Gita tak lepas memandangi Hani dan Farhan yang sedang berpamitan dengan kedua orang tua mereka di bandara. Pernikahan Hani dan Farhan tak seperti yang dibayangkannya. Kini adiknya dan suaminya itu tampak bahagia menjalani pernikahan mereka, berbeda saat ia bertemu Farhan terakhir kali, begitu dingin dan seperti tidak menganggap Hani sebagai istrinya.
Kenapa tiba-tiba terbersit rasa iri melihat adiknya tampak bahagia dengan lelaki yang dulu ditolaknya karena menganggap ia takkan bisa bahagia karena kekurangan Farhan yang difabel. Gita pun kagum, ternyata Farhan adalah sosok yang cerdas, ia akan melanjutkan studi S2 nya di Harvard, sementara ia sendiri akan menempuh studi S2 di Universitas Massachusetts. Mereka sama-sama akan tinggal di Massachusetts Amerika.
Ibu Gita dan Hani tak kuasa membendung air matanya ketika melepaskan kedua putrinya berangkat jauh ke Amerika. Gita akan menempuh studi S2 dan Hani sebagai seorang istri tentu akan ikut suaminya yang akan menempuh studi S2 juga. Gita dan Hani merasakan hal yang sama, mata mereka juga sempat berkaca dan air mata pun jatuh saat memeluk ibu mereka dan juga ayah mereka.
Ketiganya naik pesawat kelas bisnis, agar memudahkan pergerakan Farhan dengan kursi rodanya. Setelah melewati garbarata, beberapa pramugara membantu Farhan duduk di kursinya dan menyimpan kursi rodanya. Hani duduk di samping Farhan di dekat jendela. Sementara Gita duduk di seberang mereka bersama Donny, seorang asisten pribadi yang akan menemani Farhan nanti di Amerika. Usia Donny hanya berselisih beberapa tahun dari Farhan, karena lihai berbahasa Inggris, postur tubuhnya yang tinggi, serta kemampuan beladirinya, papa Farhan memilihnya untuk menemani putranya selama menempuh pendidikan di Harvard.
Pak Cecep sementara waktu dialihkan kembali untuk bekerja sebagai sopir di kediaman Rudiyanto.
Kurang lebih 20-an jam waktu perjalanan yang ditempuh dari Jakarta ke Amerika. Hani tak lupa berdzikir selama perjalanan. Sudah setengah perjalanan, ia melirik Farhan yang sedang tertidur pulas di sampingnya. Hani tersenyum sesaat kemudian, pelan-pelan menarik ke atas selimut yang menutupi sebagian badan suaminya. Tak lepas Hani memandangi Farhan, hingga ia tak menyadari, di seberang mereka Gita mengawasi dan tampak berusaha melawan iri di hatinya.
***
Pertama kalinya bagi Hani melakukan perjalanan ke luar negeri. Mereka semua selamat sampai tujuan di bandara di Amerika. Gita berpisah dengan Hani dan Farhan di bandara, Farhan sempat menawari untuk ikut mereka saja dulu, nanti Donny akan mengantarnya. Namun di bandara Gita sudah dijemput oleh beberapa orang temannya yang nantinya akan tinggal satu apartemen dengannya.
Setelah Gita pergi, di bandara telah disiapkan mobil dan sopir untuk menjemput dan mengantar mereka ke rumah yang akan Farhan dan Hani tempati selama tinggal di Amerika. Rumah itu sudah disiapkan jauh-jauh hari oleh papa Farhan begitu tahu anaknya akan melanjutkan studi di Harvard.
Donny duduk di jok depan bersama sopir yang berkulit hitam. Hani dan Farhan di jok belakang. Mereka pun sampai di rumah itu. Setelah Donny dan sopir berkulit hitam tadi mengangkat semua koper mereka, Donny kemudian pamit keluar. Ingin melihat-lihat rumahnya sendiri yang tepat di depan rumah Hani dan Farhan. Papa Farhan sengaja mengatur Donny untuk tinggal tak jauh dari rumah anak dan menantunya. Agar memudahkannya untuk datang dan pergi. Serta tidak mengganggu privasi antara Hani dan Farhan.
"Kamar kamu di atas, dan kamar aku di bawah," jelas Farhan saat Hani datang ke ruang tamu setelah tadi ia masuk ke dalam melihat-lihat seisi rumah.
Hani mengangguk pelan. Ia masih bisa mengerti bila suaminya belum mau tidur sekamar dengannya. Farhan bersikap lebih lembut padanya sudah sangat membuatnya senang.
