Oh ... Bunga Lain CEO
Rara dipukuli oleh Gandi menggunakan sabuk kulitnya. Gandi meradang, karena larangannya tidak digubris, agar Rara tidak bekerja lagi di klinik tempat praktik Mantri Wahyu.
Gandi tahu, Wahyu bukan hanya teman Rara saat SD, tapi dia mantan pacar Rara ketika di SMA.
“Udah Nak ... udah,” seru Bu Sugeti yang berusaha menghentikan amukan mantunya.
“Ini anakmu yang katanya lugu, baik dan anak rumahan. Ya, dia memang anak rumahan yang hobinya menjadi simpanan pria yang hidung belang!” teriak gandi dengan mencengkeram belakang rambut Rara, sehingga kepala Rara ke tarik sampai mendongak.
“Sudah, Nak. Ud ...,”
“Bunda, Nenek ...!” ucapan Bu Sugeti terpotong saat Azkya dan Azka masuk rumah. Mereka habis bermain ditemani Lena, tantenya.
Bu Sugeti tergopoh-gopoh menghampiri kedua cucunya. Wanita berusia 47 tahun itu segera membawa cucu kembarnya ke kamar hendak mempersiapkan mandi. Meskipun perasaan waswas menghinggapi, takut kemarahan Gandi pada Rara terdengar oleh kedua cucunya.
“Nenek, Bunda mana?” tanya Azkya yang kini berusia 4 tahun.
“Bunda, ada.” Bu Sugeti menjawab seperlunya.
“Ke mana? Aku gak lihat,” lanjut Azkya kembali.
“Ada itu, sedang beres-beres di kamar.”
“Eh, Azky!” seru Bu Sugeti hendak menghentikan cucunya yang berlari menuju kamar Rara.
“Bunda!” Azkya membuka pintu kamar yang tertutup.
“Azky, ayo mandi dulu,” ucap Bu Sugeti yang sudah berada di belakang Azkya, tapi kemudian dia berdiam mematung melihat pemandangan di dalam kamar.
Bu Sugeti melihat putrinya sedang tidur dengan tubuhnya tertutup selimut, kemudian Gandi ada di sampingnya seolah-olah sedang merawat Rara yang sakit.
“Ayah, Bunda kenapa?” tanya Azkya yang kini sudah berada di samping Gandi.
“Tidak apa-apa, Nak. Bunda hanya kelelahan. Butuh istirahat,” jawab Gandi yang tak memperlihatkan karakter seramnya sama sekali. Tidak nampak seperti orang yang baru saja marah besar.
“Bunda ...,” ucap Azkya mendekati Rara.
“Azky, mandi dulu sana sama nenek. Jangan dulu ganggu Bunda, ya.”
Azkya menurut apa kata Ayahnya. Dia percaya saja, sebab memang melihat wajah ibunya yang kelihatan kusam seperti orang sakit dan ayahnya sangat perhatian sekali. Hingga Azkya percaya bahwa ibunya sedang sakit. Setelah itu, Azkya segera ke luar kamar, menghampiri sang Nenek yang sudah menunggunya di dekat pintu kamar, untuk mandi.
Sreet ...!
Seketika Gandi membuka selimut yang menutupi seluruh tubuh Rara. “Tutup pintunya dan kunci!” perintah Gandi dengan mata nyalang.
Rara tergopoh-gopoh bangkit kemudian beranjak dari tempat tidurnya. Menuju pintu dan menutupnya, tak lupa mengunci. Namun saat hendak berbalik....
“Agh ... emm, aku, tak bisa... napas, Mas,” seru Rara dengan tersengal dan putus-putus.
Gandi yang sudah berada di belakang Rara langsung memeluknya erat dari belakang. Dengan kepalanya yang menyusup di ceruk leher Rara kemudian bergerilya ke seluruh leher dan menyesap sesukanya. Mungkin lebih tepatnya itu bukan sebuah pelukan, tapi sebuah terkaman yang sangat kuat.
Tangan kekar Gandi yang melingkar di tubuh Rara, hingga kedua tangan Rara terimpit membuat dadanya sesak untuk bernafas. Rara berusaha lepas, setidaknya melonggarkan pelukan Gandi. Dia merasa risi dengan perlakuan suaminya yang seperti hewan buas, entah berapa tanda merah yang sudah tertoreh di leher Rara, akibat kebuasan Gandi.
Seketika Gandi membalikkan tubuh Rara dan didorongnya hingga tersedak ke pintu. Kini wajah Rara dan Gandi berhadapan dengan jarak sangat dekat. Tangan Gandi mencengkeram dagu Rara hingga sedikit terangkat, kemudian tepat di wajah istrinya, gandi berkata.
