Begitu bis yang ditumpangi berhenti tepat didepan sekolahnya, Juli buru-buru menghambur keluar setelah memberikan ongkos pada kenek, Juli sudah gak tahan menampung isi perutnya yang sudah dari tadi meronta untuk dikeluarkan.
”Hoek, hoek. ” Juli memuntahkan isi perutnya digot dekat tembok sekolah, sarapan nasi goreng buatan mbak Atun tadi pagi keluar semuanya, wajah Juli memucat, kepalanya sedikit pening, tapi dia agak lega setelah semua isi perutnya bisa keluar, yang patut disyukurinya adalah dia gak muntah-muntah didepan para penumpang lain, kalau iya sampai kejadian, bisa malu dia ditambah bonus mendapat omelan dari penumpang lainnya.
Setelah semua isi perutnya keluar, keadaannya sedikit membaik, tapi dia menghadapi masalah yang lebih gawat, Juli mulai panik menyadari gerbang sudah tertutup rapat.
“Aduhhhh, tamatlah riwayat gue, gimana nieh, percumakan gue bela-belain naik bis segala kalau pada akhirnya telat juga, huh ini gara-gara motor sialan April."
Bertepatan dengan Juli menyelsaikan kalimatnya, tiba-tiba dari arah belakang Juli mendengar derap langkah kaki orang berlari kearahnya, lebih tepatnya sieh ke arah gerbang, belum sempet Juli berbalik dan melihat pemilik langkah kaki itu, orang yang ternyata cowok itu sudah berdiri didekatnya memegang jeruji gerbang sambil mengumpat, “Sialan." cowok itu menendang gerbang yang menimbulkan suara bergemerincing membuat Juli mundur beberapa langkah karna kaget.
“Telat juga lo.” tanya cowok itu pada Juli.
Karna ditanya, Juli menoleh, dan secara bersamaan cowok itu juga mengarahkan tatapannya pada Juli, dan keduanya sama-sama kaget, itu terlihat dari raut wajah yang tersirat pada masing-masing dari mereka.
Sesaat Juli terdiam membeku ditempatnya menyaksikan kebetulan yang gak pernah disangka-sangkanya, cowok yang tidak lain dan tidak bukan adalah Ari, cowok dikantor polisi yang mengantarkannya ke rumah.
“Ari, cowok yang dikantor polisi yang nganterin gue pulang, jadi, dia sekolah di SMA PERTIWI juga.” batin Juli bener-bener tidak menyangka mereka satu sekolah.
Dan disaat rasa kaget sudah mereda, berbarengan dengan itu pula baik Ari dan Juli sama-sama mengacungkan jari telunjuknya pada satu sama lain.
“Lo.”ucap mereka bersamaan.
“Lo lagi, astaga, dunia ini ternyata sempit banget, bisa-bisanya gue satu sekolah dengan cewek kayak lo.” cerocos Ari duluan.
“Lo kira gue juga mau satu sekolah sama cowok berandal kayak lo, gue juga ogah kali." balas Juli.
“Ya udah lo pindah aja sana, bereskan.” Ari menandaskan ucapan Juli.
“Lo kira pindah perkara mudah, gue harus ngurus ini itu, harus beradaptasi dengan teman-teman baru, sama guru ba....”
“Cukup, gue gak perlukan denger curhatan gak penting lo.”
Juli memberengut sambil mengatupkan bibirnya rapat-rapat, sebenarnya Juli bener-bener gak menyangka dari seribu satu sekolah yang bertebaran di kota Jakarta kenapa dia bisa-bisanya satu sekolah dengan cowok berandal nyebelin yang sekarang tengah berdebat dengannya ini.
Ari tiba-tiba melenggang pergi meninggalkan Juli begitu saja tanpa basa-basi
“Heh...” Juli terlihat panik dia reflek berteriak, “Mau kemana lo.”
Ari berhenti dan berbalik, “Masuklah, lo kira gue capek-capek berlari hanya untuk nemenin lo berdiri dibalik gerbang.”
“Lewat mana."
“Kepo lo.” Ari kembali berbalik.
