Bu Sugeti meraih ponsel itu dan membaca isi pesan. Sama halnya dengan Lena, Bu Sugeti langsung terdiam. Mungkin jika hanya sekedar memberitahukan bahwa Rara tidak diperbolehkan lagi bekerja di sana, itu tak membuat Lena dan Bu Sugeti sampai terbengong.
Isi pesan dari istrinya Pak Mantri, disertai cacian dan merendahkan Rara.
***
Keesokan Harinya. Rara memaksakan diri berangkat ke Jakarta, setelah semalam sempat berbincang dengan Retno melalui sambungan telepon.
“Bunda, nanti pulang bawa boneta buat atki, ya?” pinta Azkya yang masih berada di gendongan Rara.
“Ok, InsyaAllah Bunda akan bawa boneka kesukaan Azka. Em ... Boneka Memey ya?” balas Rara, yang sebenarnya selalu ingin tertawa kalau anaknya selalu meminta boneka Memey, salah satu karakter yang ada di film kartun, Upin Ipin.
Mengapa tidak yang lain, seperti pada umumnya anak lain suka pada boneka Upin ipin, bear, mini apalagi Azkya kan anak cowok.
“Kalau aku bunda, mau mobilan truk yang ekornya tiga, yah,” pinta Azka, yang ada digendong tantenya, Lena, adik Rara.
“Baiklah Azka, anak bunda yang ganteng, nanti bunda beliin truk yang paling kuat,” ucap Rara sambil mencubit hidung bangir Azka.
Truk ekor tiga yang Azkya maksud adalah, truk gandeng, tetapi karena masih kecil, Azka tidak tahu nama truk yang sebenarnya.
“Bu, Lena, aku pamit ya. Maaf, ngerepotin kalian untuk jaga anak-anak. Kalau ada apa-apa langsung telepon saja,” pamit Rara kemudian mencium tangan Bu Sugeti lalu memeluknya.
“Nak ... Ibu nitip, jaga pergaulan di kota. Semoga keberuntungan, keselamatan dan berkah Allah selalu menyertaimu. Kejadian di sini, semoga tak kau alami di kota. Ibu pikir orang kota pasti lebih luas pandangannya, Ibu harap kau menemukan bahagia di sana,” pesan ibunya Rara penuh khawatir pada anak sulungnya ini.
“Iya Bu, InsyaAllah, Rara akan jaga diri dengan baik. Tolong bantu doakan Rara ya Bu,” ucap Rara sambil berderai air mata dalam pelukan ibunya.
“Lena, maafin mbak ya, nitip anak-anak. Sekolah yang bener, kalau kurang biaya apa pun, cepet-cepet bilang mbak,” ucap Rara setelah melepas pelukan dari ibunya.
“Iya Mbak. Mbak Rara tenang saja, aku bisa kok buat ngurus mereka. InsyaAllah semuanya pasti lancar,” balas Lena, yang kini menjadi siswa SMA kelas 11 dan nyambi kerja paruh waktu.
“Bunda, boleh minta satu lagi nggak?” tanya Azkya.
“Iya, boleh sayang.”
“Azkya minta Ayah. Kata Nina, nanti kalau mau masuk SD, harus punya Ayah. Soalnya nanti ditanyakan sama Bu Guru.”
Seketika Rara terdiam, dia paham maksud putranya, padahal sebenarnya tidak seperti itu jika masuk ke SD kelak. Namun, Rara mengiyakan saja permintaan putranya agar bisa tenang melepas dirinya pergi.
Setelah Rara berpamitan pada keluarganya, dia naik ojek online yang sudah dipesannya. Di sepanjang jalan perkampungan, para penduduk yang biasa bergunjing tentang Rara, kali ini pun tak ada bedanya. Ada yang menduga Rara pergi memenuhi panggilan om-om, ada juga yang katanya dapat job besar di kota.
Hari masih pagi, sekitar pukul enam, tetapi itulah kebiasaan penduduk di sana. Pagi-pagi sekali pun, sudah ada yang kumpul – kumpul tetangga.
**#
“Ret, aku udah sampe terminal Nih, terus naik apa?” tanya Rara, lewat sambungan telepon.
“Kamu naik angkot aja, yang warna ijo. Kernetnya bakal teriak-teriak, perumahan kafe,” balas Retno.
“Oh iya tuh, aku lihat. Oh ya, berapa ongkosnya?” tanya Rara balik.