“Apa kamu bilang? Sesak? Lalu dengan mantanmu itu? Setiap malam pulang dengan mobil, bahkan hingga dibukakan pintu. Sudah seberapa jauh permainanmu dengannya, hah?! Tidak mungkin dia sebaik itu, jika kau tidak memberikan tubuhmu sebagai imbalan!” ucap Gandi dengan nada penuh bentakan dan teriakan.
Rara hanya bisa memejamkan matanya, menahan teriakan yang tidak begitu keras, tapi dengan penekanan yang sangat dalam.
“Dan ... aku adalah suamimu, berhak atas seluruh tubuhmu, emm...!” ucap Gandi, dilanjutkan menyantap bibir yang ada di depannya. Tangannya mencengkeram apa saja bagian tubuh Rara yang bisa membuatnya puas. Seluruh badan Rara benar-benar terasa perih dan sakit.
Sungguh Gandi tak dapat diredam amarahnya, diajak bicara baik-baik pun tidak bisa. Kemarahan terlontar dengan suara mendesis mengerikan, karena kemarahannya ditahan, sedikit berbisik, agar tidak terdengar anak-anak mereka.
Didorongnya Rara ke ranjang, dengkul Rara terpentok kayu ranjang, rasanya ngilu sekali. Karena kasurnya bukan kasur busa yang tebal dan empuk, yang mampu menutupi kayu ranjang.
Dengan kasar Gandi melucuti semua pakaian Rara yang sebenarnya sudah tak jelas bentuknya akibat kekerasan tadi. Rara berontak mencoba melindungi diri dari kekalap suaminya.
“Mas ... tolong, sakit... hikz, hikz. Aku bisa melayanimu, tapi tidak begini...,” Rara mengiba pada suaminya.
“Bagaimana rasanya saat Mantri itu yang menikmati tubuhmu, hah?! Enak bukan? Emm...,” Gandi dengan buas melu mat bibir Rara yang sudah lecet-lecet sebenarnya.
Rara pasrah saja dengan perilaku suaminya, menangis, memohon pun percuma saja. Suara suara jahanam yang keluar dari mulut Gandi, membuat Rara semakin pilu dan menjijikkan berada dalam kuasa Gandi. Amarah, birahi, semuanya tumpah pada tubuh kecil dan tak berdaya yang kini berada dalam kukungan Gandi.
Apa yang Rara rasakan mungkin lebih dari sekedar pemaksaan, mungkin seperti ini rasanya diper ko sa. Itu bayangan Rara. Setiap bagian tubuh Rara dijamah tanpa belas kasih. Hal-hal yang tidak layak dilakukan, kali ini Gandi lakukan sebebasnya. Mungkin seperti film-film biru bule, yang ganas dan tanpa batas dalam hubungan intim.
“Ah ... ternyata dengan sedikit kekerasan, sensasinya sungguh memuaskan. Terima kasih sayang,” ucap Gandi yang berbisik di samping telinga Rara.
Gandi pergi ke kamar mandi dengan meninggalkan tubuh polos Rara begitu saja. Bibirnya tersenyum puas, seumur hidupnya baru kali ini mendapatkan kepuasan dengan menyiksa saat melampiaskan nafsunya.
Rasa pedih den sakit-sakit sedikit, justru itulah sensasinya, tanpa mengindahkan aturan berhubungan yang layak. Sesekali jadi hewan, tak apa. Itu pikir Gandi.
“Ibu ... hiks... hiks ...,” rintih Rara yang meringkuk lemah di atas ranjang yang jelas sekali basah di mana-mana.
Sprei berwarna biru, membuat jelas noda tercecer di sana. Bukan hanya basah dari cairan Gandi, tapi juga dari keringat mereka berdua yang beda cerita.
Rara jelas berkeringat karena menahan sakit dan perlawanan menghadapi kekerasan gandi dan tenaga suaminya yang sangat besar.
Sedangkan Gandi, banjir keringat kepuasan. Beberapa kali gandi melepaskan dan diulang lagi tanpa jeda. Semakin Rara merintih kesakitan, semangat sensasinya naik dan mampu memancing Gandi melakukan dengan gaya ekstrim tanpa aturan, yang penting fantasinya kali ini bisa tersalurkan.
**#
“Rara! Nak ... astaghfirullah ... Nduk! Kamu kenapa? Allahu Akbar,” jeritan Bu Sugeti memenuhi isi kamar Rara.
