naik mobil pemberian papa," Farhan menjalankan kursi rodanya dan masuk meninggalkan Hani sendirian di ruang tamu.
Sejujurnya Farhan sangat cemburu melihat Hani bersama Reza, apalagi laki-laki itu dulu adalah bagian dari cinta masa lalu Hani sebelum bertemu dan mengenalnya. Farhan bisa melihat tadi bagaimana Reza sepenuh hati mengobati luka Hani di depan matanya tanpa peduli pada perasaannya yang harus melihat semua itu, menjadi penonton karena tidak bisa berbuat apa-apa karena kondisinya.
***
Reza mengemudi dengan kecepatan sedang, membelah ramainya jalanan Cambridge yang juga banyak dilintasi mobil.
Ia masih memikirkan Hani, sungguh sampai detik ini tidak ada satu wanita pun yang bisa menggantikan perasaannya kepada Hani.
Haruskah ia merebut Hani dari Farhan? Tapi melihat bagaimana Farhan tadi, rasanya laki-laki itu sudah sedikit berbeda, sebelumnya beberapa kali mereka bertemu Farhan seolah tidak betah tinggal berlama-lama bila ada dirinya. Bahkan tadi, saat ia sedang mengobati luka di pipi Hani, sesekali ia melirik melalui ekor matanya ke arah Farhan yang diam dan tampak muram namun berusaha menutupinya.
Reza langsung pulang ke apartemennya, tadi ia berbohong bila ia buru-buru mau pulang hendak bertemu dengan pasien yang sudah membuat janji dengannya. Reza sejujurnya merasa canggung juga karena adanya Farhan.
Reza meletakkan karton belanjaannya di atas meja dapurnya lalu kemudian membuka kulkas, mengambil sekaleng minuman soda, membukanya, duduk di sofa depan televisi, meneguk minuman sodanya dengan sekali tegukan, kemudian bersandar pelan di sofanya.
Pikirannya menerawang tentang masa lalunya dulu bersama Hani saat mereka masih SMA. Karena ketidaksetujuan orang tuanya, ia harus berpisah dengan Hani karena harus ke Amerika menempuh pendidikan kedokteran di Harvard. Jika bukan Hani yang menasihatinya untuk menurut pada apa yang menjadi keinginan orang tuanya, mungkin saja sekarang Reza telah menjadi anak yang membangkang.
Reza sengaja tak ingin buru-buru kembali ke Indonesia, sebab ia tak mau bila kepulangannya harus disambut permintaan orang tuanya untuk segera menikah, apalagi jika ia juga akan dijodohkan dengan wanita pilihan kedua orang tuanya. Kali ini Reza tidak mau mengalah setelah mengubur impiannya untuk jadi arsitek dan kini menjadi dokter.
Reza selalu bilang, bahwa yang ia inginkan menjadi istrinya adalah Hani, tidak perempuan lain.
Benarkah, meski Hani sudah menjadi istri orang lain? Hal inilah yang terus berkelebat dalam pikiran Reza, haruskah ia merebut Hani dari Farhan, atau ia mengalah dengan keadaan?
Reza membuka laci meja kecil di samping sofa, sebuah pigura foto berukuran 3R terlihat jelas potret Reza dan Hani yang tersenyum senang di hari kelulusan mereka dengan seragam putih abu-abu mereka yang sudah dipenuhi pilox. Reza masih menyimpan foto itu dan juga perasaannya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Fitriani
awen juga perasaan reza ....masi ada enda ya cowok yg setia mcm gini 🤔🤔
2021-04-26
0