Hani menatap dari balik kaca mobil pada sebuah rumah yang berdesain menarik dan tampak luas dengan halaman yang hijau dan rindang.
"Ini rumah kamu sendiri?" tanya Hani sambil melirik Farhan di sampingnya.
"Iya," jawab Farhan singkat.
Sopir pribadi Farhan membukakan pintu dan sudah menyiapkan kursi roda.
"Sini biar kubantu," Hani menawari saat melihat Farhan berusaha sendiri memindahkan tubuhnya ke atas kursi rodanya.
"Tidak perlu. Ada pak Cecep yang akan membantu. Kamu turun saja sendiri, ambil kopermu di bagasi dan bawa masuk ke rumah," Farhan tampak tidak peduli.
Dengan sedikit bantuan pak Cecep, Farhan sudah duduk di atas kursi rodanya dan segera membawa dirinya masuk ke dalam rumah melewati jalur khusus kursi roda.
Hani sempat kecewa dengan perlakuan dingin suaminya yang tak mau menerima bantuannya sama sekali. Namun Hani berusaha untuk sabar, ia berharap suatu hari Farhan akan memperlakukannya selayaknya seorang istri.
Hani turun dari mobil dan menatap Farhan dan kursi rodanya menghilang dari balik pintu rumah yang baru saja dibukakan oleh pembantu rumah tangga. Hani ke bagian bagasi mobil yang sengaja dibuka dan belum ditutup oleh pak Cecep. Ia mengangkat turun satu per satu dua buah kopernya.
Dengan sigap pak Cecep datang menghampiri dan mengangkat sebuah koper milik Hani.
"Terima kasih pak Cecep," ujar Hani dengan ramah.
"Iya neng. Neng Hani, jangan sedih ya. Tuan Farhan itu aslinya baik banget, tidak jahat kok," pak Cecep berkata dengan logat Sundanya yang kental, seakan tahu bagaimana perasaan Hani karena penolakan langsung dari Farhan saat ia menawarkan bantuan.
"Iya pak, masa saya menuduh suami saya sendiri orang yang jahat,"
"Iya neng. Mari masuk kalau begitu neng," ajak pak Cecep.
Hani kemudian berjalan sambil menarik sebuah kopernya mengikuti pak Cecep yang mengangkut koper lain miliknya masuk ke dalam rumahnya dengan Farhan. Hani bertemu Farhan di ruang tamu yang tampaknya sudah menunggunya sejak tadi.
"Pak Cecep tolong bawa semua koper Hani ke kamarnya," Farhan berpesan sambil melirik Hani tanpa senyuman.
Pak Cecep manggut dan mengambil alih koper Hani yang satu lagi.
"Dan tolong pak jangan berkeliaran di dalam rumah kecuali di dapur bersama bik Lastri," Farhan menambahkan sebelum pak Cecep masuk ke dalam dan menghilang dari ruang tamu.
"Silahkan duduk!" Ucap Farhan saat melihat Hani yang berdiri diam sambil mengamati setiap sudut ruang tamu rumahnya.
Hani duduk di sofa berhadapan dengan Farhan. "Kamar kamu dari sini lurus saja kemudian belok kanan. Aku sudah siapkan semua perlengkapan dalam kamar kamu...,"
"Tunggu! Maksud kamu apa? Kamar kamu?" tanya Hani bingung.
"Apa ada yang kurang jelas? Ya memang kamar buat kamu kan. Apa kamu berpikir di rumah ini kita akan tidur sekamar?" Farhan ingin tertawa keras, namun ditahannya.
"Kita kan suami istri Han," Hani mengingatkan.
"Ya, memang benar. Tapi ingat, kita menikah karena dijodohkan, bukan karena keinginan kita masing-masing," bagi Farhan itu adalah alasan yang kuat untuk tidak menganggap pernikahan ini, meski di mata orang-orang pernikahan mereka sah secara agama maupun hukum negara.
"Kenapa waktu itu kamu bilang kamu setuju untuk dijodohkan sama aku?" tanya Hani tiba-tiba.
"Ini keinginan orang tuaku yang mencoba menjodohkan aku dengan Gita tapi kemudian jadinya malah sama kamu. Kamu tahu aku cacat, orang tuaku takut sebagai anak paling kecil dalam keluarga aku susah mendapatkan jodoh karena kondisiku yang seperti ini, apalagi mereka khawatir dan tidak akan membiarkan aku lanjut kuliah ke Harvard kalau aku tinggal di sana hanya bersama sopir dan pembantu, mereka akan tenang kalau selama di sana aku tinggal bersama seorang istri yang bisa mengurus dan merawatku. Sebelum kamu dan Gita, sudah ada beberapa wanita yang coba dikenalkan mama dan papa padaku, tapi aku menolak," ujar Farhan panjang lebar.
"Kenapa?" tanya Hani penasaran.
