BAB 5

Ditempat berbeda, dijalan raya, sebuah motor sport berwarna hitam legam tengah melaju dengan kecepatan tinggi menyalip setiap kendaraan didepannya, suara umpatan dari pengendara lainnya hanya terbang bersama angin tanpa sempat mampir terlebih dahulu ke telinga pengendara motor sport hitam itu, cowok yang mengendarai motor itu tersenyum meremehkan dan melirik kaca spionnya yang menampilkan motor yang dari tadi tengah berusaha mendahului kecepatannya kini tertinggal beberapa meter dibelakang.

Senyum kemenangan jelas tercetak dibibirnya, ”Mana bisa lo menang lawan gue Eb, Ari dilawan.”

Iya, cowok pengendara motor hitam besar itu adalah Wahyu Arial Dirgantara atau Ari, ketua berandal geng elit SMA PERTIWI, Ari menepuk dadanya membanggakan dirinya sementara tangan kirinya memegang stir, senyum kepuasaan itu ternyata harus sirna secepat datangnya karna kemudian bunyi sirene yang sudah sangat dihapalnya mampir kegendang telinganya dibalik helm yang dikenakannya, dia tau apa yang akan  terjadi, mobil polisi tepat berada dibelakangnya, Ari kembali mencari tahu keadaan dibelakang  lewat kaca spionnya dan tidak menemukan motor Sueb yang tadinya balap dengannya, tapi mobil polisi itu masih setia mengekorinya.

 “Sialan, gue dijebak. ” umpat Ari berusaha menghindari kejaran polisi.

Setengah jam yang lalu Sueb, ketua geng SMA TUNAS HARAPAN  menantangnya balapan dan dengan menyakinkannnya Sueb menginformasikan kalau jalur yang bakalan mereka lewati aman dari pantuan polisi, dan begoknya Ari karna percaya begitu saja dengan Sueb yang jelas saja berniat untuk menjebaknya.

 Jarak yang begitu dekat membuat Ari pada akhirnya tertangkap, ini bukanlah kali pertamanya Ari di  kejar polisi karna ulahnya yang sering balap liar, bahkan ditahan sudah menjadi makanan sehari-hari buatnya, kalau di itung-itung sudah puluhan kali dia bolak-balik masuk kantor polisi membuat polisi yang mengurusnya menjadi mengenalnya dan bosan juga melihat tampangnya, Ari menjadi langganan masuk kantor polisi entah itu karna balapan liarlah, ugal-ugalanlah, melanggar aturan lalu lintaslah, tauranlah, hal-hal tersebut tentunya membut Ari mendapat julukan sebagai raja jalanan.

Ditangkap polisi tentunya hal itu sudah pasti tidak pernah membuat ari jera walaupun dia pernah selam 3 hari 3 malam ngedekam dipenjara, dia sieh  santai saja kayak di pantai, hidup tanpa tantangan gak asyik, itulah moto hidupnya.

Sekarang Ari duduk berhadapan dengan Doni polisi yang sudah sering menanganinya, Ari bahkan sudah hapal diluar kepala kata-kata mutiara yang akan disampaikan oleh polisi yang bernama Doni itu.

“Jadi, kamu balapan liar lagi." Doni memulai introgasinya.

Ari belum sempat menjawab karna rekan Doni yang lainnya datang membawa seorang gadis remaja yang tidak lain adalah  Juli. Juli terlihat agak ngeri juga karna  untuk pertama kalinya berada dikantor polisi dan jujur dia takut sama polisi karna menurut cerita temen-temen cowoknya ketika SMP dulu yang sering kena razia, polisi adalah salah satu manusia paling menyeramkan dimuka bumi setelah hantu, galak dan ganas, itulah penggambaran temen-temennya pada polisi, makanya ketika memasuki kantor polisi dia kayak anak kecil yang ketahuan mencuri saja, menciut gak punya nyali.

Polisi yang membawa Juli ke hadapan Doni dengan suara tegasnya melaporkan kasus Juli yang menurut Juli Cuma salah paham, tapi polisi itu saja yang tidak mau mendengar penjelasannya. 

Doni, polisi yang mengintrogasi Ari mengangguk dan menyuruh Juli duduk.

