AI
Sean dan orang tuanya memang sudah lama menetap di Amerika.
Meskipun ia menjadi warga negara di sana bersama orang tuanya, namun Sean bukanlah asli pribumi negeri Paman Sam itu.
Sejak kecil dirinya sudah berada di kota new York yang terkenal dengan bangunan Pencakar langitnya yang menjulang tinggi. Sean merasa itu bukanlah rumah yang sesungguhnya.
Ia hanya ikut ambil bagian dari keluarga kecilnya itu.
Selama tinggal di negara adidaya itu, Sean sudah terbiasa bermain dengan Edward, sahabatnya sejak kecil.
Ya keduanya begitu akrab, sehingga Sean pun tahu tingkah laku Edward seperti apa?
Tingkah manja dan kekanakannya.
Ibanya.
Rasa ingin tahunya yang mendalam akan suatu hal yang baru, semua telah Sean rasakan.
Cukup beruntung bagi Sean bersahabat dengan Edward walaupun sedikit menjengkelkan.
"Hai edd (sapaan akrab Edward Collin)."
Ibu Sean menyapa Edward yang sedang berbicara pada putranya itu seraya melambaikan tangannya.
Tak tahu secara pasti kapan ibu Sean tiba.
"Hai Nyonya Jane."
Balas Edward dengan senyum kecil.
Nyonya Jane kemudian menghampiri kedua remaja itu, memasuki jalan kerikil putih yang terawat Sempurna, taman yang nampak hijau tertata rapi di depan sekolah.
"Hei eed, sudah lama kita tak jumpa?"
Tanya Nyonya Jane seolah-olah sudah bertahun-tahun tak bertemu dengan Edward.
"Ya, nyonya Jane lama tak jumpa. Aku akhir-akhir ini sedang sibuk membantu ibu. Toko ibu sedang banyak pesanan beberapa hari ini, sehingga tidak bisa bermain dengan Sean." Edward dengan senang hati berbasa basi dengan Nyonya Jane.
"Oh! aku melihatnya." Ucap Nyonya Jane paham.
"Kemarin aku bertemu Nyonya Lopez (ibu Edward), dia terlihat sangat sibuk. Dan beruntung ketika aku membeli kue di toko kalian, masih ada kue tart yang sengaja di sisakan oleh Nyonya Lopez.
Aku rasa ia masih sibuk hari ini?" Nyonya Jane mencoba menebak.
"Baiklah, kalau begitu ayo kita pulang. Aku rasa masih banyak sekali pekerjaan kantor yang harus di seselesaikan," Nyonya Jane meminta keduanya berangkat bersama.
Sean mengekori ibunya, namun Edward enggan melangkahkan kakinya, bahkan sejengkal pun tidak?
"Apa kau ingin ikut bersama kami?" Tanya nyonya Jane pada Edward yang terpaku, seraya membuka pintu mobilnya.
Dengan ekspresinya, Edward menolak dengan menggelengkan kepalanya sebagai isyarat ia tak ingin menerima tawaran tumpangan Nyonya Jane.
"Aku rasa masih banyak urusan yang harus aku lakukan. Maafkan aku Nyonya Jane karena tidak bisa ikut dengan kalian," Edward menolak dengan halus.
"Sebaiknya aku pergi dulu Nyonya Jane, terima kasih atas tawarannya," Edward pergi mendahului ibu dan anak itu.
"Baiklah, hati-hati di jalan edd, sampaikan salam ku pada nyonya lopez," teriak Nyonya Jane melambaikan tangan tengadahnya tanda berpisah.
Edward berjalan sudah lumayan jauh, kira-kira dua ratus meter dari Sean. Hingga bayang-bayang punggungnya menghilang.
Lenyap dari pandangan mata.
"Anak itu selalu menolak setiap kali di tawari tumpangan!" gumam Ibu Sean bicara sembarang.
"Apa dia di sekolah selalu menolak tawaran seperti itu?"
Tanya ibu Sean sambil mengemudi.
"Entahlah Bu, aku rasa itu sifat alaminya," jawab Sean lesu seraya wajahnya menatap keluar jendela mobil .
"Hari ini kita akan kemana Bu?" Sean mengalihkan fokus mengemudi ibunya.
"Tentu saja kita akan menuju ke rumah sakit .
Dokter petter akan memeriksakan kesehatan mu lagi," Jawab ibu sean spontan.
Dengan wajah lesunya, Sean hanya menuruti ucapan ibunya.
Sudah menjadi rutinitas Sean harus bertemu dengan dokter saraf seperti Petter ini.
Bahkan ia selalu ingat sapaan akrab Petter padanya.
"Si tampan jagoan ku telah tiba." Itulah ucapan yang selalu Petter sebutkan kala ia menyambut kedatangan AI BOY.
Mungkin Petter sedang merindukan sebuah keluarga di usianya yang tak muda lagi.
Hidup melajang bahkan hingga saat ini Petter tak pernah berniat menjalin hubungan.
Sosok anak bisa saja sedang ia dambakan sehingga ia mengaggap Sean adalah putranya sendiri.
Bagi Sean, mengunjungi Petter tak ada gunanya.
