Note: gambar ini hanya ilustrasi dan didapatkan dari pihak ke tiga.
Jalan aspal yang di tutupi pepohonan yang rindang.
Deburan ombak terdengar sangat kencang.
Semilir angin malam yang dingin, seakan merasuki relung kalbu dengan aura membunuhnya.
Lampu-lampu resort bergoyang mengikut arah angin, disertai bayang-bayang pohon.
Sebagian turis telah beristirahat menenangkan badan namun ada juga yang masih berada di luar resort menikmati indahnya malam.
Ini adalah malam pertama Sean dan kawan-kawan berada di kota lindung ini.
Kota yang di tutupi oleh pepohonan hijau penyejuk mata.
Kota yang sangat asri nan sejuk.
Lalu lalang penduduk menyapa ramah para pelancong asing dengan senyum yang berseri di wajah mereka.
Lambaian tangan yang bersahabat dan terbuka, sapaan yang seolah telah lama akrab makin membuat tempat ini sangat memikat hati kecil Sean.
Mereka menyambut kedatangan para pencari kenikmatan alam dengan segenap hati yang membumbung bangga karena telah memamerkan khas kebudayaan orang-orang setempat.
Malam itu pukul tujuh malam.
Angin laut yang berhembus kencang membuat turis-turis asing ingin menyalakan nyala api yang besar untuk menghangatkan tubuh yang terbungkus kain tipis itu.
Suara burung pantai terus berkoar girang.
Burung camar mengayunkan sayap-sayapnya, berputar-putar di pantai sejauh jarak mata memandang.
Mencari mangsanya yang lezat, nikmat dan tiada akhir bagi burung pelikan ini.
Para nelayan datang dari arah angin laut menuju darat.
Membawa banyak hasil tangkapan ikan.
Dengan menenteng jala di bahu mereka.
Sedangkan sebagian menyandarkan
sampan mereka di dermaga kayu lapuk termakan usia karena deburan air ombak yang asin dan sebagian papannya telah patah karena sudah makin melemah ulah kadar garam .
Senyum sumringah para nelayan nampak jelas, senyum kebahagiaan.
Lampu-lampu tradisional para nelayan menyinari berbagai sudut pelosok bibir pantai.
Sean keluar dari resort.
Berjalan dengan santai, ia ingin menikmati nikmatnya udara Borneo.
"Hei Sean, kemana kau akan pergi?" tanya Edward yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan mengenakan dua buah handuk putih, yang satu ia kenakan di tubuhnya sementara handuk lainnya ia gunakan untuk mengeringkan rambutnya.
"Aku ingin keluar sebentar. Aku lihat Jessica dan ayahnya sedang membakar ikan pemberian nelayan." jawab Sean singkat.
"Tunggu aku, aku akan menyusul!" Edward penuh gairah, tak sabar ia ingin ikut dalam pembakaran ikan.
pikirnya ia tak akan merasakan ikan segar secara langsung seperti saat ini.
"Baiklah!" jawab Sean meninggalkan Edward yang hendak mengganti pakaian.
****
Malam ini mungkin terasa sejuk, hangatnya api menyemangati dinginnya malam.
Jessica dan ayahnya terlihat duduk bersama di sebuah kayu besar seraya mendekatkan tangannya pada nyala api yang bersinar terang.
Mereka memutarkan kayu yang berisi ikan tusuk di dalamnya, penuh kebahagiaan.
"Hei nak!! kemarilah? ayo kita nikmati ikan segar ini!" sapa tuan Muller pada Sean.
Sean perlahan mendekat, kedua tangannya ia masuki kedalam saku celananya.
Ia berjalan dengan gaya khas remaja kekinian dengan kaus tebal dan celana hitam bergaris putih di pahanya.
Berjalan dengan gaya maskulin.
"Wow. Bahkan kau jauh lebih tampan dari Shawn Mendes saat berjalan seperti itu," kelakar Jessica seraya takjub pada penampilan Sean.
"Hei Nak. Ingat kau dilarang mengagumi seorang pria sebelum tenggat waktu yang telah ku tentukan!" Tuan Muller memperingati putrinya dengan tingkah konyol.
"Aku tahu itu ayah!! bukankah Sean adalah sahabat ku. Menurutku memuji penampilan Sean tak melanggar hak siapa pun!! bukan kah begitu Sean."
Jessica berujar ketus pada sang ayah.
Sean tersenyum melihat tingkah kedua ayah dan anak itu.
"Baiklah ayah mengerti. Tapi Sean mengingatkan aku pada diriku dulu saat aku masih muda. Disaat aku berusia 17 tahun sama seperti kalian.