Ibu mana yang bisa biasa saja melihat anaknya seperti hewan, bertubuh polos tanpa pelindung sedikit pun.
Seprei yang kusut tak jelas bentuknya, hingga menyingkap. Pakaian yang bercecer tidak karuan, saat lampu dinyalakan, tubuh Rara yang gemetar seperti kedinginan. Tubuh polos meringkuk tanpa benang sehelai pun, membuat malu yang melihat. Apalagi Rara yang mengalami, apa yang dirasakan? Entahlah ...
Saat itu malam sudah pukul 21:00 WIB. Gandi entah ke mana. Setelah mandi, dia langsung pergi tanpa melihat sama sekali keadaan istrinya. Apalagi berniat menutupi tubuh polos istrinya yang tak berdaya.
Bu Sugeti mengangkat putrinya yang benar-benar lemas agar bisa duduk. Ditutupnya kain pada tubuh putrinya itu, lalu dipeluknya seraya dirapikan rambut yang menutupi wajah Rara.
“Lena ...! Len ...! Bawakan air minum bangat buat mbakmu!” seru Bu Sugeti.
Lena yang berada di dapur, mendengar teriakan ibunya. Dia langsung ke kamar Rara, seraya membawa pesanan ibunya.
“Astagfirullah ... Mbak Rara. Kenapa ini Bu...?” Lena ikut histeris. Melihat Rara sangat lemas. Dia menyalakan lampu ponselnya, karena ruangan tidak begitu jelas dengan penerangan hanya lampu kuning lima Watt.
Lena mengamati sekitar kamar dan tentu saja kasur yang sangat menarik perhatian, karena begitu berantakan.
“Bu ...! Astaghfirullah ini darah apa? Mba Rara, mbak ...,” seru Lena yang melihat bercak darah yang bukan hanya sedikit.
Perlahan Bu Sugeti dan Lena membuka kain yang menutupi tubuh Rara, niatnya untuk melihat keadaan Rara yang sebenarnya. Mereka benat benar terkejut, lagi-lagi seperti tertusuk ulu hati melihat apa yang menimpa Rara.
“Bangsat kau Gandi!” teriak Lena.
“Hust ... udah, udah ...,” tegur Bu Sugeti. Rasa sakitnya tentu lebih pedih dari Lena. Namun, dia tak ingin memancing tetangga datang dengan histeris Lena yang mengumpat kakak iparnya.
Lena dan Bu Sugeti merawat Rara, setalah tubuh Rara terlihat lebih baik, dia dipindahkan di kamar ibunya. Bu Sugeti pikir, kamar itu tak seharusnya ditempati Rara terlebih dahulu. Takutnya menyisakan ketraumaan.
**#
Empat hari kemudian Rara terlihat lebih baik.
“Mau ke mana kamu nduk?” tanya Bu Sugeti yang melihat Rara sudah berpakaian rapi, dengan tas selendang seperti biasanya.
“Ke rumah Pak Haji Dadan Bu, aku sudah terlalu lama libur,” sahut Rara yang langsung menyodorkan tangan pada ibunya, untuk berpamitan.
“Tapi Nak, ibu takut ada apa-apa. Kamu kan ....” Bu Sugeti cemas.
“Tenang aja Bu, aku sudah baik kok. Tidak akan ada apa-apa. Aku pamit ya Bu,” ucap Rara kemudian ke luar rumah.
**#
Sementara itu saat di toko Pak Haji Dadan, Rara seperti biasa melakukan pekerjaan seperti hari-hari sebelumnya. Namun, saat toko sedang sepi, sekitar pukul satu siang, Rara dipanggil haji Dadan untuk ke belakang.
Toko tersebut satu bangunan sama rumah dan saat ini Rara ke area rumah Pak Haji Dadan. Rupanya dia diminta untuk mengoleskan minyak angin ke punggung Pak Dadan. Rara sebenarnya menolak, sudah berkali-kali bahkan.
“Nanti nunggu Ibu saja, Pak. Saya takut fitnah, tidak ada siapa-siapa lagi di sini,” ucap Rara menjaga diri.
“Tidak apa, kan ada cctv. Aku yang memintanya.” Pak Haji Dadan tetap memaksa.
Akhirnya Rara mengikuti apa kata Pak Haji, dia kasihan juga, takutnya Pak Haji benar-benar sedang tidak enak badan dan butuh dioleskan minyak angin tersebut.
Brak!
“Hei ... sedang apa kalian?” ternyata kedua istri haji Dadan datang.
