Hampir satu Minggu, Rara bekerja sebagai sekretaris tanpa Purba di kantor. Dia semakin terbiasa dengan orang-orang di kantor, malah ada karyawan yang sudah akrab dengannya selain Sari dari bagian konsumsi yang sama-sama dari kampung.
“Ra, ini berkas yang harus ditandangani Pak Purba. Kalau bisa hari ini ya. Soalnya ini akhir bulan, laporan harus sudah acc.” Fira membawa beberapa berkas yang harus Purba tanda tangani.
“Aku harus gimana ya, Mbak Fir? Aku gak tahu kapan Pak Purba masih.” Rara bingung.
“Kamu telepon aja Pak Purba, kali aja bisa dateng.” Fira memberi saran.
“Tapi katanya istrinya lagi di rumah sakit. Apa aku ke sana aja ya?” Rara meminta saran.
“Ya udah, ke sana aja. Kan ini urusan kerjaan, gak apalah. Jangan hiraukan yang udah-udah. Toh itu cuma salah paham, kan?”
“Ok, deh. Nanti aku tanya Mas Bizar, dulu.”
Fira ke luar ruangan Purba, Rara melanjutkan kerjanya. Seminggu ini sudah cukup lumayan untuk Rara mengetik beberapa file yang harus disalin. Jarinya sudah tidak kaku lagi.
**#
“Selamat siang Pak.”
“Selamat siang Pak.”
“Selamat siang Pak Hartanto.”
Beberapa karyawan berdiri dan membungkukkan badannya saat Pak Hartanto datang. Sudah sejak lama, pemilik perusahaan Bonafit Tekstil ini tidak mengunjungi kantor.
Namun, para karyawan tak akan lupa dengan sosok Hartanto. Termasuk karyawan baru. Karena profil pemilik perusahaan terpampang di atas papan informasi, di ruangan manager, ruangan direktur dan di depan, bagian resepsionis.
“Selamat siang, Pak.” Fira berdiri dan membungkukkan badannya, saat Hartanto menghampiri meja kerjanya.
“Ya. Fira, siapa di dalam sana.” Maksud Pak Hartanto adalah bertanya, apakah ada orang di ruangan direktur?
“Ada apa, Rara,” jawab Fira.
“Siapa Rara?” tanya Hartanto, dia sengaja bertanya, padahal masih ingat kata menantunya. Bahwa Rara adalah sekretaris baru.
“Em ... dia sekretaris baru, Pak.”
“Sudah berapa lama?”
“Kurang lebih satu minggu.”
“Baiklah, terima kasih.” Pak Hartanto langsung masuk ke ruangannya, yang kini menjadi ruangan Purba.
Fira melihat Pak Hartanto masuk ke ruangan Purba dengan cemas, dia khawatir kalau Rara salah bicara atau tidak bisa bersikap di depan pemilik perusahaan.
Firasat Fira, Rara belum tahu benar pemilik perusahaan ini. Meski pun banyak foto Pak Hartanto dipajang, tapi bagi orang baru yang belum satu bulan bekerja, apalagi belum mendapat briefing, pasti belum tahu siapa foto yang ada tersebar di beberapa ruangan.
Fira kembali bekerja dengan perasaan waswas. Sebenarnya itu bukan urusan Fira, hanya saja jika ada lagi masalah dikantor hanya karena urusan personal, itu cukup menggangu mood dan kinerjanya.
Fira memang perasa orangnya. Tidak bisa lihat keributan, mudah panik. Maka kalau ada masalah tentang orang lain, dia memilih diam dan tidak ikut campur.
Tok ... Tok ...!
Rara yang sedang mengerjakan tugasnya, beranjak dari tempat duduk, menghampiri pintu dan membukanya.
“Selamat siang Pak, ada yang bisa saga bantu?” sapa Rara.
Pak Hartanto masih dalam sikap tenang, dia sengaja tidak langsung masuk ke ruangannya, dia ingin tahu karakter sekretaris baru pilihan menantunya itu. Dari cara Rara menyambut, sepertinya dia tidak tahu siapa orang yang sedang ada di depannya kini.
“Boleh saya, masuk?” tanya Pak Hartanto.
“I-iya, Pak silakan.” Rara aga mundur dari pintu untuk memberikan ruang Hartono dan dua ajudannya untuk masuk.
“Silakan duduk Pak. Maaf, mau minum apa? Hangat atau dingin?” tawar Rara.
“Hangat saja, cukup satu,” sahut Hartanto.
“Baik, tunggu sebentar. Kalau yang hangat, saya bisa buatkan sekarang juga.” Dengan cekatan, membuat teh melati. Langsung disuguhkan di atas meja, di depan tempat Hartanto duduk.
“Maaf, apakah ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Rara, yang duduk pada sofa, di seberang Pak Hartanto.
‘Cukup baik juga dia. Pasti ini yang namanya Rara. Sekretaris barunya Purba,' batin Pak Hartanto. Dia melihat laptop yang ada di atas meja di depan sofa.
“Ini pekerjaanmu?” tanya Hartanto, menujuk pada laptop yang ada di atas Meja.
