Pernikahan Hani dan Farhan disepakati akan digelar cepat sebelum keberangkatan Gita ataupun Farhan ke Amerika untuk menempuh studi S2 di sana. Gita cukup senang saat tahu kalau Farhan juga akan melanjutkan studi di negeri Paman Sam maka otomatis Hani akan ikut ke Amerika juga sebagai istrinya.
Hani baru saja selesai dirias dengan make up yang tampak natural dan hijab dalam balutan baju adat Sunda. Hani tampak gugup, sesekali ia meremas pelan jemarinya. Sang ibu melihat gelagatnya yang tak biasa saat sedang melintas depan ruang rias. Ia masuk dan menghampiri putri bungsunya itu duduk di sampingnya dan mengelus pundaknya.
"Kenapa nak?" tanya sang ibu dengan lembut.
"Bu, aku. Aku...," Hani terbata, seakan tak sanggup berkata-kata bahwa sebentar lagi ia akan benar-benar menjadi istri dari Farhan lelaki yang baru dikenalnya.
"Nak, sebenarnya kamu bisa mengambil keputusan kalau ingin menolak. Keluarga Rudiyanto tentu tidak akan tersinggung,"
"Bu, Hani tidak menolak saat itu karena Hani tidak mau menyakiti perasaan Farhan bu. Hani tidak tahu bu, Hani tidak bisa bilang tidak waktu itu," Hani semakin gusar.
"Sudah nak! Tenangkan pikiranmu. Terlambat untuk menyesal sekarang, beberapa menit lagi kamu akan menjadi seorang istri, nak Farhan dan keluarganya sudah datang. Mereka sudah menunggumu,"
"Ibu serius?" Hani semakin gugup.
"Bismillah nak. In Syaa Allah ini yang terbaik untuk kamu dan juga nak Farhan. Ingat pesan ibu, kamu harus jadi istri yang penurut dan berbakti sama suamimu,"
"In Syaa Allah bu," pipi Hani memerah meski tersamarkan dibalik riasannya. Ia berusaha sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak jatuh dan merusak riasannya di hari pernikahannya. Hari yang sakral baginya. Saat berjalan didampingi ibunya menuju ke tempat ijab qobul, dalam hati Hani berdoa berharap agar pernikahannya berkah dan hanya terjadi sekali seumur hidupnya.
Pelan-pelan Hani duduk di samping Farhan yang sudah rapi dengan setelan baju adat Sundanya. Namun Farhan sedikit pun tak melirik Hani yang pagi itu tampak berbeda karena riasannya. Prosesi ijab qobul pun dimulai. Tanpa hambatan, Farhan dengan lancar dan fasih mengucapkan ijab qobul kepada wali nikah Hani yaitu ayahnya sendiri.
"Saya terima nikahnya Hanifah Ayu Lestari binti Amran Abdullah dengan mas kawin satu set perhiasan emas dan seperangkat alat sholat dibayar tunai,"
"Sah!" Teriak saksi dan beberapa orang keluarga dari kedua belah pihak.
Semuanya mengucapkan alhamdulilah serta melangitkan doa-doa yang indah agar pernikahan keduanya sakinah, mawaddah dan warahmah. Setelah itu Hani mencium tangan Farhan untuk pertama kalinya sebagai seorang istri.
***
Di dalam kamar sebuah hotel bintang lima tempat digelarnya ijab qobul dan resepsi pernikahan sehari semalam, Hani tampak kelelahan duduk di atas ranjang pengantin yang ditaburi kelopak bunga mawar merah serta wawangian yang menenangkan. Hani memandangi seluruh sudut kamar itu, pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka dan melihat Farhan keluar dengan kursi rodanya, suaminya itu sudah berganti pakaian dengan setelan piyama.
Hani bertanya-tanya bagaimana bisa Farhan mengganti sendiri pakaiannya di kamar mandi, mengingat kondisinya yang terbatas. Mungkin ia sudah terbiasa melakukannya sendiri tanpa harus meminta bantuan orang lain, pikir Hani.
Hani betul-betul tersadarkan, sekejap mata ia sudah menjadi istri Farhan. Air matanya menetes pelan dan dilihat langsung oleh suaminya.
"Kenapa? Kamu menyesal nikah sama aku?" tanya Farhan yang menuju ke arah tempat tidur.
Hani tak menjawab ia diam sambil membelakangi Farhan.
"Atau kamu malu, melihat ekspresi teman-teman kamu yang menatap aku duduk di kursi ini dan kamu berdiri tinggi saat salaman dengan tamu tadi?"
Hani bangkit dan berdiri berhadapan Farhan, "saya mau ganti baju dulu," gumamnya sambil menyeka titik air matanya dan duduk di depan cermin lalu melepaskan satu per satu aksesoris yang melekat di kepalanya.
Dari cermin, Hani melihat bagaimana mudahnya Farhan memindahkan dirinya sendiri dari kursi roda naik ke atas tempat tidur. Jika Farhan butuh bantuan, tentu Hani tidak akan keberatan untuk membantu. Tapi Farhan terlihat santai saja, atau dia gengsi meminta tolong?
Lima tahun yang lalu Farhan kecelakaan saat mengendarai sendiri mobilnya sepulang dari wisuda S1. Saat sadar dari koma selama beberapa hari, ia harus menerima kenyataan bahwa tubuhnya mulai dari pinggang hingga kedua kakinya mengalami kelumpuhan dan mati rasa. Ia sempat drop selama setahun, tak mau keluar kamar dan selalu marah-marah tidak jelas.