“Kasih aja goceng. Udah ya, aku masih kerja nih, takut ketahuan pegang HP lama-lama. Nanti kalau udah sampe di depan perum, ada Pak Satpam. Tunggu aja di sana,” balas Retno lagi kemudian menutup panggilan.
**#
Pukul empat sore, Rara sampai di depan perumahan kafe. Pak satpamnya sangat ramah, Rara jadi tidak takut menunggu Retno cukup lama.
“Eh, sorry ya lama. Abis belanja, hehe,” ucap Retno saat baru sampai, dia juga turun dari angkot ternyata.
Retno dan Rara masuk komplek, jalan cukup jauh. Harus melalui dua blok A dan B terlebih dahulu.
Sampai di rumah Retno, mereka berbincang sambil istirahat dan makan.
“Tapi Ra, aku udah ngomong sama mas Hendra, manajerku. Si Bos yang mau kita temuin, masih di Luar Negeri, mungkin bulan depan baru pulang,” jelas Retno.
“Yah ... aku keburu kehabisan bekal,” sahut Rara bernada murung.
“Udah sih, santai aja, kaya sama siap aja sih kamu,” ucap Rara menyenggol lengan Rara.
**#
Sambil menunggu waktu calon bosnya pulang dari luar negri, Rara mengisi waktu dengan membuka profil perusahaan yang akan dia tempati untuk kerja.
“Oh ... jadi ini perusahaan tekstil tapi bagian kantornya. Namanya Pak Dahlan, lajang matang yang memutuskan tidak menikah. Hah? Kok aneh?” gumam Rara.
##*
Dua Minggu sudah kegiatan Rara hanya makan, tidur dan bantu beberapa kerjaan kecil di rumah kontrakan Retno. Dia sudah tidak enak sebenarnya, merepotkan sahabatnya terus.
“Besok aku coba ke pertokoan aja deh, kali aja ada lowongan. Mungkin bukan rejeki kerja di perusahaan gede itu,” batin Rara saat sore hari sambil masak, menunggu Retno pulang kerja.
“Rara ...! Ra ...!” seru seorang wanita yang sangat Rara kenal.
Rara segera menyusul ke depan,”Ada apa sih Ret, teriak-teriak gtu?” tanya Rara.
“Kamu beruntung, besok kita ke perusahaan BT. Kata Mas Hendra, Pak Dahlan udah pulang semalam.” Retno sangat gembira menyampaikan kabar itu.
“Hah BT?”
“Iya, Bonafit Tekstil.”
“Wah ... serius? Alhamdulillah ... terima kasih Retno ...,” ucap Rara memeluk sahabatnya.
**#
Keesokan harinya kedua sahabat itu sudah bersiap untuk ke perusahaan Bonafit Tekstil. Rara yang akan interview, tapi Retno tak kalah antusias dan senang pagi itu.
**#
Saat sampai di perusahaan Bonafit Tekstil.
“Ret, Bosnya sepagi ini udah meeting?” tanya Rara yang kini sedang duduk pada sofa di area dekat ruang resepsionis.
“Entalah, aku kan gak ngerti banget tentang bosnya. Namanya aja baru tahu sekarang. Mungkin dia orang disiplin banget kali,” respons Retno menduga-duga.
“Kok aku jadi deg-degan ya? Takut gak bisa menyesuaikan gitu, bangunannya aja segede ini,” ucap Retno sambil menoleh ke kanan kiri hingga sesekali menelisik ke arah tangga dan kadang teralihkan oleh suara lift berbunyi. Rara melihat beberapa karyawan yang sudah sibuk hilir mudik sepagi ini, pukul 07:30.
Dua jam mereka menunggu Pak Dahlan tiba, tapi tak kunjung juga terlihat.
Rara semakin dag-dig-dug, jangan-jangan bukan rezekinya. Awal melamar kerja tidak selancar yang dibayangkan.
Hampir pukul dua belas, Pak Dahlan tiba di kantor. Rara tiba-tiba menyenggol lengan Retno yang sedang asik bermain game di ponselnya.
“Eh-eh, lihat. Itu mungkin Pak Bosnya. Beda penampilannya,” bisik Rara dengan tatapan tak lepas dari sosok pria matang, berpenampilan necis, bahkan aroma parfumnya saja sampai tercium di mana tempat Rara dan Retno duduk. Padahal jarak sofa tempat tunggu ke pintu masuk kantor cukup jauh beberapa meter.