Kamar Farhan tidak seluas di rumah mereka di Jakarta. Tapi desain interiornya terlihat sangat nyaman. Bedanya, kamar mandi yang di desain khusus untuknya tidak berada di dalam kamarnya tapi berada di luar, dekat dari kamarnya.
Hani juga membantu mengeluarkan semua barang-barang bawaan dan juga baju-baju milik Farhan dan menyusunnya rapi di lemari. Setelah merapikan kamar suaminya, Hani bergerak cepat mengangkut kopernya ke lantai dua dan merapikan kamarnya. Ia juga tak lupa membawa pigura berisikan foto pernikahannya dan meletakkannya di meja samping tempat tidurnya.
Dari dalam kamarnya, Farhan bisa mencium aroma masakan dari dapur. Ia sedang sibuk di depan laptop sembari menyiapkan hal-hal yang akan di bawanya nanti ke kampus Harvard. Farhan melepaskan kacamata anti radiasinya dan dengan kursi rodanya ia keluar kamar menuju dapur. Ini kedua kalinya ia melihat istrinya tampil dalam keadaan melepas hijab. Farhan muncul dari belakang Hani yang sedang sibuk bermain dengan wajan, entah apa yang dimasaknya namun dari aromanya pasti enak, tidak menyadari Farhan diam-diam mengamatinya dari belakang. Rambut Hani yang hitam dan panjang, membuatnya penasaran.
Setelah memindahkan masakannya ke piring, Hani berbalik badan dan sedikit terkejut mendapati suaminya memandang lurus ke arahnya. Hani agak kikuk, namun kemudian tersenyum manis, "Farhan,"
Hani meletakkan sepiring capcay di atas meja makan dan tak lepas menatap suaminya.
"Nanti aku akan suruh Donny cari pembantu, biar kamu tidak terlalu capek mengurus semuanya," ungkap Farhan yang mendekat ke arah meja makan, meski belum dipanggil, namun sudah waktunya untuk makan malam.
Hani tampak sibuk mengisi piring Farhan dengan nasi dan lauk.
"Tidak perlu Han, aku kan tidak ada pekerjaan selama di sini, aku bisa fokus mengurus rumah, sementara kamu bisa tetap fokus kuliah," Hani duduk di depan Farhan lalu kemudian mengisi sendiri piringnya.
Makan malam hari itu terasa romantis bagi Hani, bagaimana tidak beberapa kali ia mendapati suaminya memandang ke arahnya dan tersenyum. Hani berharap Farhan akan menegurnya dengan rambut panjang terurainya, namun Farhan tidak berkata apa-apa. Hanya memberinya tatapan yang lagi-lagi berbeda yang bisa membuat Hani menebak-nebak sesuatu yang indah.
***
Usai berpakaian rapi, Hani mengenakan hijab segitiga yang dulu dibelikan oleh Farhan. Mendadak Farhan mengatakan kalau siang ini ia sudah membuat janji ketemuan dengan dokter spesialis syaraf di salah satu rumah sakit. Betapa senangnya Hani, Farhan akan kembali menjalani fisioterapi agar kedua kakinya sembuh dan bisa berjalan lagi.
Usai mengenakan hijab, Hani mengambil tas selempangnya di atas tempat tidur, lalu keluar kamar dan berlari-lari kecil menuruni anak tangga, Farhan dan Donny sedang menunggu di ruang tamu.
Hani begitu antusias menemani Farhan berkonsultasi dengan dokter tentang kedua kakinya. Dokter pun sudah membuatkan jadwal fisioterapi bagi Farhan. Hari itu juga Farhan menjalani fisioterapi dengan ditemani Hani dan Donny. Fisioterapis membantu Farhan berdiri dan berpegangan di parallel bars yang diperuntukkan khusus bagi pasien yang menderita kelumpuhan untuk melatih gerak motorik kakinya.
Setengah mati Farhan berusaha mencoba, kedua kakinya tidak terasa, sedikitpun ia tak bisa menggerakkan salah satu kakinya. Fisioterapis kemudian membantunya menggerakkan kakinya seperti melangkah ke depan. Hari pertama terapi belum ada tanda-tanda kemajuan, tapi Farhan tidak putus asa. Ia berjanji akan mencoba besok dan besok lagi, hingga seterusnya.