Mata Juli tertuju pada Ari, Laki-laki yang berpakaian serba gelap itu terlihat berantakan, ditambah lagi rambutnya yang sampai kerah terlihat kusut dan acak-acakan, dan jajaran tindikan ditelinganya semakin mendeskripsikan kalau Ari adalah cowok berandalan pembuat masalah, dan hal pertama yang ditanamkan oleh Juli dalam hati saat melihat cowok itu adalah, jauh-jauh dari tuh cowok.

Juli langsung merasakan aura gelap menyelubungi dirinya begitu melihat laki-laki itu,"Akhh," Juli mendesah frustasi, "Kenapa tuh cowok mirip Dementor ya, menghisap kebahagian orang." Lirihnya dalam hati karna hawa dingin yang tiba-tiba menyergap kulitnya yang berhasil membuatnya merinding.

"Kenapa masih berdiri dek, silahkan duduk." karna melihat Juli masih berdiri, Doni kembali mengulangi kalimatnya untuk menyuruh Juli duduk.

"Ba baik pak." jawab Juli gemetar, padahal Doni menegur dengan intonasi yang biasa aja.

Seperti yang telah ditekankan Juli barusan bahwa, dia harus jauh-jauh dari cowok berandal itu, makanya Juli menggeser kursinya supaya agak jauhan dikit dari Ari.

Ari yang melihat kelakuan gadis tersebut menatapnya dengan tajam, Juli berjengit ketika cowok itu memandangnya dengan tatapan angker membuat juli buru-buru memalingkan wajah, takut kalau tiba-tiba cowok itu memancarkan sinar laser dari matanya dan bisa membakarnya.

“Siapa namanya dek.” tanya Doni pada  Juli dengan suara formal.

“Ju Ju Juliannn sari amarta pak.” jawab Juli dengan suara bergetar, saking gemetarnya ternyata hal itu bisa dirasakan oleh cowok yang duduk disampaingnya membuat cowok itu mengomentarinya.

“Heh." suaranya keras dan berat, membuat Juli merinding, "Doni gak bakalan jadiin lo santapan makan malamnya, jadi lo gak perlu gemetar kayak gitu kayak ditanya malaikat dalam kubur aja lu.” seloroh cowok tersebut.

Doni langsung menatap Ari dengan tatapan tajam yang memintanya untuk tutup mulut, melihat lirikan maut Doni, membuat Ari langsung bungkam untuk beberapa saat.

Kemudian Doni kembali beralih menatap Juli memperkenalkan Ari dan dirinya, ”Dia adalah Ari.” Doni memperkenalkan mereka, ”Dan saya adalah Doni."

Juli mengangguk kaku dalam hati berkata, “Penting apa dia memperkenalkan gue sama nieh cowok, gue bahkan gak mau tahu siapa namanya.”

"Jadi saya harap." Doni melanjutkan, "Adek  gak usah takut sama saya, karna saya gak gigit.”

Juli terkekeh mendengar gurauan polisi bernama Doni tersebut.

“Ari adalah langganan tetap disini.” Doni  menjelaskan tanpa diminta, “Apapun yang Ari katakan saya berharap jangan dimasukkan ke hati karna memang mulutnya pedes, bon cabe aja kalah saking pedesnya.”.

Juli nyengir, hampir saja tertawa, gak menyangka dia ternyata polisi dihadapannya bisa juga berkata konyol seperti tadi, setidaknya polisi dihadapannya itu tidak semanakutkan polisi yang pernah diceritakan oleh temen-temennya dulu, 

"Pak Doni ramah, murah senyum, ganteng pula orangnya." Juli mengagumi Doni dalam hati.

“Nah gitu donk senyum, jangan tegang, dikira saya mau makan orang apa.” ujar Doni melihat senyum tercetak dibibir gadis remaja yang ada didepannya.

“Hehehe.” Juli bisa cengengesan sekarang tanpa takut dibentak.

Ari protes karna kalimat Doni barusan yang mengata-ngatainya, “Bang, perlu apa lo memperkenalkan gue sampai seditail itu.”sahut ari berdecak.