Rara hanya mengangguk sambil berkata,”Benar, Pak.”
Selanjutnya Hartanto menanyakan beberapa perusahaan yang akan bekerja sama dalam event fashion show. Mulai dari designer, modeling agency hingga gedung dan beberapa sponsor.
Rara cukup cekatan menjawab apa-apa yang ditanyakan Pak Hartanto. Tidak ada sedikitpun gelagat kalau Rara bekerja sebagai sekretaris hanya ajimumpung karena mendekati Purba.
Kurang lebih satu jam, Hartanto berada di ruangan Purba.
Dari awal cara Rara menyambut Hartanto, biasa saja. Tidak terkesan terkejut, karena melihat bos besar, atau memperkenalkan dirinya. Rara bersikap seakan sudah bekerja lama di sana dengan menyapa Hartanto tanpa perkenalan.
“Terima kasih, selamat bekerja dan jaga kepercayaan perusahaan,” ucap Hartanto sambil mengulurkan tangan.
"Oh ya, mengapa tadi kamu tidak memperkenalkan diri? Kamu tahu siap saya, Kan?" tanya Hartanto sebelum beranjak dan menarik kembali uluran tangannya.
"Iya Pak maaf, saya pikir Bapak sudah tahu saya dari Pak Purba, jadi tidak perlu perkenalan lagi. Dan, saya bukan orang penting atau klien bapak yang harus memperkenalkan diri. Jika saya ada di sini, berarti saya adalah karyawan Bapak."
Penjelasan Rara cukup membuat Hartanto terkesan, dia yang tidak suka basa-basi, memang tak butuh buang-buang waktu hanya untuk perkenalan. Yang pasti, sudah jelas yang ada di kantornya dengan tanda name tag perusahaan di dada, itu adalah karyawan perusahaan BT.
"Baiklah, selamat bekerja," ucap Hartanto yang kembali mengulurkan tangannya, sebab tadi tak jadi.
Rara menyambutnya dengan ramah, senyum manis tak terlepas sejak tadi dari wajahnya.
Haryanto pun ke luar ruangan. Sesaat setelah Hartanto dan ajudannya turun dari lantai lima. Fira masuk ke ruangan Purba dan mendekati Rara.
“Eh, Ra, Ra. Kamu tahu siapa dia?” tanya Fira.
“Tahu, Beliau Pak Hartanto.”
“Tau dari mana?”
Rara menjelaskan saat hari pertama masuk kerja, pandangannya langsung terarahkan pada foto yang ada di atas area bagian resepsionis. Sambil menunggu Purba yang akhirnya tidak datang, Rara berbincang dengan security.
Banyak hal yang Rara tanyakan. Tentang perusahaan BT bergerak di bidang apa, berapa jumlah karyawannya, hari libur, termasuk foto yang terpajang pas awal masuk kantor, sampai gaji karyawan juga dia tanyakan. Bahkan, beberapa karyawan yang lewat baru masuk pun Rara tanyakan, mereka bagian apa saja.
“Wah ... keren kamu. Bisa sepersiapan itu, syukurlah,” Fira merasa plong.
“Memangnya kenapa?” tanya Rara.
“Enggak kenapa-kenapa, takutnya kamu tidak tahu siapa Tuan Hartono tadi. Salah berprilaku, bisa berabe, hehe.”
“Kamu takut Pak Hartanto menyelediki aku gitu? Hihi, lucu Mbak Fira ini. Kaya di sinetron aja. Aku niat kerja beneran loh, mbak. Jadi aku juga harus pandai menyesuaikan di tempat kerja, ceketan cari informasi, kreatif dan inovatif. Ya kan?”
Fira dan Rara tertawa bareng. Mereka semakin akrab saja. Selama ini Fira tidak begitu akrab dengan karyawan lainnya.
Kebanyakan mereka pada sombong, merasa bangga menjadi karyawan di perusahaan BT, yang gajinya di atas UMR. Kinerja mereka cukup baik, tapi sosialisasi dengan sesama karyawan tidak begitu baik. Mereka geng-gengan.
Terlanjur mereka mengobrol santai, Fira menceritakan sedikit sejarah bagaimana asal mula Purba menjadi Direktur di perusahaan itu.
Fira juga memperkenalkan Wahyu pada Rara, meskipun tidak ada orangnya. Karena Wahyu bagian administrasi.
Hanya saja, Fira dan Wahyu pernah membahas tentang video yang disebarkan oleh salah satu karyawan BT perusahaan cabang.
Fira dan Wahyu, tidak masalah jika gosip itu benar tentang Rara menggoda Purba. Mereka adalah karyawan lama, sangat tahu karakter Mona saat Pak Hartanto masih memimpin perusahaan itu.
Saat dulu Mona dipercaya yang mungkin dapat menggantikan ayahnya, malah semena-mena terhadap karyawan. Kerajaannya membawa pacarnya ke kantor, kemudian keuangan kantor amburadul.
Perusahaan kembali stabil setelah dipegang Purba.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments
DRAGON
pertanyaan ku. kenapa pak hartanto ke kantor?🤔 cuma sebentar.
2022-09-06
1