“Farhan,” panggil Hani dengan lembut.
Farhan menoleh dan melihat Hani berdiri di belakangnya ketika ia terdiam di dalam kamar, menatap ke luar melalui jendela. Hari sudah semakin sore, sebentar lagi maghrib.
Suaminya itu sedikit muram, ada apa? Apa memang karena Reza? Tapi dia bilang tidak apa-apa.
“Kenapa kamu melamun di situ?” tanya Hani yang melangkah mendekatinya.
“Siang tadi kamu dalam bahaya Han,” Farhan tampak muram, “dan aku hanya bisa diam,” Farhan tampak sedih.
Hani berlutut di samping Farhan, agar tinggi mereka sejajar, Hani menatap kedua mata yang tampak muram itu, berbeda di hari-hari sebelumnya, Hani selalu melihat binar semangat dan bahagia dari kedua mata suaminya. Hari ini tidak, Hani tentu menyesali bila muramnya Farhan disebabkan karena dirinya.
“Tapi aku tidak apa-apa kan?” Hani berusaha tersenyum dan tetap menatap Farhan.
Farhan menyentuh pipi Hani yang luka, yang sudah ditutup plester obat.
“Apa kamu tahu rasanya Han, duduk di kursi ini selama lima tahun?”
“Farhan,” ingin rasanya Hani menangis.
“Baru kali ini aku merasa tidak berguna dengan kondisiku ini,” baru kali ini Hani mendengar kalimat putus asa dari lelaki itu.
“Farhan, kamu bicara apa,” Hani tampak sedih namun juga merasa takut.
“Jika saja tidak ada Reza bersamamu, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi sama kamu Han,” Farhan menatapnya serius, namun ada luka di sana.
“Farhan, kamu tidak perlu sekhawatir itu, apapun musibah yang menimpa seseorang itu sudah kehendak Allah. Tapi tadi Allah masih melindungiku, aku baik-baik saja Han,” Hani berusaha menenangkan sambil meraih sebelah tangan suaminya.
Suasana berubah hening. Hani mengamati Farhan yang tenggelam dalam perasaannya sendiri, sambil menatap keluar melalui jendela.
“Han, lima tahun itu bukan waktu yang singkat untuk dijalani. Lima tahun aku berharap, lima tahun aku belajar untuk menerima kenyataan, lima tahun juga aku merasa ragu kalau suatu hari nanti kedua kakiku ini bisa sembuh,” Farhan memecah keheningan dengan kalimat yang begitu menyayat hati Hani, melihat suaminya tampak terpuruk dalam kesedihannya.
“Tapi sekarang sudah ada perkembangan Han, pelan-pelan kaki kamu sudah bisa bergerak. Kamu harus terus bersabar menjalani proses menuju kesembuhan itu, aku sangat yakin Han suatu hari kamu bisa berjalan lagi,” lagi dan lagi Hani selalu meyakinkannya, keyakinan Hani akan kesembuhannya tak pernah pudar.
Jika bukan karena dorongan dari Hani, Farhan tak pernah berpikir untuk kembali menjalani fisioterapi lagi. Tapi karena istrinya itulah, yang begitu semangat dan tidak pernah hilang keyakinan bahwa ia suatu saat bisa sembuh kembali dan menjadi normal kembali dengan kedua kaki yang bisa berjalan dan berlari. Semoga saja.
“Maafkan aku yang sudah bersikap angkuh sejak awal pernikahan kita. Seharusnya sejak awal aku bersyukur ada perempuan sebaik dirimu yang mau menikah dengan orang cacat sepertiku, dan begitu berbesar hati menerima kondisiku ini,”
“Farhan,” panggil Hani dengan lembut, kali ini Farhan melihat kedua mata istrinya berkaca, pipinya pun pelan-pelan semakin memerah, dan kedua tangannya digenggam erat oleh istrinya itu. “Aku tidak pernah memandang kamu sebagai orang yang cacat, kamu adalah suamiku, dan aku bangga punya suami seperti kamu,”
Farhan tahu, ucapan Hani tadi bukan sekedar ucapan, kalimat itu tulus dari hatinya. Ah, apa Hani terlalu sempurna bagi Farhan?
“Hani, bagaimana kalau selamanya aku akan menghabiskan sisa hidupku di atas kursi ini?” Farhan tertunduk, kali ini ia benar-benar takut.
“Han, kamu harus yakin pasti akan sembuh,” Hani berusaha menenangkan. “Kalaupun memang yang kamu takutkan akan terjadi, itu sudah kehendak-Nya, yang jelas kita sudah berusaha untuk kesembuhan kamu, karena semua Allah yang tentukan. Dan kamu harus percaya Han, apapun yang terjadi sama kamu, aku akan tetap jadi istri kamu,” air mata Hani menetes pelan, ia sedih karena untuk pertama kalinya ia melihat Farhan tampak rapuh dan lemah.