Tanpa mengindahkan protes Ari, Doni kembali menanyai Juli sambil mengetik dikeyboard komputernya,”Dilihat dari fisik adek,  adek sepertinya masih sangat muda, apa alasan adek berjualan ditempat yang dilarang.” 

“Saya gak jualan kok pak, sumpah demi Allah, ini Cuma salah paham.” Juli mencoba menjelaskan.

“Maksud adek, rekan-rekan kami salah tangkap begitu.”

Juli mengangguk lalu menambahkan,” Kalau bapak gak percaya periksa saja barang-barang saya yang disita oleh rekan bapak, isinya cuma perlengkapan sekolah saya kok yang baru dibelikan oleh kakak saya.”

Doni mengangguk-angguk kemudian beteriak.

“ Togarrrr.”

Polisi yang dipanggil Togar yang ternyata menyerahkan Juli tadi datang menghadap.

“Siap pak.”

“Tolong bawakan barang adek ini.”

Setelah memberikan hormat, polisi yang bernama Togar tadi melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Doni, sebelum apa  yang diminta datang, Doni kembali beralih mengintrogasi Ari, setelah melihat layar monitor komputernya melihat sederet pelanggaran yang pernah dilakukan oleh Ari, Doni kembali menggeleng, ”Lagi-lagi balapan liar, kamu gak bosan jadi tahanan terus-terusan.”

“Ayoklah bang, inikan bukan kesalahan besar, gue gak korupsi kayak pejabat-pejabat berperut buncit di kursi pemerintahan, gue juga gak membunuh, ngerampok, merkosa tambah gak mungkin lagi gue, masak gitu aja dipermasalahin.” jawab Ari santai sambil menyilangkan kedua tangannya didepan dada.

Melihat tingkah laku dan cara cowok bernama Ari itu ngomong dengan santainya dengan Doni  yang tengah mengintrogasi mereka  dan dari apa yang ditangkapnya, Juli yakin cowok ini sudah sering keluar masuk tahanan membuat nilai minus cowok ini bertambah dua kali lipat dimatanya plus bahasanya pakai gue-elo lagi dengan orang yang lebih tua, bener-bener gak sopan.

“Ari, kamu itu berbakat kenapa gak menggunakan potensi kamu diarena balap yang sesungguhnya.”

“Gue balapan bukan untuk cari duit, karna keluarga gue kaya raya, yah cukuplah untuk menghidupi keturunan gue nantinya sampai tujuh turunan dan tujuh tanjakan.”

Asli  Ari yang menjurus ke menyombongkan diri itu atau entah untuk mengumumkan kekayaan orang tuanya membuat Juli yang awalnya malas menatap wajah cowok itu kini meliriknya jengkel, dalam hati berkata “hasil kerja orangtua lo aja bangga, dasar sombong."

“Gue Cuma ngelakuin itu buat seneng-seneng aja” tambah Ari

“Ari Ari.” Doni geleng-geleng kepala mendengar kalimat yang diluncurkan Ari, cowok remaja yang sekaligus adalah keponakan sahabatnya, “Saya gak bisa mengerti dengan jalan fikiran kamu."

“Gue gak minta lo mengerti bang, yang gue minta bebasin gue.”

“Susah memang ngomong sama kamu, untungnya saya bukan Danung, kalau saya jadi Danung kemungkinan saya sudah stres menghadapi ulah bengal kamu, mungkin itu juga salah satu alasan dia belum nikah sampai sekarang, takut anaknya ketularaan bengal kayak kamu.”

Ari tertawa ngakak seolah menganggap ucapan Doni adalah sebuah lelucon, “Lo kayak ngomongin diri sendiri aja bang, lo jugakan perjaka butut, gak laku-laku sama kayak om gue itu.”

Terdengar suara batuk yang kentara sakali seperti tawa yang disamarkan yang datangnya dari Juli, Juli langsung memalingkan wajahnya ketika kedua laki-laki beda usia tersebut memandangnya dengan ekspresi yang pastinya berbeda, dia gak mau mereka tau kalau Juli tengah berusaha setengah mati menahan tawa, gak sopankan mentertawakan orang yang lebih tua, polisi lagi, bisa-bisa dia penjara lagi.