Banyak sekali wanita yang menyukai dan mendekati ku karena ketampanan ku. Ayah pernah berpikir ingin kembali menjadi muda seperti kalian. Aku sangat rindu masa itu,"
Tuan Muller bicara seolah-olah bahwa tak ada yang lebih tampan darinya. Baginya hanya Sean yang mampu menandingi ketampanannya.
"Tunggu!" Jessica menahan bicara ayahnya.
"Bukankah Sean identik dengan orang-orang Asia, sementara ayah identik pada sub indo-eropa, bagaimana bisa ayah setampan Sean sedangkan ayah sendiri bukan orang Asia. Apakah ayah sedang membodohi ku," Jessica sangat deskriptif akan hal ini. Bahkan tak jarang Jessica sering kritis pada ayahnya yang tua itu.
Tuan Muller menatap wajah Sean dan kemudian berpaling menatap wajah putrinya.
Lalu ia melepaskan gelak tawa.
Tawanya pun merusak suasana.
"Ho ho ho ho ho," Tawa khas tuan Muller pecah.
Jessica dan Sean hanya bingung melihat tingkah laku pria tua itu.
Keduanya saling lempar pandangan yang penuh pertanyaan satu sama lain.
"Ternyata putri ku mulai kritis sekarang," Lanjut Tuan Muller bicara.
Di sela-sela candaan Tuan Muller, Edward dengan pakaian yang juga sama kerennya dengan Sean datang menghampiri kesibukan ketiganya.
"Hai paman Muller, Hai Jessica?" sapa Edward menyela keramaian kecil ini.
"Hei nak!"
"Hei eed!"
ayah dan anak itu menyapa bersama.
"Kemari, duduklah disebelah Sean dan nona Muller," tuan Muller meminta Edward bergabung bersama.
"Terima kasih paman telah mengizinkan ku bergabung," Edward menjawab ramah.
Edward duduk di sebelah Sean.
Duduk dengan rapi, seraya bertanya.
"Apakah aku ketinggalan makan ikan segar." Bisik Edward pada Sean pelan.
"Tidak, kau hanya terlambat sedikit." Balas Sean berbisik.
Itulah Edward suka bisik berbisik sampai-sampai Jessica sering memanjangkan telinganya demi ingin tahu apa yang kedua sahabat itu ucapakan.
Apakah mereka membicarakan dirinya?
Atau mereka mengolok-oloknya?
Itulah yang selalu ingin Jessica ketahui dari bisikan keduanya.
"Aku telah membakar banyak ikan malam ini. Selain ikan, Jessica juga dapat jagung dari petani sekitar sini. Jadi aku rasa aku harus membagi hasil salah satu keahlian ku. Yakni hasil memasak ku kepada kalian," Ucap tuan Muller. Dirinya memang benar-benar ahli dalam urusan dapur.
Ia membagikan hasil membakarnya pada ketiga remaja itu.
Ia merasa sangat senang karena telah mengekspresikannya kedalam hobbi.
"Bagaimana? apakah lezat?" tanya tuan Muller pada ketiganya.
"Sangat lezat," balas Jessica seraya menggigit jagung bakar berbeque khas ayahnya.
"Super lezat," tambah Sean.
"Tidak, ini benar-benar sangat lezat," Timpal Edward tak ingin ketinggalan.
Mereka menghabiskan jagung bakar, ikan bakar secara bersamaan pada malam itu.
Menyumpal habis makanan kedalam mulut masing-masing seperti seorang yang tak pernah bertemu makanan berhari-hari.
Menghabiskan makanan bersama, Tuan Muller sesekali menceritakan masa lalunya ketika ia masih remaja, kepada ketiga anak ayamnya itu.
Ia menceritakan kehidupannya yang sangat menyenangkan. Bahkan sesekali ia menceritakan kisah kecil jessica pada Sean dan Edward.
Jessica hanya tersenyum sebal karena ayahnya menceritakan masa kecilnya yang lucu.
Bahkan Sean dan Edward tak henti-hentinya tertawa saat mendengar bahwa Jessica pernah tak memiliki gigi ketika di sekolah dasar.
Mereka menghabiskan malam yang indah dengan gurauan konyol Tuan Muller, dibawah sinar rembulan yang terang.
..
BERSAMBUNG..
**
**
**
**
**
SARANJANA EPISODE 13
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 176 Episodes
Comments
Adinda Indar
wow
2019-10-30
0
instagram: nafadila2216
lanjut Thor , cerita nya makin bagus kesini-kesini
2019-10-06
1
☆ Rhea Deedra ☆
Mereka barbeque_an tp gk ngajak2..
Aromanya smpai sini pula, Thor..
🤤🤤🤤
2019-10-06
4