Aktifitas Farhan dengan kuliahnya pun sudah mulai padat, tapi ia masih tetap menjalani fisioterapi sesuai dengan jadwal yang telah dibuatkan dokter. Hani dan juga Donny selalu menemaninya dan mendukungnya untuk tidak menyerah dan yakin akan sembuh.
Suatu hari ketika memasuki musim dingin, tak biasanya Farhan mendapati rumah terasa sepi. Semalam ia masih sempat berbicara dan makan malam bersama Hani, tapi kenapa sudah jam 8 pagi, Hani tidak nampak di rumah, tidak sibuk di dapur atau sekedar mengunjunginya di kamar.
Farhan mendekat ke arah anak tangga dan mendongak ke atas. Sial, ia tak bisa naik ke lantai dua untuk mencari istrinya di kamarnya. Farhan khawatir terjadi apa-apa kepada Hani. Di luar salju sedang turun dengan deras.
"Hani!" Panggil Farhan dengan suara lantang.
Tak ada jawaban dari lantai dua.
"Hani kamu di kamar kan?" Masih dengan suara yang lantang.
"Hani jawab! Kamu baik-baik saja kan?" Untuk ketiga kalinya masih tidak ada jawaban dari atas.
Farhan meninju keras pegangan anak tangga. Ia merutuki kondisinya yang tidak bisa naik ke lantai dua. Seandainya saja dia tidak lumpuh, seandainya saja kakinya normal.
Farhan mengambil ponselnya dan menelpon ke nomor Hani. Sekali, dua kali, tidak ada jawaban. Hingga kemudian ketiga kalinya Hani mengangkat telepon.
"Halo," suara Hani terdengar lemah dan lirih di ujung telpon.
"Hani, kamu kenapa tidak turun dari kamar? Ada apa?" tanya Farhan dengan nada khawatir.
"Farhan, ma, maaf aku tidak bisa turun. Apa kamu sudah sarapan?" tanya Hani dengan nada suara yang sangat kecil, namun Farhan masih bisa mendengar jelas.
"Hani, kamu kenapa? Kamu sakit?"
"Agak demam Han,"
"Astaghfirullah ternyata kamu sakit," Farhan mendengar suara terjatuh dan kresek-kresek.
"Hani! Hani!" Telpon masih tersambung tapi tidak ada suara. Farhan sangat khawatir. Ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk bisa ke lantai dua dan melihat langsung kondisi istrinya.
Farhan menelpon ke nomor Donny. Tak cukup semenit, Donny datang dan langsung berlari naik ke lantai dua. Begitu masuk ke kamar Hani, Donny mendapati perempuan itu dalam keadaan tidak sadarkan diri dan tidak mengenakan hijab tapi mengenakan jaket dan selimut yang tebal. Donny mengambil ponsel Hani yang terjatuh di lantai kemudian memegang sebentar kepala Hani, suhunya sangat panas.
Donny berlari keluar dan berteriak kepada Farhan di ujung tangga, "Demamnya tinggi sekali dan sepertinya dia pingsan,"
Donny mengangkat tubuh Hani dan turun dari lantai dua, "kita bawa ke rumah sakit," ujar Donny saat turun dan bertemu Farhan yang menunggu dekat tangga. Farhan agak kaget melihat istrinya dalam kondisi tidak mengenakan hijab.
"Tolong ambilkan hijabnya di kamar," pinta Farhan.
Donny menidurkan Hani di sofa ruang tamu, kemudian ke lantai dua hendak mengambil hijab milik Hani.
Farhan menghampiri Hani, dan menyentuh kepalanya, demam Hani sangat tinggi, tangannya pun terasa sangat dingin. Tak lama kemudian Donny datang, bersama Farhan ia membantunya memakaikan hijab di kepala Hani. Keduanya kemudian bergegas membawa Hani segera ke rumah sakit terdekat.
Dari hasil pemeriksaan dokter, Hani mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan cuaca dingin di Amerika. Itulah sebabnya demamnya tinggi dan sampai tidak sadarkan diri.
Farhan merasa lega begitu melihat Hani sudah sadarkan diri. Meski sudah sadar, namun Hani masih terlihat lemas dan pucat. Tapi ia selalu berkata bahwa keadaannya sudah lebih membaik. Hani bisa membaca bagaimana Farhan begitu khawatir pada kondisinya.
Gita datang ke rumah sakit setelah ditelepon oleh Farhan. Ia datang bersama seorang laki-laki yang tak dikenalnya, laki-laki itu seorang dokter dengan setelan jas putih dan stetoskop yang menggantung di leher.
