Farhan bisa mencium dengan jelas dari kamarnya aroma masakan dari dapur. Saat ke dapur ia melihat Hani sedang meletakkan sepiring omelet telur di atas meja makan.
"Hai, selamat pagi," sapa Farhan dengan lembut.
"Ha, hai," balas Hani yang sedikit gugup. Baru kali ini Farhan bersikap berbeda dari biasanya, dengan menyapa dan tersenyum manis. "Ayo sarapan dulu,"
Farhan mengangguk dan segera ke meja makan.
"Kamu mau tidak makan siang di luar sebentar denganku?" tanya Farhan ketika Hani sedang mengisi nasi dan lauk ke piringnya.
"Itu undangan buat aku?" senyum Hani mengembang.
"Sekalian kita keluar jalan-jalan mumpung ini hari libur dan aku tidak sibuk dengan pekerjaan karena dua minggu lagi kita akan ke Amerika,"
Setelah sarapan, Hani masuk ke kamar, membuka lemari memilih-milih baju dan jilbab yang akan dikenakannya sebentar.
***
Keduanya keluar bersama pak Cecep. Hani dan Farhan berjalan-jalan di pusat perbelanjaan, mereka naik lift setiap kali akan pindah lantai. Hani menemani Farhan mencari beberapa barang dan pakaian musim dingin yang akan digunakan nanti saat di Amerika. Setelah semua kebutuhannya terpenuhi, Farhan mengajak Hani masuk ke toko pakaian wanita, awalnya Hani menolak, namun Farhan memaksa.
Farhan memilih menunggu saja, dan membiarkan Hani memilih beberapa potong pakaian ataupun hijab. Saat menunggu Hani yang sedang sibuk memilih-milih, tak jauh darinya Farhan melihat beberapa koleksi hijab segitiga yang digantung. Ia memilih motif yang sederhana dan berwarna lembut, seperti warna pastel.
"Han, aku sudah dapat, aku mau ini saja," ujar Hani yang membawa dua buah baju model tunik.
"Kamu suka ini?" Farhan menyodorkan hijab segitiga pilihannya kepada Hani.
"Kamu pilih ini buat aku?" tanya Hani senang.
Farhan mengangguk, "seperti kamu, sederhana," ungkapnya kenapa ia memilih motif dan warna hijab itu.
Farhan kemudian membayarkan semua pakaian yang dipilih Hani.
Saat mereka keluar dari toko pakaian, Hani berpapasan dengan teman SMAnya dulu.
"Han!" Panggilnya.
Hani dan Farhan sama-sama menoleh sebab nama pendek mereka sama-sama Han.
"Hai, Retno," keduanya berpelukan sesaat dan saling menyapa.
"Apa kabar kamu, pengantin baru?" goda Retno kepada Hani dengan kata Pengantin Baru.
"Alhamdulillah sehat. Kamu sendiri bagaimana?"
"Alhamdulillah Han, aku sedang hamil empat bulan," jawab Retno sambil mengelus perutnya yang sudah tampak mulai membuncit.
"Ma Syaa Allah. Selamat ya Retno," Hani turut bahagia.
"Maaf ya Han, kemarin aku tidak sempat hadir di pernikahan kamu, waktu itu aku lagi ngidam berat. Sedikit-sedikit mual dan muntah,"
"Tidak apa-apa. Sehat selalu ya bayi kamu,"
"Aamiin,"
"Ibunya juga," tambah Hani dengan senyum sumringah. "Oh iya, kenalkan ini Farhan suami aku," Hani menunjuk ke arah Farhan di sampingnya. Farhan tersenyum sebentar kepada teman istrinya.
"Su, suami kamu?" tanya Retno tak percaya. Sambil memandangi Farhan dari ujung kaki hingga ujung kepala. Retno cukup mengetahui bahwa suami temannya seorang penyandang difabel.
Tatapan Retno yang aneh kepada Farhan, membuat Hani menjadi risih. "Retno, kita duluan ya," segera Hani mengajak Farhan pergi.
Hani dan Farhan sudah memesan makanan di sebuah resto. Mereka sedang menunggu pesanan. Farhan mengamati istrinya tampak bad mood.
"Kamu kenapa Han?"
Hani menggeleng pelan.
"Karena teman kamu tadi?" tanya Farhan memastikan.
"Aku tidak suka cara dia memandang kamu,"
Farhan bisa melihat bagaimana kesalnya Hani gara-gara temannya.
"Memang cara dia memandangku kenapa?"
"Aku sebal Han, dia seperti tidak percaya kamu suami aku. Memang apa yang salah?"
"Maklumi saja. Aku sudah biasa ditatap seperti itu sama-sama orang-orang yang baru melihatku,"
Hani menatap tak tega kepada Farhan.
"Mungkin teman kamu berpikir, kemarin kamu menikah dengan laki-laki yang normal yang bisa berjalan dan berdiri lebih tinggi darimu,"
"Farhan,"
"Santai saja. Aku tidak apa-apa," meski begitu, justru Hani yang merasa terluka dengan ucapan Farhan barusan.
Tak lama kemudian pesanan makanan mereka datang. Hani dan Farhan menikmati makan siang pertama mereka di luar rumah. Tak lupa mereka juga membungkuskan makanan untuk pak Cecep dan juga memberinya bingkisan beberapa buah kemeja.
Setelah berbelanja dan makan siang, hari belum terlalu sore, Farhan mengajak Hani ke suatu tempat, ke sebuah pantai.