"Mereka semua sama saja. Mereka tidak tulus kepadaku, mereka mau karena melihat kekayaan kedua orang tuaku dan juga jabatanku saat ini di perusahaan. Tidak ada yang benar tulus di dunia ini selain kedua orang tuaku,"
Hani diam, seperti mencerna kalimat terakhir Farhan barusan.
"Aku lihat kamu beda dengan mereka. Kamu tidak memandang siapa aku, siapa orang tuaku, kamu setuju karena kamu hanya menuruti mau orang tuamu saja dan juga mau orang tuaku. Sejak awal aku sudah bisa menduga Gita pasti akan menolakku. Aku tahu alasan apa kenapa dia menolakku, karena aku duduk di atas kursi ini,"
Hani masih diam, dugaan Farhan terhadap kakaknya Gita memang benar. Hani tak bisa membelanya.
"Sekarang aku ingin tahu apa kamu punya alasan lain kenapa kamu mau menikah sama aku? Aku bisa merasakan orang tuamu sendiri sebenarnya tidak setuju aku menikahi Gita ataupun kamu karena kondisiku ini, tapi demi menghormati papaku sebagai sahabat lamanya, mereka mengiyakan saja, dan kamu menerimanya saja,"
"Kalau kak Gita menolakmu karena kamu duduk di kursi itu, aku justru menerimamu karena kamu duduk di kursi itu,"
Kening Farhan berkerut, "maksud kamu?"
"Aku tidak bisa menolak waktu itu, aku tidak mau perasaan kamu dan orang tuamu tersakiti,"
"Maksudnya, kamu kasihan dengan aku yang lumpuh?" Nada bicara Farhan sedikit menegang.
Hani menatapnya sabar.
"Aku tidak butuh belas kasihan kamu! Asal kamu tahu, hari itu aku berharap kamu menolak dijodohkan sama aku," ungkap Farhan yang sebenarnya.
"Farhan, maksud aku bukan begitu," Hani berusaha membantah. Memang bukan karena rasa belas kasihan, tapi Hani tak tahu bagaimana cara menjelaskannya.
"Lalu apa? Aku tanya sekarang, apa kamu cinta sama aku?"
Bibir Hani serasa tercekat untuk menjawab. Cinta? Apa ia betul mencintai Farhan?
"Tidak kan," Farhan membantah sendiri sebelum Hani menjawab, "Aku juga tidak cinta sama kamu. Di sini posisi kita sama, menikah karena terpaksa. Maka dari itu kita tidak perlu tidur sekamar, kamu tidak perlu repot-repot mengurus semua keperluan aku, masih ada Bik Lastri dan Pak Cecep yang akan membantu, dan juga kita tidak perlu mempertahankan pernikahan ini,"
"Maksud kamu?"
"Kita tidak perlu lama-lama dalam pernikahan ini. Tidak perlu menunggu setahun atau dua tahun, tiga bulan, atau enam bulan kita bisa memutuskan untuk bercerai," jawab Farhan dengan entengnya.
"Farhan, aku nikah sama kamu, bukan untuk main-main. Aku ikhlas menjalani semua ini karena keinginan orang tua kita," Hani bangkit berdiri, Farhan sempat melihat kedua mata istrinya berkaca.
Sebelum tangisnya semakin pecah, Hani berlari masuk ke dalam dan menuju ke kamarnya sesuai dengan petunjuk Farhan tadi.
Hani menumpahkan tangisnya begitu masuk ke dalam kamarnya sendiri. Bukan pernikahan seperti ini yang dia inginkan, walaupun dia dan Farhan tidak saling mencintai tapi mereka sudah menikah atas izin Allah, apakah tidak layak bila mereka menjalani pernikahan dan peran mereka sebagai pasangan suami istri sebagai mana mestinya?
Apa salahnya mencoba meski tidak saling mencintai, di luar sana tentu ada banyak suami istri yang juga menikah tanpa didasari cinta di awalnya.
Pertanyaan Farhan apakah ia mencintainya atau tidak terus terngiang di telinga. Hani belum menjawab ya atau tidak tapi Farhan dengan mudahnya mengakui kalau ia tidak mencintainya juga.
Hani menenangkan dirinya sambil mengucap istighfar dan menyeka pelan bulir air matanya yang jatuh di pipi. Ia bangkit ke arah dua buah kopernya yang tadi dibawakan Pak Cecep.
Ia membuka salah satu koper dan mengeluarkan sebuah bingkai foto 3R, foto pernikahannya dengan Farhan dalam balutan baju adat Sunda. Hani tersenyum memandangi foto itu.
"Aku tidak tahu Farhan, apa aku mencintaimu atau tidak. Tapi pernikahan ini tidak pernah membuatku merasa sedih ataupun menyesal. Aku tidak tahu, Allah punya rencana apa antara aku sama kamu," gumam Hani sambil menyentuh potret wajah Farhan dalam bingkai itu.