Begitu keduanya datang, Hani memicingkan mata sambil memutar memori di kepalanya, sebelum Hani membuka mulut, dokter itu lebih dulu menyapanya dengan senyuman dan mengabaikan Farhan.
"Han!"
"Reza," balas Hani sama senangnya.
Keduanya pun menjadi tontonan, apalagi Farhan yang begitu penasaran siapa sosok lelaki bernama Reza ini, mengapa begitu akrab dengan istrinya.
"Bagaimana keadaan kamu?"
"Alhamdulillah sudah baikan," jawab Hani.
"Kak Gita ketemu Reza di mana?" tanya Hani antusias.
"Di lobi tadi, ternyata dia kerja di sini," jawab Gita.
"Wah Reza, kamu sudah sukses jadi dokter di Amerika. Padahal dulu waktu sekolah, aku sangat ingat curhatan kamu yang sangat ingin jadi arsitek malah disuruh jadi dokter,"
Reza sumringah, "ya aku tidak menyesal Han, dengan pilihan orang tuaku. Meski awalnya aku tidak mau dikirim ke Amerika untuk jadi dokter, tapi cuma ini caranya aku bisa bahagiakan mereka,"
"Oh iya Za, kenalkan ini suami aku, Farhan," Hani menunjuk ke arah suaminya yang tampak diam seperti menyembunyikan sesuatu.
"Hai, saya Reza," ujarnya langsung mengulurkan tangan pada suami Hani.
"Farhan," jawabnya singkat.
"Han, kamu belum makan dari pagi, aku sudah baikan. Lebih baik sekarang kamu makan dulu sama Donny," sahut Hani begitu menyadari kalau suaminya belum makan.
"Oke," jawab Farhan dengan acuh.
"Aku ikut dengan kalian, aku juga belum sempat sarapan tadi," sahut Gita tiba-tiba.
"Yang jaga Hani di sini siapa?" tanya Farhan.
"Biar aku. Aku akan jaga Hani di sini sampai kalian selesai makan," jawab Reza langsung.
Farhan tak menanggapi, ia segera pergi dengan kursi rodanya, Donny segera menyusul bersama Gita.
Gita bisa membaca perubahan suasana hati Farhan karena Reza. Mereka makan di kantin rumah sakit. Donny maupun Gita bisa melihat Farhan yang berbeda dan tampak tidak menikmati menu makanannya. Donny tak tahu harus berkata apa, begitu juga Gita. Suasana terasa canggung bagi keduanya, menghadapi Farhan yang kehilangan mood karena Reza dan Hani.
"Gita, jelaskan sama aku, Reza itu siapanya Hani?" tanya Farhan tiba-tiba. Sejak tadi ia menimbang-nimbang dalam pikirannya ingin menanyakan hal itu apa tidak.
"Oh, mereka sudah kenal sejak SMP. Dan sekelas waktu SMA," jelas Gita sambil menyuapkan pelan makanan ke mulutnya.
"Apa mereka sangat dekat sebagai teman?"
"Iya sepertinya begitu, dulu juga mereka sering jalan bersama," jelas Gita.
"Apa mereka punya hubungan yang lebih dari itu?" Farhan semakin penasaran, ia tahu bertanya begini bukanlah gayanya, tapi ia sangat ingin tahu dari Gita bagaimana masa lalu Hani dan Reza.
"Um, aku kurang tahu Farhan. Tapi Hani pernah cerita, selepas SMA Reza sempat mengutarakan isi hatinya dan sudah pernah mengenalkan Hani ke orang tuanya, tapi yang aku dengar orang tua Reza tidak setuju dan tidak lama kemudian mengirimnya sekolah kedokteran di Amerika," ungkap Gita sesuai yang diingatnya dari cerita Hani.
Farhan terdiam, ia merasa tidak nyaman mendengar cerita itu.
"Tapi kamu tidak perlu khawatir, Hani dan Reza tidak ada hubungan apa-apa selain sebagai teman sekolah," sahut Gita cepat-cepat saat melihat mood Farhan semakin buruk.
Farhan tidak menanggapi. Ia justru bertanya sendiri dalam hatinya, kenapa perasaannya bisa seburuk ini sejak Reza datang, apa dia cemburu? Bila memang cemburu, apa saat ini perasaannya kepada Hani sudah berbeda?
***
Hani masih berdua dengan Reza di kamar perawatannya.