“Hem? Bisa jadi,” respons Retno sambil melongo. “Bosnya yang mana, ya?” lanjut Retno, dia melihat dua pria ganteng yang menyilaukan pandangannya.
“Mana ku tahu,” dengan polosnya Rara merespons.
Bola mata Retno dan Rara tak henti mengikuti arah langkah dua CEO yang baru datang itu, hingga pintu lift tertutup, kedua sahabat itu masih belum berkedip. Hingga panggilan petugas resepsionis tak dihiraukan oleh Retno dan Rara.
Dari mana mereka tahu bahwa dua pria bercahaya itu adalah CEO? Pemikiran polos mereka. Ya, mereka menebak kalau pria di sebuah perusahaan besar dengan pakaian jas keren, wajah bercahaya ganteng, aroma parfum segar, jalan cool dan elegan, sudah pasti itu adalah CEO. Ditambah ada cowok bertubuh kekar di dekatnya, sudah pasti itu bodyguard CEO.
“Mba ....” Sekali lagi petugas resepsionis memanggil Rara dan Retno.
“Eh, i-iya mba.” Rento dan Rara tersentak berbarengan.
“Mba ... Itu Pak Dahlan sudah datang, silakan naik ke lantai enam, di sana nanti ada sekretaris Wulan yang membantu mbak,” ucap resepsionis dengan senyum merasa aneh.
Rento dan Rara serentak berdiri dari duduknya. Mereka benar-benar tremor, itu bahasa gaulnya zaman sekarang. Kalau lihat cowok ganteng. Namun, saat mau memasuki lift, ponsel Retno berdering, dia pun langsung menerimanya.
“I-iya Pak, segera,” ucap Retno membalas obrolan dari seberang ponselnya.
“Eh, Ra. Aku duluan ya. Si bos memintaku segera masuk. Dah ....” Retno langsung pergi dan sempat melambaikan tangan perpisahan pada Rara.
“Eh, Ret?!” Panggilan Rara untuk Retno sia-sia saja.
“Terus, aku harus gimana? Mana gedungnya gede banget. Kalau nyasar?” batin Rara sambil perlahan melangkahkan kakinya masuk lift.
Beruntung saat Rara masuk lift, ada seseorang masuk juga. Sebenarnya Rara tahu cara kerja lift, walau dia belum pernah menggunakannya.
Dia tahu dari film-film korea yang sering ia tonton dan pernah juga ke swalayan yang ada di kampungnya. Namun, dia takut untuk naik lift, naik eskalator saja masih sering kesandung. Akan tetapi kali ini harus memberanikan diri naik lift, karena terbayang akan lama dan cape banget menuju lantai enam, tempat ruangan CEO itu.
Rara mengamati orang yang satu lift dengannya, dia memijit angka tiga, itu berarti dia naik ke lantai tiga. Setelah orang itu ke luar, Rara memijit angka tiga. Rara pikir dia akan naik tiga lantai lagi setelah di lantai tiga, jadi di lantai enam. Padahal seharusnya langsung pijit angka enam.
Rara ke luar dari lift, setelah sampai sesuai angka lantai yang ia tekan. Rara sedikit gugup, tapi demi dirinya dapat kerja, dia memberanikan diri bertanya pada seseorang yang dia lihat.
“Em ... Mas, maaf. Ruangan Pak Bos, di mana ya?” tanya Rara dengan sedikit membungkukkan badan.
“Ruang Pak Presdir? Naik tiga lantai lagi.” Maksudnya, tiga lantai lagi itu adalah lantai enam. Tapi jawaban orang tersebut bikin Rara bingung.
“Em, maaf Mas. Tadi saya sudah tekan angka tiga, dari lantai bawah. Kemudian saya tekan lagi angka tiga, itukan sudah sampai di lantai enam, ya? Kalau saya tekan angka tiga lagi, berarti ruangan Pak Bos ada di lantai sembilan?”
Karyawan yang ditanyai Rara itu, seketika memandang wanita mungil yang ada di hadapannya itu? Pikirnya, wanita dari mana? Serepot itu memahami cara naik lift.
Karyawan itu tarik napas dalam, kemudian menghembuskan secara kasar, “Mbak, sekarang anda naik lift lagi aja, terus tekan angka enam. Ingat ya ... langsung saja angka enam,” jelas karyawan itu dengan penuh penekanan di akhir kalimat.