“Gue ikut donk.” tanpa menunggu persetujuan Ari, Juli mengikuti Ari dari belakang, walaupun gak tau kemana jalan masuk yang ingin dilewati, tapi karna keadaannya terpaksa Juli mengekor tanpa berkomentar.
Ari berjalan ke arah dimana tembok belakang sekolah berdiri kokoh, grafity norak yang jelas digambar oleh tangan-tangan gak berbakat menghiasi hampir seluruh dinding ditembok tersebut ditambah juga beberapa embel-embel tulisan yang menunjukkan kenarsisan yang menulisnya.
Aceng paling oke.
Sapto gak kalah oke.
Lebih okean Acux diseluruh planet.
Itu beberapa bunyi tulisan didinding tembok belakang sekolah, Juli meneliti setiap nama-nama tersebut mencoba mengingat apakah salah satu dari nama tersebut adalah nama cowok idola yang sering digosipkan oleh sahabat-sabahatnya, nyatanya tidak satupun dari nama tersebut yang pernah disinggung oleh sahabat-sahabatnya.
Tanpa peringatan Ari berhenti, karna sibuk mengamati tembok yag dipenuhi karya ilegal begitu, karna fokus matanya tidak lurus kedepan sehingga Juli menabrak punggung kekar Ari yang membuatnya mundur kebelakang beberapa senti
“Aduhhh, hidung gue." Juli mengaduh kesakitan.
“Ngapain lo ikutin gue. ” tegur Ari gak menyangka Kuli serius mengikutinya.
"Masak gak boleh sih, guekan juga Cuma pengen masuk, lagian gue pakai kaki gue sendiri ini, gak minta gendong.”
Ari diem sepertinya membenarkan ucapan Juli, dan tanpa diduga, Ari mengaambil ancang-ancang dan melompat meraih ujung tembok yang paling tinggi, dan dengan sangat mudah cowok itu mendorong badannya naik keatas ketembok tanpa bantuan apa.
“Yah, kalau kayak gini mana bisa gue ngikutin.” Juli mendesah frustasi.
“Heh, lo ngapain bengong.” tanya Ari dengan polosnya, ”Tadi katanya pengen masuk.”
“Mata lo katarak, temboknyakan tinggi, mana bisa gue naik, apalagi gue pakai rok kayak gini.” Juli terlihat nelangsa, dia sudah yakin sekarang Ari gak bakalan mau membantunya, apalagi bibirnya yang gak bisa dikontrol sempet mengatakan cowok itu katarak membuat Juli menyesalinya ucapannya.
“Dasar cewek, kerjaan lo bikin susah mulu, gak dikantor polisi, gak di sekolah kerjaan lo hanya bisa ngerepotin gue aja.” khas Ari banget, walaupun ngomel-ngomel, toh Ari melompat turun juga, ternyata walaupun kesel dengan Juli dia gak tega juga ninggalin gadis itu sendirian, apalagi melihat wajah memelas gadis didepannya sekarang.
Juli diem aja tanpa membalas ucapan pedes Ari, Juli berfikir gak apa-apa Ari mengatakan apapun untuk saat ini asal dia mendapat bantuan.
Ari kemudian berjongkok.
Karna melihat tidak ada reaksi dari Juli, Ari membentak, "Ngapain lo malah bengong, buru naik."
"Naik."
“Lo gak ngerti bahasa Indonesia, apa perlu gue pakai bahasa alien biar lo ngerti."
"Tapi, naik kemana."
"Pundak guelah bodoh."
"Tapi, lo gak bakalan ngintipkan."
Ari mendengus kasar, "Udah gue bantuin, dan sekarang lo fikir gue mau ngintip, nehi, gak level."
"Ayok cepatan." bentak Ari mulai jengah.
"Iya iya."
Dari belakang, Juli menapakkan kakinya dibahu Ari.
"Busettt, lo berat banget anjirrr, keberatan dosa lo." komen Ari kini mulai berdiri secara perlahan untuk memudahkan Juli menaiki tembok sekolah.
"Jangan sembarangan kalau ngomong."