Kedua istri yang baru pulang belanja, menggebrak pintu hingga Rara terkaget dan menjatuhkan botol minyak angin yang dipegangnya.
Rara menoleh, begitu pun Pak Haji yang kemudian tergesa memakai pakaiannya.
“Begini ya kelakuan kalian di belakangku! Sudah berapa lama, hah?” cecar salah satu istri.
“Ini salah paham Bu, sungguh, kami tidak melakukan apapun,” bela Rara yang sudah gemetar .
Namun, pembelaan Rara tak berarti apa-apa, parahnya lagi Pak Haji tidak bicara apa pun, apalagi mencoba menjelaskan kejadian sebenarnya.
Rara terus memohon untuk tidak dihukum, karena kedua istri Pak Haji sepakat untuk Rara diarak keliling kampung.
“Ibu bisa lihat CCTV, kami tidak melakukan apa pun,” pinta Rara.
“Ok, aku yakin kau pasti bersalah!” Istri Haji Dadan yang satu membuka ponselnya yang terhubung pada CCTV.
Sedangkan istri satunya sudah memegang tangan Rara yang digenggam di belakang tubuhnya seperti tawanan.
“Kau bisa lihat dengan jelas, apa yang suamiku tunjukkan. Jika tidak menggodanya, tidak mungkin suamiku akan keenakan seperti itu,” seru sang istri.
Rara terperanjat, ekspresi apa? Perasaan dia tidak melakukan apa pun yang lebih dari hanya sekedar mengoleskan minyak angin.
“I-itu, saya tidak tahu Bu. Saya bersumpah, demi Allah hanya mengoleskan minyak urut pada Pak Haji,” bela Rara kembali.
“Iya, itu menurutmu. Tapi tanganmu nakal, jarimu gatal. Kalau sekedar mengoleskan, tidak mungkin suamiku sampai segitunya,” teriak sang istri kembali.
“Pokoknya aku tidak mau tahu” sang istri yang memegangi tangan Rara, menarik Rara dengan paksa.
Rara yang tak ada persiapan apa pun, hampir terjatuh karena tarikan yang kuat. Tanpa alas kaki, Rara ikut ke mana majikannya pergi. Jarak rumah Pak haji dan rumah Rara cukup dekat, mungkin kalau dihitung rumah, berjarak sekitar 20 bangunan.
Karena sedang terbakar nafsu, kedua istri haji Dadan yang biasanya anti jalan, kini berjalan dengan cepat, menuju rumah Rara. Warga kampung yang melihat kejadian itu menghampiri dan bertanya pada kedua istri Haji Dadan.
Sambil berjalan, mereka merumpi apa yang terjadi, tentunya dengan bumbu fitnahan dan cerita yang dilebih-lebihkan agar meyakinkan bahwa Rara memang benar bersalah dan layak di usir dari kampung itu.
Semakin lama para pendukung semakin banyak, sudah seperti demo. Teriakan dan iringan hiruk pikuk, bahkan jeritan Rara yang memohon pada kedua istrinya Pak Haji, tak terdengar sama sekali.
Dalam iringan itu tak ada Pak Haji Dadan, sungguh orang tua tidak bertanggung jawab. Ini adalah kesalahan dirinya yang memanfaatkan situasi, tapi malah Rara yang terkena imbas dari otak mesum pria tua yang pengecut itu.
Haji Dadan sengaja menjebak Rara. Karena beberapa kali dia sering meminta Rara untuk menjadi istri ketiganya, ditolak terus. Inilah akibatnya....
**#
Brugh!
Rara didorong oleh istri Pak Haji, saat sampai di teras rumahnya.
Bu Sugeti yang sedang ada di dalam rumah, terkejut dengan keramaian di depan rumahnya. Kemudian langsung berlari ke depan rumah bersama kedua cucunya yang mengekor.
“Ya Allah ... ada apa ini? Nduk ... apa yang terjadi?!” Bu Sugeti histeris dan meraih Rara agar berdiri.
Rara menggeleng dan memeluk ibunya. Dia menangis tersedu, tubuhnya sebenarnya masih sakit bekas penganiayaan Gandi dan kini terasa semakin sakit, ditambah lagi mental yang dipermalukan di depan warga. Sungguh membuat Rara berasa ingin mengakhiri hidupnya.
“Usir dia dari kampung ini, usir...!” seru warga yang tidak memberikan kesempatan pada Bu Sugeti untuk meminta penjelasan.
Bahkan RT di sana pun hanya diam, mencoba menenangkan warga, tapi kewalahan. Padahal sudah dibantu dua orang hansip.