Hijab Hani diterpa angin begitu mereka sampai dan turun dari mobil. Hani melepas sepatunya dan menyimpannya tak jauh dari Farhan, kemudian berlari seperti anak kecil ke bibir pantai. Ombak yang pelan menyapu kakinya. Tak jauh darinya Farhan tersenyum memandangnya.
Hani kemudian berlari menghampiri Farhan, ia segera melepaskan sepatu yang dikenakan suaminya dan meletakkannya di samping sepatunya.
"Kamu mau apa Han?" tanya Farhan sedikit bingung, tapi tak menolak saat Hani memaksa melepas sepatunya.
"Kamu juga harus rasakan airnya," Hani ke belakang kursi rodanya dan mendorongnya kuat mendekati bibir pantai. Hani ke depan Farhan lalu mengulurkan kedua tangannya dengan antusias. "Ayo Farhan, aku bantu kamu berdiri, biar kamu bisa rasakan ombak ini di kaki kamu,"
Tanpa ragu, Farhan menurut saja apa yang diinginkan Hani. Ia meraih kedua tangan Hani, yang memegang kedua tangannya dengan erat. Kemudian bangkit berdiri dari kursi rodanya. Meski tak merasakan dinginnya air laut di kedua kakinya, namun ombak yang tidak terlalu besar yang menerpa kedua kakinya cukup untuk menggerak-gerakkan kakinya yang mati rasa.
Hani tersenyum bahagia melihat Farhan menatapnya nyaman. "Farhan, kamu tidak mau coba untuk jalan?" Hani masih antusias.
Farhan diam dan menatap ke bawah pada kedua kakinya yang basah tersapu ombak. Terakhir ia mencoba malam itu, langkah satu centi saja sangat susah untuk bergerak.
"Tidak ada salahnya dicoba, ada aku yang pegang kamu," Hani masih menunggu dengan sabar.
Farhan menarik nafas pelan, bibirnya bergumam pelan melafadzkan bismillah sebelum memulai.
"Ayo Han, kamu pasti bisa," Hani semakin antusias.
Farhan terus mencoba, namun ia tetap belum bisa mengangkat salah satu kakinya untuk bergeser.
"Aku tidak bisa Han, aku merasa aku tidak punya kaki," ucapnya biasa saja.
"Dicoba lagi Farhan. Aku yakin, In Syaa Allah suatu saat nanti kaki kamu akan sembuh," Hani berkata penuh keyakinan dan di setiap doanya sehabis sholat ia selalu mendoakan kesembuhan bagi suaminya.
Dan lagi, Farhan menatap Hani dengan sorot yang mampu membuat jantung Hani berdesir keras bagai ombak.
"Kamu sangat ingin melihat aku bisa berjalan lagi?" tanya Farhan.
Hani mengangguk.
"Tapi bagaimana kalau selamanya kedua kakiku ini tidak bisa lagi sembuh?"
"In Syaa Allah kamu akan sembuh, dokter sudah bilang begitu dari awal. Kita hanya perlu terus berikhtiar dan berdoa,"
Kata-kata Hani menenangkannya. Farhan kembali mencoba menggerakkan salah satu kakinya. Ombak yang datang justru keras, membuat Farhan nyaris kehilangan keseimbangan dan Hani memeluknya erat agar tak jatuh. Dalam kondisi itu, untuk pertama kalinya Hani dan Farhan berpandangan dari jarak yang sangat dekat. Farhan bisa melihat jelas wajahnya melalui beningnya kedua bola mata Hani dan juga desahan nafas Hani yang lembut namun sesekali terdengar berat.
Keduanya merasakan sesuatu yang berbeda di dalam hati. Farhan sempat berpikir ingin rasanya ia mencium bibir Hani. Namun Hani buru-buru membantunya berdiri dan membantunya duduk kembali di atas kursi roda. Hani mendorong kursi roda suaminya menjauh dari bibir pantai. Hani duduk melantai di samping kursi roda Farhan dengan memanjangkan kedua kakinya. Farhan meminta tolong kepadanya juga untuk membantunya turun dari kursi roda dan duduk di atas pasir.
Hani segera membantunya turun, dan mereka duduk berdampingan di atas pasir. Keduanya menikmati angin laut yang menerpa wajah. Farhan bisa melihat jelas bagaimana bahagianya Hani saat ini.
"Han, terima kasih untuk hari ini," ucap Hani yang memandang lurus ke depan ke arah air laut.
"Untuk apa?"
"Kamu mengajakku ke tempat yang akan aku ingat selamanya. Menit, jam, tanggal dan hari yang akan selalu kuingat dan menjadi salah satu kenangan yang indah,"
"Kamu sangat suka main ke pantai?"
"Tidak juga. Tapi sejak hari ini aku jadi suka ke pantai, apalagi kalau ditemani sama kamu," ungkap Hani tanpa malu-malu, meski beberapa detik kemudian ia menyadari bahwa apa yang dikatakannya tadi mengungkapkan perasaannya secara tidak langsung.
"Kalau begitu, di akhir pekan kita akan sering-sering main ke pantai,"
Hani mengangguk senang seperti anak kecil yang baru diberi permen yang banyak. Ia merasa seperti sedang bulan madu.
"Terima kasih Hani, kamu sudah jadi istri yang baik," ucap Farhan yang tulus.
Hani tak mampu berkata-kata, ucapan Farhan tadi seakan mampu menerbangkan hatinya.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Lovely
keren... hanya saja agak oleng dengan panggilan yang sama-sama Han. Siasati tor, biar ada bedanya😘😘😘
2021-11-30
1
Fitriani
suka dgn jln ceritanya tdk bertele2
2021-04-26
1
safa safa
komen pertama.. suka ceritanya ☺
2020-07-22
1