“Akhirnya, nilai gue bisa terselamatkan, ini gak bakalan terjadi kalau gue gak ditolongin sama cowok resek itu, biar bagaimanapun dua kali dia pernah nolongin gue dalam keadaan kpepet kayak gini walaupun pakai ngomel-ngimel dulu sih sebelum nolong, ntar kalau udah didalam gue minta maaf dan ngucapain terimaksih deh.” Juli membatin sendiri, tapi kemudian cletukan Ari membuat fikiran baik Juli terbang tak bersisa.
"Heh sialan, cepatan naik ke tembok, lo mau bikin bahu gue sakit."
Juli buru-buru menapakkan kaki kanannya diatas tembok disusul oleh kaki kirinya.
"Duhh tinggi juga nieh tembok, kalau gue lompat kemungkinan kaki gue bakalan keseleo."
Juli melihat ke arah kiri, di sana, dia menemukan pohon yang cukup besar didekat tembok sekolah dengan cabang banyak, fikiran pertama yang terlintas diotak Juli begitu melihat pohon tersebut adalah dia lebih baik turun dengan berpijak pada cabang-cabang dipohon tersebut tanpa harus melompat.
“Apalagi yang lo tunggu cepetan turun.” bentakan kasar Ari yang ternyata sudah naik menyusulnya menghanguskan fikiran Juli.
“Ya, gak sabaran amet sieh jadi orang." Juli meraih dahan yang paling dekat dengannya, dia dengan lincahnya menuruni dahan demi dahan dan gak butuh waktu lama baginya untuk menjejak bumi kembali.
“Huhhh.” Juli mendesah lega begitu menapakkan kakinya ditanah, Juli turun dengan mulus kemudian disusul oleh Ari yang langsung melompat dari atas tembok.
“Awalnya gue gak percaya dengan teori Darwin yang mengatakan kalau manusia itu merupakan hasil evolusi dari monyet, tapi setelah melihat lo..." Ari bergantian memandang Juli dengan pohon yang baru dituruninya, “ Gue jadi percaya sekarang, lo salah satu hasil dari evulosi itu."
“Maksud lo gue keturunan monyet gitu."
Ari mengangkat bahu, “Allahualam.” setelah itu Ari langsung berbalik dan meninggalkan Juli dengan kejengkelannya.
“Dasar cowok resek, seenaknya aja ngata-ngatsin orang, disamain sama,monyet lagi. ya allah semoga ini terakhir kalinya engkau mempertemukan hamba dengan cowok berandalan itu.” pintanya sungguh-sungguh meskipun dia tau itu gak mungkin mengingat mereka satu sekolah.
Begitu punggung Ari menghilang dari pandangannya, Juli mengarahkan tatapannya kesekililingnya, dia sekarang tengah berada dibelakang sekolah, tempat yang bener-bener terisolir, dengan banyak pohon-pohon besar yang membuat suasana agak sejuk, ditambah terdapat wc rusak yang selama beberapa generasi gak pernah difungsikan lagi, Juli bergidik ngeri, dia memegang tengkuknya, "Ihhh, kok gue merinding ya."
Juli kemudian melangkahkan kakinya setengah berlari meninggalkan tempat itu.
***
Juli berlari dan berlari dikoridor sekolah, sesekali dia melirik arloji berwarna biru laut yang melingkari pergelangan tangan kirinya.
Jam pertama adalah bahasa indonesia mata pelajaran yang dipegang oleh ibu Veni, guru cantik yang sudah setengah baya itu memang terkenal cukup ramah dan baik hati, tapi dua hal yang gak bisa ditolerir oleh ibu Veni yaitu keterlambatan dan tidak mengerjakan PR, biasanya satu kali terlambat dalam pelajarannya selamanya bakalan dicap, makanya diiringi dengan ketergesaan Juli merapalkan doa-doa yang selalu dirapalkannya ketika dalam kesusahan.
Ketika berbelok dikoridor, Juli tidak berusaha memelankan laju larinya dan dari arah berlawanan seorang cowok juga tengah berjalan dengan tergesa-gesa dan kedua orang yang sama-sama dikejar waktu itu tanpa bisa dihindari bertabrakan.