Karna merasa skak mat, oleh anak remaja lagi, Doni gak mau memperpanjang pembicaraan yang memojokkan dirinya, padahalkan niatnya dia Cuma mau memberi nasehat, tapi begitulah kalau berhadapan dengan Ari, ada saja kalimat anak tersebut untuk membalasnya yang membuatnya akhirnya menyerah dan pastinya malu.

“Baiklah, karna Danung tadi menelpon saya dan lagi-lagi om kamu yang baik hati itu bersedia menjamin kamu, untuk kali ini kamu saya bebaskan, tapi lain kali jangan harap saya mau berbaik hati.”suara Doni mengancam, tapi sayang ancaman itu sama sekali gak ada ngaruhnya sedikitpun buat Ari yang membalas ucapan doni.

“Nah gitu kek dari tadi.”

Bersamaan dengan itu Togar yang baru sampai langsung menyerahkan barang-barang yang diminta atasannya. Setelah melihat isi paperbag itu Doni tersenyum yang membuatnya kelihatan makin ganteng, Juli jadi bertanya-tanya dalam hati, “Apa bener pak Doni belum menikah, kalau belum gue mau deh jadi calonnya, yah meskipun bisa dikatakan kalau Doni pantasnya jadi omnya, tapi Juli rela deh.” Juli senyum-senyum sendiri dengan kekonyolannya yang bisa-bisanya berfikir seperti itu.

Ari yang kebetulan matanya nyasar ke arah gadis yang berada didekatnya itu membeo, “Woe, kenapa lo senyum-senyum gak jelas, lo suka sama Doni.”

Wajah juli memerah karna tidak menyangka isi hatinya terbaca, “Ishhhh, apaan sieh lo, ya gaklah.” Juli berusaha mengelak.

Namun ternyata Ari mengabaikan ucapan Juli dan makin iseng menggoda, “Wah Don, gak gue sangka ternyata ada yang naksir, abg lagi, hahaha.”

“Apaan sieh lo, yah gak lah, masak gue suka sama pak Doni.” Juli kembali membantah tapi bantahannya terdengar  tidak menyakinkan.

Doni yang sudah sangat mengenal sifat Ari gak ambil pusing dengan ledekan tersebut, dia malah berkata “Jangan dengarkan dia, dia memang suka asal kalau ngomong.”

Juli mengangguk, “Dan saya minta maaf  atas kesalahan rekan saya menangkap orang yang salah.” Doni tersenyum menyesali insiden salah tangkap ini, ”Saya jamin hal ini tidak bakalan terulang lagi, jadi karna adek tidak bersalah adek boleh pulang sekarang.” dan Doni lalu menyerahkan barang-barang Juli yang sekarang berpindah tangan ke Juli, tentu saja Juli seneng dengan berita  itu, tapi berita buruknya adalah siapa yang akan mengantarnya pulang, sedangkan saat ini dia tidak membawa HP untuk menelpon kakaknya, mau naik taksi tentunya dia gak punya uang karna dia melupakan dompetnya.

”Tapi guekan kan berada dikantor polisi, gue yakin polisi bersedia membantu, apalagi pak Doni orangnya baik.” sebelum dia membuka mulutnya untuk meminta pertolongan, Doni kembali sibuk dengan Ari, untuk sesaat Juli mengurungkan niatnya dan menunggu Doni selesai dengan Ari sebelum meminta tolong.

Doni menyerahkan jaket kulit berwarna hitam dan kertas-kertas kecil yang juli yakin adalah semua berkas penting seperti STNK, SIM, dan sejenisnya sembari memberi nasehat seperti ini,

“Jangan diulangin lagi, ter...”

“Tib di jalan raya, jangan ugal-ugala an, jaga keselamatan diri dan keselamatan pengendara jalan lainnya, gunakan helm.” sambung Ari membuat Doni yang lagi mengetik laporan berhenti karna kata-kata yang akan disampaikan didahului oleh Ari.

“Iya iya sori,  gue sudah hapal sih diluar kepala nasehat lo bang, jadi lo gak perlu capek-capek ngeluarin tenaga lo lagi buat ngulangin kata-kata tersebut.”

Doni hanya menghela nafas.

****

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!