Pada tahun kedua, ia mulai tidak rutin menjalani fisioterapi dengan alasan sibuk menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan sebagai manajer di perusahaan papanya. Farhan tak bisa secepatnya melepaskan dirinya bergantung dari kursi roda dalam aktifitasnya sehari-hari. Ia lebih memilih berkerja dan terus bekerja, hanya itu yang mampu mengalihkan pikirannya dari perasaan minder karena kondisinya yang kini difabel.
Hingga saat ini Farhan sudah tidak pernah mau menjalani fisioterapi lagi yang baginya tidak membuahkan hasil apa-apa. Farhan merasa pelan-pelan ia sudah mulai ikhlas dengan kondisinya, entah sementara atau mungkin selamanya ia takkan bisa berlari dan berjalan dengan kedua kakinya.
Cerita itu yang didengar Hani dari mama Farhan beberapa hari sebelum pernikahan mereka digelar.
"Aku lelah, aku akan tidur duluan," suara Farhan tiba-tiba membuyarkan Hani yang tenggelam dalam pikirannya menyelami kondisi Farhan. Sebelum meletakkan kepalanya di bantal, Farhan berkata "kalau keberatan, kamu boleh tidur di sofa, atau di mana saja," katanya tak peduli.
Hani menoleh menatap Farhan, ia tak menyangka suaminya akan berkata begitu di malam pertama mereka.
"Kamu tidak mau tidur di sofa? Aku tidak bisa tidur sofa, aku difabel dan kamu harus mengalah," Farhan kemudian meletakkan kepalanya di atas bantal lalu memejamkan mata.
"Sebagai istrimu, tentu aku akan tidur di tempat tidur yang sama denganmu," ujar Hani yang juga memilih acuh kemudian melanjutkan aktifitasnya melepaskan aksesoris dan menghapus riasan di wajahnya. Farhan terlihat tidak peduli dan melanjutkan tidurnya.
Hani segera masuk ke dalam kamar mandi sambil membawa sepasang piyama yang sudah disediakan. Di dalam kamar mandi ia melihat pakaian adat Sunda yang tadi dikenakan Farhan berserakan di lantai. Hani mengambilnya satu per satu dan meletakkannya di atas wastafel.
Hani memandangi wajahnya di cermin kemudian pelan-pelan melepaskan hijabnya, sambil teringat pesan ibunya bahwa ia harus jadi istri yang penurut dan berbakti kepada suaminya, meski pernikahan ini tidak didasari cinta tapi keinginan tulus kedua orang tua mereka.
Malam itu Hani berjanji akan menjadi istri yang baik bagi Farhan, merawat dan melayaninya dengan sepenuh hati. Usai berganti baju menggunakan piyama, Hani keluar dari kamar mandi dalam keadaan tanpa mengenakan hijab, rambut hitam panjangnya pun sudah ia sisir rapi dan tergerai indah. Tapi Farhan sudah tertidur pulas miring ke kiri ke arah ujung tempat tidur. Hani sempat kecewa, suaminya tak melihat sosoknya untuk pertama kalinya tanpa menggunakan hijab.
Hani meletakkan dengan rapi lipatan baju adat yang tadi dikenakannya dan juga yang dikenakan Farhan di atas meja rias. Pelan-pelan ia melangkah naik ke tempat tidur takut mengganggu Farhan yang tertidur pulas. Hani kemudian merebahkan tubuhnya dan menarik pelan ujung selimut yang juga digunakan Farhan menutupi setengah tubuhnya.
Hani sempat memandang lama ke arah punggung Farhan yang berbaring miring membelakanginya. Tapi kemudian Hani memilih untuk tidur miring ke arah kanan, menghadap ke ujung tempat tidur dan mulai memejamkan mata.
Farhan terjaga pada jam 3 pagi. Ia tidur telentang, kemudian melihat Hani yang tidur memunggunginya dalam keadaan tanpa mengenakan hijab. Farhan terkejut melihat Hani yang membalik badan dan tidur dalam posisi telentang juga. Ia kemudian memejamkan matanya dan pura-pura tidur.
Hani membuka mata dan melirik jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 03.15 pagi, ia segera bangun, meregangkan badan sebentar, kemudian melirik ke arah Farhan yang terlihat masih tertidur.
Hani turun dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Diam-diam Farhan mengamati dari balik akting tidurnya. Ia melihat istrinya setelah dari kamar mandi, mengambil mukena dan sajadah lalu melaksanakan shalat tahajud yang ditutup dengan shalat witir.
Tiba-tiba Farhan merasa malu, selama hidupnya apa ia juga rutin melaksanakan shalat malam?
Malam itu berlalu tanpa ada apa-apa. Farhan memang sejak awal sudah memutuskan tidak akan menyentuh Hani sedikit pun meski gadis itu sudah menjadi istrinya, dan Hani pun tidak akan meminta duluan apa yang semestinya dilakukan oleh suami istri bila di dalam kamar.
Usai sholat, Hani berdoa meminta diberikan yang terbaik bagi pernikahannya dengan Farhan, ia memohon kepada Allah agar menumbuhkan benih-benih cinta di antara mereka sehingga mereka bisa saling menyayangi dan mengasihi layaknya suami-istri pada umumnya.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Lovely
suka suka🥰🥰🥰Suka sangat😘😘😘
2021-11-30
1
🎲mier ✠ⱽᶜʳ💖
good job Hani ....setelah hujan ada pelangi bersabarlah 😇😇😇
2021-08-06
1
Fitriani
insyaallah doanya dijabah allah ya thor 😊😊
2021-04-26
2