“Maaf Bu Denis, ada apa ini. Apa yang anak saya lakukan hingga seperti ini?” tanya Bu Sugeti sambil menangkupkan kedua tangan di depan istri haji Dadan.
“Tanya saja sama dia, mengapa suamiku yang digoda. Seperti tidak ada lelaki lain yang bisa memuaskan nafsunya. Dia tidak lihat apa? Suamiku udah tua untuk melayani wanita gatel seperti dia. Jangan hanya demi uang, sampe rela menjual diri pada suami orang, sungguh hina, cuih ...!” seru sang istri yang bernama Denis.
“Mungkin ini salah paham Bu, anak saya tidak seperti itu. Saya yakin,” ucap Bu Sugeti memohon untuk mempertimbangkan tuduhan yang mungkin saja memang hanya fitnah.
“Ada buktinya Bu! Pokoknya aku gak mau tahu, dua puluh empat jam, kalian harus tidak ada di kampung ini,” ucap Bu Denis kembali kemudian berbalik arah dan pergi.
Sedangkan istri yang satunya, melemparkan tas milik Rara yang tadi tertinggal dan dibawakan oleh pesuruh ke sana. Para warga hendak melempari Rara dengan batu kerikil yang ada di hadapan mereka, untung saja Pak RT dan kedua hansip bisa menenangkan.
Akhirnya para warga Bubar, tinggal Pak RT dan dua orang hansip yang akan bicara dengan baik pada Bu Sugeti.
Setelah berbincang cukup lama, Pak RT memutuskan agar Rara tidak ada di kampung ini untuk sementara waktu. Tidak perlu satu keluarga. Pak RT yakin, ini semua karena masih panas permasalahannya. Nanti dia akan bertanggungjawab pada warga, akan menjelaskan bahwa permasalahan harus jelas, bukan main usir.
“Woi ... pe la cur ...!”
Bruk!
Seseorang yang sedari jauh sudah berteriak-teriak, dan memukul pintu dengan keras saat sudah sampai rumah, langsung menjambak rambut Rara dan berkata di wajah Rara dengan teriakan yang memekakkan telinga.
“Tak hentinya kau membuat malu?! Mulai hari ini, kau bukan lagi istriku. Aku menceraikanmu saat ini juga!” teriak Gandi tepat di depan wajah Rara. Tangan yang menjambak rambut Rara dihempas dengan kasar. Lalu Gandi pergi lagi entah ke mana.
Rara terkejut, syok dan entah apa lagi yang bisa digambarkan untuk situasinya saat ini.
Setelah sedikit perbincangan lagi dengan Pak RT, tentang keputusan Rara untuk keluar sementara dari kampung ini, kemudian Pak RT dan kedua hansip itu pamit.
Tak lama Lena datang pulang dari kerja. Lagi-lagi dia terkejut mendapati keadaan kakaknya yang sedang tersedu, kepalanya terbenam di pangkuan ibunya. Sedangkan kedua keponakan kembarnya hanya melihat saling berpelukan, tidak mengerti apa pun.
#**
Saat malam tiba, situasi di dalam rumah Sugeti sudah cukup tenang. Bahkan Lena sudah mengetahui cerita yang sebenarnya dari sang ibu.
“Iya, Lena setuju kalau Mbak Rara mau ke kota. Lena tahu, Mbak Retno orangnya baik, pasti mbak Retno akan bantu mbak Rara dalam situasi seperti ini,” ucap Lena.
“Ibu juga berharap pada Retno, hanya dia satu-satunya yang dapat menolong Rara. Kita mau pindah ke mana lagi. Semenjak ayahmu meninggal, sanak saudara seakan jauh, dan tak peduli pada kita. Tapi kita jangan dulu cerita apa apa pada Retno. Tidak enak rasanya,” ujar Bu Sugeti.
Saat perbincangan itu, ponsel Rara berbunyi beberapa kali. Namun, saat Lena mau mengambilnya, deringan ponsel berhenti. Tak berapa lama, sebuah pesan masuk di ponsel Rara dan Lena membacanya.
“Dari siapa, Nduk?” tanya Bu Sugeti yang melihat Lena terbengong saat setelah membaca pesan dari ponsel Rara.
“Ini Bu, istrinya Pak Mantri,” singkat Lena sambil menyerahkan.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments
Yudi Saputra
bagus ceritanya thor
2022-11-17
3
Lina RA
aqu baper crt perselingkuhan, kek@ g jd read deh
2022-10-31
1
DRAGON
baca bab ini aja aku udah sesek nafas hampir nangis 😭😭😭🥺
2022-09-06
0