“Oh, gitu. Terima kasih ya Mas. Semoga kebaikan Mas dibalas Allah Subhanahuwata Ala. Permisi mas,” ucap Rara segera pergi tanpa menghiraukan wajah heran karyawan tersebut.
“Hadeuh... makhluk dari mana dia?” gumam karyawan tersebut.
**#
Akhirnya Rara sampai di lantai enam, tapi saat hendak ke luar lift, dia berpapasan dengan seorang pria berpakaian jas hitam, bersih dan rapi, berdasi garis hitam biru ada salur warna emasnya. Aroma tubuhnya membuat Rara kehilangan akal, masih beruntung tidak langsung amnesia.
Rara yang hendak ke luar, sedangkan pria tersebut hendak masuk lift, sehingga saling geser kanan kiri, mencoba membuka jalan masing-masing. Alhasil mereka seperti sedang menari sorong kanan sorong kiri.
Pria berpakaian necis itu adalah Purba, relasi Pak Dahlan. Lebih tepatnya posisi Purba berada di atas jabatan Pak Dahlan. Karena Purba menjabat presiden direktur di kantor pusat. Mungkin jika mertuanya telah tiada, perusahaan itu akan menjadi miliknya. Kantor pusat bernama Bonafit Tekstil Center.
Kini Purba diam di posisinya, berdiri mematung dengan badan tegap, tatapan wajah ke depan, dengan satu tangan masuk ke dalam saku celananya, menunggu wanita yang ada di hadapannya itu lewat terlebih dahulu. Namun, sungguh di luar ekpektasi, Rara pun ikut diam tepat di hadapan Purba, dengan tujuan yang sama. Yaitu, memberi jalan agar Purba lewat terlebih dahulu.
Kesabaran Purba tak dapat ditunda lagi, dia menatap Rara dengan bola mata sedikit gerakan kepala, meminta Rara untuk geser ke kanan, yang leluasa ruangnya.
Rara paham akan isyarat dari Purba, dengan segera Rara bergeser, tapi dengan tatapan masih fokus pada wajah gagah Purba. Dengan tertawa lirih sok akrab, Rara mengucapkan permisi dengan badan sedikit membungkuk.
Setelah keluar dari area lift, Rara sesekali menoleh ke belakang. Baru pertama kali dia melihat orang ganteng sedekat itu. Mungkin kalau dengan artis, tak ada bedanya wajah tampan CEO tadi.
**#
“Pak Dahlan, tolong segera diperbaiki lift khusus staf!” perintah Purba melalui ponselnya, setelah ke luar dari lift dan kini berada di lantai dasar, menuju rumah. Karena istrinya menelpon terus agar dia segera pulang.
**#
Rara mengetuk pintu Ruangan CEO, yang sebelumnya diberitahukan ruangan yang mana oleh sekretaris di sana.
“Masuk!” seru seseorang dari dalam.
Rara masuk dengan badan sedikit gemetar. Terlebih saat melihat Pria matang berkharisma itu melihat jam yang berada di tangannya. Kemudian sorot mata tajamnya beralih menelisik keberadaan Rara. Menandakan bahwa Rara datang tidak sesuai jadwal.
#**
“Wulan, interview anak kecil ini. Laporannya saya tunggu,” ucap Pak Dahlan, setelah memperhatikan Rara dari atas sampai bawah tubuh mungilnya.
Rara ingin menjawab, tapi lidahnya kelu, tenggorokannya tercekat. Namun, dongkol sekali rasanya dibilang anak kecil.
Wulan mengajak Rara pada sofa yang masih satu ruangan di sana.
Selama kurang lebih 30 menit, interview berlangsung. Tidak terlalu serius memang, bahwa yang terutama adalah kejujuran dan beruntungnya Rara melamar atas rekomendasi orang kepercayaan teman Pak Dahlan. Sudah pasti interview dan aturan lamaran lainnya hanya formalitas.
Wulan menyerahkan laporan hasil interview pada Pak Dahlan.
“Baiklah, langsung kerja hari ini juga,” ucap Pak Dahlan dengan raut muka datar.
‘Ya ampun ... sayang sekali, cakep-cakep papan tulis, datar dan kaku. Bisa gitu, manggil nama dulu, basa-basi, buat siapa dia bicara.’ Batin Rara yang masih terbengong pandangannya pada Pak Bos.