Farhan menghapus air mata Hani dengan kedua tangannya. Ia tak ragu untuk percaya pada kata-kata Hani, meski sebelumnya ia pernah mencintai seorang wanita sebelum Hani, yang berjanji akan selalu bersamanya, namun tiba-tiba memutuskan hubungan dan pergi, lalu menikah dengan laki-laki lain.
Hani segera memeluk Farhan, menenggelamkan wajahnya yang basah di pundak suaminya. Farhan berusaha menenangkan sambil menepuk pelan punggung Hani. Ia begitu mencintai wanita ini.
***
Hani mengajak Farhan berjalan-jalan ke Boston Public Garden ketika Farhan tidak memiliki jadwal kuliah tentunya. Mereka jalan-jalan berdua saja, tanpa memanggil Donny untuk ikut sebagai sopir pribadi Farhan. Hani mengendarai sendiri mobil pemberian papa mertuanya. Farhan tampak senang diajak jalan-jalan ke taman itu, ia menghargai ajakan Hani.
Mereka berdua melintasi sebuah jembatan yang di bawahnya adalah perairan taman yang sering di lalui kapal-kapal angsa. Hani membantu Farhan turun dari kursi rodanya ketika ia bilang ingin berdiri sambil berpegangan di sisi jembatan. Hani mengambil posisi tak jauh dari samping Farhan sambil memandang lurus ke depan ke arah perairan.
“Han, sudah dua kali kita ke sini, tapi aku tidak bisa mengajakmu naik kapal angsa itu,” sahut Farhan saat melihat sebuah kapal angsa yang penuh penumpang pengunjung taman melintas pelan di bawah mereka.
“Sebaiknya jangan Han, itu terlalu berbahaya buat kamu. Aku lebih senang main ke pantai sama kamu,” Hani kembali teringat kenangan mereka ke pantai pertama kali.
“Kalau begitu besok lusa nanti kita ke pantai lagi, aku tahu pantai yang indah di sini,”
Hani mengangguk senang, “janji ya,”
Farhan balas mengangguk.
“Farhan ayo kita ke bawah pohon itu,” Hani menunjuk ke arah sebuah pohon rindang tak jauh dari jembatan. “Kamu tunggu aku di sana, aku ingin ke toilet sebentar,”
“Tidak apa-apa aku akan tunggu kamu di sini,”
“Tapi Han, di sini panas,”
“Matahari pagi itu baik Hani, tidak apa-apa aku akan tunggu kamu di sini saja. Aku sangat senang bisa berdiri seperti ini sampai kamu kembali ke sini,”
Hani agak ragu.
“Han, aku akan baik-baik saja, aku berpegangan dengan kuat di sini,” Farhan meyakinkan.
“Baiklah Han, tunggu aku di sini. Aku tidak akan lama,”
Farhan mengangguk. Hani berlari-lari kecil melintasi jembatan untuk segera mencari di mana toilet.
Tak lama setelah Hani pergi, Farhan penasaran ingin mencoba melatih dirinya berdiri tanpa berpegangan di sisi jembatan. Ia melepaskan kedua tangannya, hanya beberapa detik, tubuhnya terasa berat, dengan cepat Farhan berpegangan kembali di sisi jembatan sebelum ia jatuh ke belakang menabrak kursi rodanya.
Tungkai kakinya masih lemah, tidak mampu menopang tubuhnya. Farhan mengubah posisinya, ia ingin coba berjalan menyusuri jembatan sambil berpegangan. Ia cukup merasa senang bisa bergerak beberapa langkah, meski orang-orang di sekitarnya memandangnya aneh, tapi juga banyak yang memandangnya penuh simpati.
Sementara Hani, setelah dari toilet ia mempercepat langkahnya untuk segera kembali ke jembatan menemui Farhan yang menunggunya di sana. Sosok Reza dengan wajah ramah dan senyum manisnya menghalangi langkah Hani.
“Han, senang sekali bisa ketemu kamu di sini,” sahutnya senang setelah melepas headset yang menyumbat kedua telinganya.
Reza tampak mengenakan setelan olahraga, keringatnya bercucuran deras, baju olahraganya basah dan lengket ke badannya karena keringat. Ia habis jogging pagi di taman yang biasanya jadi tempat bersantai, justru ia gunakan sebagai sarana untuk berolahraga pagi.
“Hai Za, habis jogging ya,” balas Hani setelah mengamati penampilan lelaki itu.