Bahkan ia selama ini tak pernah mengeluhkan sakit apapun, tapi Ibunya selalu memaksa agar di periksakan syarafnya.
.....
.....
.....
Hingga Sean benar-benar tiba di rumah sakit itu.
Rumah sakit tempat dimana Petter bertugas.
Seperti biasanya, Petter menyapa ibu dan anak itu dengan ramah dan bahagia, seolah ia memenangkan sebuah undian 7 milyar.
Kini, dokter Petter sudah siap memeriksa Sean.
Ia memeriksa Sean penuh kehati-hatian.
mula-mula ia menempelkan ELECTROMYOGRAPH (alat evaluasi gangguan syaraf) di lengan sebelah kanan Sean. Kemudian tak Sampai disitu, Petter juga memasukan jari Sean kedalam sebuah benda kecil berwarna putih polos.
OVERVIEW OF FINGERTIP PULSE OXIMETER / ALAT PENGUKUR DETAK JANTUNG MELALUI JARI, mulai menunjukan keadaan detak jantung Sean.
Kedua alat itu tak menunjukan gejala aneh apapun, selain hasil normal.
Bahkan Nyonya Jane pun bisa melihatnya.
Melihat putranya sehat, bahkan tidak terlihat tanda-tanda bahwa ia sakit.
"Apa kau akhir-akhir ini bermimpi yang aneh?"
dokter Petter penasaran.
"Maksud ku, apakah kau merasakan mimpi buruk beberapa hari terakhir?"
dokter Petter meralat pertanyaannya, seraya merubah mimik muka yang lebih serius.
Ia kemudian duduk menatap Sean dengan ekspresi penuh makna yang mendalam, seolah-olah sedang mengintrogasi Sean.
"Aku rasa ya!!! meskipun aku tak tahu apa yang kau katakan tuan Pette!" Sean bicara santai pada dokter petter.
"Apakah kau tidak merasakan mimpi yang begitu menyeramkan, maksud ku adalah; Apakah kau pernah mimpi bertemu makhluk aneh atau semacamnya?" Petter mencoba membuat Sean mengatakan apapun tentang mimpinya.
Sean awalnya ragu-ragu, namun ia teringat sekilas tentang mimpi anehnya beberapa waktu lalu.
" Aku rasa ya," Sean mencoba bicara dengan nada yakin.
Sementara dokter Petter terlihat sangat menantikan jawaban beserta cerita yang akan Sean lontarkan secara langsung dari mulutnya.
"Sejujurnya beberapa waktu lalu aku mimpi bertemu makhluk itu... Makhluk yang sangat buas dan rakus. Makhluk yang tidak pernah aku lihat sebelumnya." Sean mencoba menceritakan pokok mimpinya beberapa waktu yang lalu itu secara detail dan tersusun meskipun agak terputus-putus karena samar-samar tak jelas bayangnya.
"Cukup, aku mengerti."
Dokter Petter tak ingin melanjutkannya.
Ia sudah tahu mimpi yang di rasakan oleh Sean benar akan terjadi, badai kengerian.
Badai bencana yang akan melanda keluarga Sean.
"Baiklah, selesai! sekarang kamu bisa menunggu hasilnya di luar." Dokter Petter mengusir Sean dari ruangannya secara halus, karena ia paham apa yang di maksud Sean.
Seolah-olah ia pernah merasakannya.
Dengan nada bicara yang serius, ia ingin bicara dengan ibu Sean secara empat mata, tanpa ada Sean di dalam ruangan itu. Pembicaraan ini sungguh rahasia, bahkan lebih rahasia dari tugas negara.
"Sebenarnya, keanehan yang dirasakan Sean sudah mulai tampak. Beruntungnya kau segera membawanya kemari,"
Dokter Petter memulai bicara rahasia mereka berdua.
"Kerusakan syaraf Sean hampir saja membuatnya tahu identitas dirinya," Dokter Petter mulai mengkhawatirkan Sean.
Bahkan jauh lebih khawatir dari ibu dan ayahnya.
"Bagaimana jika kau naikan dosisnya," Nyonya Jane mencoba melobby dokter petter. Ia sudah terbiasa dalam hal ini. Terbiasa mengetahui kebenarannya.
kebenaran Sean.
Nyonya Jane melakukannya karena terpaksa.
Dokter Petter menatap wajah Nyonya Jane dengan serius. Bahkan belum pernah nyonya jane merasakan aura keseriusan dari dokter petter sebelumnya.
"Baiklah. Beruntung sebelum kau memintanya, aku telah melakukannya?" Dokter Petter sudah menyiapkan obat dengan dosis tinggi.
Ia memberikannya pada nyonya Jane, sebagai antisipasi, kalau-kalau akan terjadi sesuatu pada Sean.
.......
...
...
BERSAMBUNG...
catatan kecil penulis:
"Hanya ada tiga respon manusia.
Yakni; YES ,NO & WOW."
SARANJANA EPISODE 04
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 176 Episodes
Comments
Raysonic Lans™
wow
2023-09-26
0
KyrGyn
sejauh ini ceritanya bagus n keren, tapi diperbaiki lg penggunaan tanda tanya
2020-07-05
0
Nugroho Andaru
siapakah engkau, Sean
penasaran thor
2020-04-26
0