Hingga Wulan menyenggol Rara, barulah dia tersadar. Untung Pak Dahlan tidak menyimak tingkah Rara. Setelah memutuskan Rara diterima kerja, Pak Dahlan sibuk dengan ponselnya.
Rara beranjak dari tempatnya, dia akan menuju ruangan kerjanya ditemani Wulan, sekretaris pribadi Pak Dahlan. Namun, tiba-tiba ...
“Dan ... satu lagi. Kalau ada yang mau dibicarakan, sampaikan pada Wulan, atau langsung padaku. Jangan dalam hati,” seru Pak Dahlan menambahkan.
Rara kemudian menelan ludah sedikit terkejut, ‘Apa Pak Bos, bisa membaca pikiran orang ya? Bisa denger suara hati, gitu? Apa semua CEO bisa main tebak-tebakan hati gini? Kaya di film-film korea, kaya di novel-novel,’ batin Rara yang kini berdiri mematung, membelakangi meja Dahlan, hendak ke luar ruangan.
“Wulan, jika ada karyawan yang tidak bersedia mengikuti aturan perusahaan, langsung keluarkan saja, tanpa pesangon. Sekali pun dia baru masuk,” seru Pak Dahlan kembali, yang saat ini matanya fokus pada layar komputer.
‘Eh ... sial. Dia menyindirku?’ batin Rara lagi.
“Em, Wulan, ayo!” Seketika Rara menarik tangan Wulan. Bergegas meninggalkan ruangan Pak Bos. Dia tidak ingin jika baru saja masuk langsung dipecat.
Setelah Rara dan Wulan keluar ruangan, “Ahahaha ...! Hendra ... Hendra, bisa aja kau cari wanita lugu,” seru Dahlan sambil memukul-mukul mejanya saking menikmati gelak tawanya.
Rupanya Dahlan sedan melakukan panggilan video Dengan Hendra, bosnya Retno. Itulah yang dicari, sosok Rara yang polos, mau disuruh apa saja demi dapat pekerjaan, terutama yang penting digaji.
Dahlan menceritakan lucunya melakukan interview pada Rara. Tanpa banyak pertanyaan, palanga-plongo dan iya-iya saja, yang hanya mampu keluar dari reaksi Rara.
**#
Hari pertama kerja, Rara diminta Wulan untuk membuatkan kopi racikan untuk Pak Dahlan. Di ruangan itu juga ada Sora, partner Rara nantinya.
“Nah gitu caranya, di sini gak pake kopi instan, udah sana berikan ke Pak Dahlan,” ucap Sora.
Rara dengan sedikit gemetar, kembali ke ruangan Pak Dahlan.
“Pak, ini kopinya,” ucap Rara setelah mengetuk pintu, langsung masuk.
Rara bingung mau ditaruh di mana kopinya. Dia melihat Pak Dahlan sedang berdiri melihat beberapa file di rak. Rara tepat berdiri di belakang bosnya itu.
“Pak, ini kopinya taruh di mana?” tanya Rara menunggu jawaban bosnya.
Pak Bos itu merespons tanpa menoleh, “Taruh aja sana, argh... kamu!”
Prak...!
Gelas kopi tumpah terkena tangan Pak Bos yang hendak menunjukkan letak di mana kopi harus di simpan.
“Eh, ma-maaf Pak,” seru Rara sambil sigap menaruh nampan di lantai, kemudian memegang tangan bosnya ditiup tiup.
“Gimana sih? Kerja gak becus! Loh ... kamu?” saat bos itu memperhatikan siap karyawan itu, dia terkejut.
“Eh, tuan. Em ... bapak yang tadi? Aduuh ... ampun Pak, sumpah gak sengaja,” seru Rara, memejamkan karena takut dan refleks menaruh kepalanya di dada Purba, seperti posisi memeluk, sambil masih menggenggam tangan purba di masih ditiup tiup.
Rara tidak menyangka bahwa bos itu adalah Purba. Ke mana Pak Dahlan?
Brak ...!
Seorang wanita yang tergesa-gesa masuk, berhenti sejenak saat melihat pemandangan di depannya. Wajahnya berubah merah dengan sorot mata tajam, segera menghampiri Rara dan ....
Bersambung...!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments
suharwati jeni
koq ada sih yg kayak rara
2024-07-14
0
DRAGON
lumayan lucu bab yang ini tapi sedikit menegangkan
2022-09-06
1
ᴷᶜ Riska Febriani MangaTo͜on
semangat thor
2022-08-04
4