Reza mengangguk sambil mengelap butiran keringatnya di wajah dengan handuk kecil yang menggantung di lehernya.
“Bagaimana luka kamu Han?” tanya Reza peduli sambil mendekat menatap pipi Hani yang masih ditempel plester obat.
“Sudah mendingan Za,” jawab Hani sambil memundurkan sedikit kepalanya, agak risih saat Reza mendekatkan wajahnya.
“Kamu minum obat penghilang rasa sakit yang aku kasih kan?” tanya Reza memastikan.
Hani mengangguk.
“Kamu lagi apa di sini? Sendiri saja?” tanya Reza antusias. Tentu ia senang sekali pagi ini bisa bertemu Hani tanpa sengaja.
“Aku lagi ajak Farhan jalan-jalan,”
“Oh, ada Farhan,” raut Reza berubah, “terus dia di mana?” tanya Reza penasaran mencari di mana Farhan.
“Dia di jembatan menunggu,” jawab Hani. “Aku ke sana dulu ya,” Hani bergegas pergi, tanpa ia sadari, Reza menyusulnya di belakang tanpa bilang-bilang.
Beberapa langkah sebelum menginjak jembatan, langkah Hani terhenti, spontan Reza di belakangnya juga menghentikan langkahnya. Hani seperti membeku di tempatnya menatap tak percaya apa yang dilihatnya dengan kedua matanya.
Di tengah-tengah jembatan tempat ia meninggalkan Farhan tadi, suaminya itu berdiri membelakanginya, ia bisa berdiri karena tubuhnya ditopang oleh pelukan yang erat dari seorang wanita. Hani tidak tahu siapa wanita itu, wanita yang sedang memeluk suaminya. Wanita itu tampak terisak di dada Farhan sehingga wajahnya tidak kelihatan. Farhan tampak pasrah dan diam, tangannya tidak bergerak untuk balas memeluk.
Reza mendekat ke samping Hani, Hani tidak peduli kemunculan laki-laki itu secara tiba-tiba di sampingnya. Walaupun menyakitkan, tapi rasanya ia tak punya kekuatan untuk mengalihkan pandangan.
Saat wanita yang sedang memeluk Farhan itu mengangkat wajahnya, Hani terhenyak kaget, ia tahu wanita itu. Kini ribuan pertanyaan saling berkelebat di pikirannya. Wanita itu siapanya Farhan? Kenapa mereka berpelukan di depan umum? Bagaimana bisa Farhan dan wanita itu saling kenal? Dan banyak lagi pertanyaan yang muncul.
Hani meneteskan air matanya, ya itu menyakitkan melihat suaminya tak berdaya dalam pelukan wanita lain, apalagi di depan umum, bukan cuma dia yang melihat, tapi juga orang-orang di sekitar mereka, melihat mereka berpelukan yang mungkin saja menduga mereka adalah sepasang kekasih atau sepasang suami istri.
Tiba-tiba tangan Reza menggenggam sebelah tangan Hani dengan lembut. Hani menoleh, dan melihat Reza menatapnya penuh rasa kasihan dan kepedulian, juga amarah. Hani berusaha melepaskan tangannya yang dengan lancangnya disentuh dan digenggam begitu saja oleh laki-laki itu. Tapi tak bisa, tangan Reza begitu kuat menggenggam, ia bahkan tak mau mengalah meski menyadari gerakan tangan Hani yang memaksa untuk lepas dari tangannya.
Hani pasrah, air matanya semakin deras mengalir, dadanya bergemuruh saat melihat wanita itu dengan sebelah tangannya masih memeluk erat Farhan dan menyusuri wajah suaminya dengan sebelah tangannya lagi dengan linangan air mata.
Saat itu juga Reza memutuskan untuk merebut Hani dari Farhan, setelah melihat dengan kedua matanya Farhan begitu tega dan beraninya berpelukan dengan wanita lain di depan kedua mata Hani. Ia tidak peduli lagi jika merebut istri dari seorang lelaki difabel seperti Farhan, bukan persoalan Farhan yang difabel atau bukan, tapi ini menyangkut perasaan Hani, ia tak mau melihat Hani semakin terluka. Ia juga masih mencintai Hani.
“Aku akan merebutmu dari Farhan,” Reza membatin penuh amarah terlebih ketika tangis Hani semakin pecah dan ia tertunduk Karena tak sanggup lagi menatap suaminya bersama wanita lain dengan posisi yang begitu intim.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Nur hikmah
duh hani n farhan blm 100 persen cinta dh muncul pengangu.....sebel2
2021-08-28
0
Ferina
kasihan hani
2020-09-07
0
Nina harliana.
yang peluk farhan adalah naila
2020-07-12
2