Hani bangkit berdiri dan menyimpan foto itu di atas sebuah meja kecil dekat lampu samping tempat tidurnya. Hani bertanya-tanya apakah Farhan juga menyimpan foto pernikahan mereka.
Terdengar adzan berkumandang, sudah masuk waktu dzuhur. Hani bergegas mengambil wudhu dan melaksanakan empat rakaat shalat dzuhur. Setelah itu ia akan memasukkan seluruh pakaiannya ke dalam lemari dan juga menata beberapa barang yang dibawanya.
***
Terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya dari luar. Hani menghentikan sejenak aktifitasnya mengeluarkan pakaian dari dalam koper dan menyusunnya rapi ke dalam lemari. Terlihat wajah bik Lastri begitu Hani membuka pintu.
"Makan siang dulu Bu Hani, ditunggu sama tuan di meja makan,"
Hani tidak menyadari kalau sudah masuk waktu makan siang, bila tidak lupa, tentu ia akan terjun ke dapur dan memasak menu makan siang.
"Iya bik, saya segera ke sana,"
Bi Lastri berlalu pergi dengan senyuman. Hani segera duduk di depan cermin, memperbaiki letak jilbabnya, menyeka ujung-ujung matanya yang mungkin saja kelihatan masih ada bekas air mata setelah ia menangis tadi. Tak lupa Hani mengambil parfum dan menyemprotnya sedikit ke bajunya.
Saat sampai di meja makan, Hani melihat Farhan tampak membelakangi meja makan dan sedang sibuk berbicara di ujung telpon. Hani kemudian duduk di kursi, dari yang didengarnya Farhan membicarakan soal pekerjaan di kantornya. Hani mengambil nasi dan meletakkannya di atas piring makan Farhan yang masih kosong. Saat itu Farhan sudah selesai menjawab telpon dan membalik badan dengan kursi rodanya.
Hani sempat terdiam saat tangannya mengisikan nasi ke piring Farhan. Farhan sejujurnya tidak suka tapi kemudian ia mengucapkan terima kasih dan mendekatkan kursi rodanya ke meja makan.
Suasana berubah canggung, Hani mengisi nasi di piringnya dan mengambil lauk pelan-pelan.
"Um, aku minta maaf," ucap Farhan kemudian.
"Minta maaf untuk apa?" tanya Hani sambil memegang sendok dan garpunya.
"Soal yang tadi. Apa aku terlalu keras sama kamu?"
"Tidak apa-apa," Hani tersenyum.
"Tapi apa yang kukatakan tadi sudah menjadi keputusanku. Semoga kamu bisa menjalani pernikahan ini selama enam bulan dan kita bisa mencari alasan yang tepat kenapa enam bulan kemudian kita harus bercerai,"
Hani terdiam. Lalu kemudian ia memandang suaminya dengan lembut.
"Kalau begitu selama enam bulan ini, izinkan aku menjalankan tugasku sebagai istri kamu sebagaimana mestinya,"
"Misalnya bagaimana?" Farhan kurang mengerti.
"Aku sepakat kalau selama enam bulan kita pisah kamar. Tentu kamu tahu bagaimana tugas seorang istri saat suaminya di rumah, memasak, mencuci, mengurusi segala keperluan kamu, dan masih banyak lagi,"
"Kamu tidak perlu repot, bik Lastri sudah melakukan itu sejak aku membangun rumah ini dan mempekerjakannya di sini," Farhan tampak mulai mengalir berbicara dengan Hani, ia sedang memegang sendok dan menyuapkan makanan ke dalam mulutnya lalu mengunyahnya pelan sambil mendengarkan Hani berbicara.
"Jadi, bik Lastri itu istri kamu?" tanya Hani dengan nada menggoda.
Farhan balas menatapnya dengan kening berkerut.
"Karena tugas dia selama ini seperti yang aku sebutkan tadi adalah seperti tugas seorang istri kepada suaminya," Hani berkata dengan nada yang polos dibuat-buat.
Farhan menarik nafas pelan, "baiklah terserah kamu saja. Lakukan apapun yang kamu mau di rumah ini, yang penting aku tidak pernah memaksa ataupun menuntut kamu untuk melakukan tugasmu sebagai seorang istri," Farhan menyerah dan kembali menyantap makan siangnya.
Hani tersenyum menang. Ia tidak peduli apa yang akan terjadi enam bulan kemudian, Farhan menuruti apa yang menjadi keinginannya sekarang cukup membuatnya bahagia.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Lovely
apik, aku suka susunan katanya. Aku sukak... cium otornya ahhh😘😘😘😘
2021-11-30
1
Fitriani
baru nikah sdh bhs cerai 😥😥
2021-04-26
1
Yadi Salman
novel nya hampir mirip dg judul menikahi suami yg cacat😇😇😇👍
2020-08-02
2