"Han, bagaimana keadaan kamu selama ini?"
"Aku baik-baik saja Za,"
"Bukan itu, tapi pernikahan kamu dengan laki-laki itu,"
Raut Hani berubah, "maksud kamu apa?"
"Gita sudah cerita tadi, kalian menikah karena dijodohkan, dan Gita merasa bersalah sama kamu, karena dia kamu terpaksa menikah dengannya,"
Hani merasa Reza terlalu jauh ikut campur.
"Kami memang dijodohkan, apa yang salah dengan itu?" Hani seakan ingin marah, tapi ia berusaha menahan diri.
"Kamu mengorbankan perasaan kamu,"
Hani diam. Tanpa keduanya sadari, Farhan, Donny dan Gita sudah berdiri sejak tadi di luar kamar perawatan Hani, Donny yang sudah membuka pintu sedikit, diminta oleh Farhan untuk tak meneruskannya. Dan ketiganya mendengar dengan jelas semua pembicaraan Reza dan Hani.
Farhan teringat saat malam pertama mereka, ia mendapati Hani menangis setelah ia selesai berganti pakaian. Reza benar, Hani sudah mengorbankan perasaannya untuk menikah dengannya karena keinginan orang tua mereka.
"Reza, tolong kamu jangan ikut campur. Aku sudah menikah, meski kami dijodohkan, tapi Farhan adalah suamiku sekarang," pinta Hani.
"Hani, apa kamu sudah lupa bagaimana kita dulu sebelum kamu kenal dengan Farhan?"
"Za, kita cuma teman," jelas Hani.
"Lebih dari itu Han," bantah Reza.
"Itu cuma masa lalu Za, sekarang aku sudah menikah. Tolong Za, jangan bahas hal ini, itu sudah tidak pantas sekarang karena aku sudah punya suami,"
"Suami kamu tidak cinta sama kamu," Reza masih membantah.
Hani tidak bisa berkata apa-apa, ia memang tidak tahu bagaimana jelasnya perasaan Farhan kepadanya, karena sampai sekarang pun Farhan memilih untuk tidak tidur sekamar dengannya meski statusnya sebagai istri yang sah.
"Jujur Han, waktu dengar kabar pernikahan kamu di grup sekolah, aku sangat shock. Ingin rasanya aku balik ke Indonesia dan datang melamar kamu cepat-cepat, aku sempat mengikhlaskan semua yang terjadi, tapi saat dengar semua cerita dari Gita bagaimana pernikahan kamu sebenarnya dengan laki-laki itu...,"
"Cukup Za, kamu sudah terlalu jauh ikut campur!" Potong Hani yang sedikit emosi.
Di luar kamar, pelan-pelan Farhan meraih gagang pintu dan menutupnya rapat. Sehingga ketiganya tidak bisa mendengar lagi apa yang dibicarakan Hani dan Reza.
"Donny, ayo kita pulang," ajak Farhan yang moodnya benar-benar hancur.
"Bagaimana dengan Hani? Dokter bilang sore ini kalau tidak ada keluhan apa-apa dia sudah bisa pulang ke rumah," jelas Donny.
"Seandainya aku bisa pulang sendiri, tentu aku akan minta kamu yang temani dia di sini dan antar pulang ke rumah," ada nada kesal dari gaya bicara Farhan.
Donny hanya mengangguk, meski kekar, tapi ia juga merasa seram melihat perubahan suasana hati Farhan.
"Gita, kamu bisa kan temani Hani dan antar dia pulang?"
"Oh, tentu," jawab Gita.
Farhan segera pergi tanpa pamit kepada Gita. Donny menyusulnya.
"Aku minta maaf Han, maaf kalau aku sudah lancang," sahut Reza kemudian. Ia makin bersalah saat melihat setitik air mata jatuh membasahi pipi Hani yang pucat.
Hani menghapus titik air matanya dengan punggung tangan. Hani menangis karena ia tak tahu bagaimana perasaan Farhan kepadanya, Farhan tak pernah berkata apa-apa soal perasaannya.
Gita tiba-tiba membuka pintu dan masuk.
"Farhan dan Donny ke mana kak?" tanya Hani.
"Um, Farhan ada urusan di kampus, jadi dia pulang duluan. Dia minta aku yang temani kamu di sini dan antar pulang ke rumah nanti sore," jelas Gita yang berbohong demi menjaga perasaan adiknya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Eti Guslidar
fathan dan hani hrs rerbuka dong.
2020-07-09
1