"Akhhh." teriak Juli.
Gdebuk
Terdengar bunyi yang cukup keras.
Dua manusia itu terbanting dilantai dengan cukup keras, dengan posisi sik cowok dibawah sedangkan Juli yang ada diatas.
"Aduhhh bokong gue." terdengar rintihan kesakitan dari cowok yang ditabrak oleh Juli.
Juli yang juga tengah fokus dengan hidungnya yang sakit karna membentur dagu cowok itu meringis, dia belum melihat dengan jelas siapa yang dia tabrak.
"Maa...." Kalimat permintaan maafnya terhenti begitu melihat cowok yang kini berada dibawahnya, Juli membeku saking terpananya, laki-laki yang selalu menghiasi malam-malam indahnya kini berada sangat dekat dengannya, "Kak Al." batinnya dengan mata tidak lepas memperhatikan kesempurnaan yang terpampang jelas didepan mata.
"Bisa gak lo bangun, lo berat soalnya."
Kalimat Al itu mengembalikan kesadaran Juli, dia buru-buru berdiri, dan disusul oleh Al yang masih memegang bokongnya yang terasa nyeri karna membentur ubin dengan cukup kuat.
"Maaf kak, maaf, gue gak sengaja." merasa bersalah sekaligus takut secara bersamaan menyadari siapa yang dia tabrak, Juli menunduk tidak berani menatap Al lagi.
"Hmmm." Al kini memperhatikan Juli, "Kayaknya gue pernah lihat lo deh sebelum ini." gumamnya.
"Memang pernah, kak Al yang pernah bantuin gue ketika gue jatuh di hari pertama masuk sekolah, tapi mana kakak inget." Juli menjawab dalam hati, dia masih menunduk menunggu pengampunan dari Al agar dia cepat pergi, kakinya sudah gemetar karna ditatap sedemikian rupa oleh Ari.
"Ya jelaslah gue pernah lihat lo, kitakan satu sekolah." imbuh Al akhirnya.
Al bertanya melihat gadis ini membawa tas, "Lo telat."
"Iya, eh gak." jawab Juli merutuki jawaban pertama, karna kenyataan kini menghantamnya, "Astaga, kak Al ketua osis, dia punya kewenangan untuk menghukum anak-anak yang telat, malah gue tadi bilang iya lagi, mampuslah gue." Juli merutuki kebodohannya dalam hati, wajahnya kini menegang
"Lo gak perlu takut begitu, gue gak akan ngehukum lo."
Juli langsung mendongak mendengar kalimat yang diucapkan oleh Al, "Kakak serius."
"Hmmm, sebenarnya sieh lo harusnya gue kasih hukuman berat, udah telat, nabrak gue lagi, tapi berhubung suasana hati gue tengah baik, jadi kali ini lo lolos dari hukuman."
"Makasih kak."
"Ya udah sana pergi ke kelas lo, sebelum ntar lo kpergok sama bu Dewi."
"Iya kak, sekali lagi terimakasih." ucap Juli berlalu.
"Akhh ya Tuhan, kak baik banget." membatin.
Iseng-iseng, juli menoleh kebelakang untuk melihat apakah Al sudah pergi atau belum, dan diluar keinginannya, Juli tersenyum begitu melihat Al masih berdiri ditempatnya memandanginya, Juli terus berjalan sambil melihat ke arah Al.
“Awas didepan lo.” Al berteriak memberi peringatan, tapi sayang terlambat karna Juli sudah keburu mencium pilar penyangga sekolah.
Dukkk
"Aww." Juli menabrak tiang, gak terkira rasa sakit dan malu bercampur menjadi satu kesatuan, Juli bisa melihat dengan jelas kalau Al berusaha menyembunyikan tawanya, hal itu tentu saja membuat Juli malu dan ingin menyembunyikan dirinya dilubang semut kalau bisa, Juli tersenyum bodoh sambil mengelus keningnya dan langsung berlari saking malunya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments