Jarak Elena dan Evans kini terasa semakin jauh. Mereka berdua layaknya dua orang asing yang tinggal satu atap. Keduanya hanya akan berkomunikasi singkat, ketika berada di hadapan keluarga atau orang-orang kantor saja.
Elena sendiri tak peduli dengan jarak tersebut, ia malah merasa bersyukur karena Evans tak lagi memperlakukannya sekejam kemarin.
"Ini laporan perjanjian kerja sama dengan Emerson Company," kata Elena datar, seraya meletakkan satu buah maps berwarna kuning di atas meja Evans.
"Ok, terima kasih!" ucap Evans tanpa menoleh ke arah Elena.
"Sama-sama, Pak. Saya permisi!" Elena mundur satu langkah sebelum pergi meninggalkan ruangan.
Begitulah cara mereka berkomunikasi setiap harinya. Hanya dengan kalimat-kalimat singkat tanpa sentuhan emosi. Bahkan saat jam istirahat tiba, Elena lebih memilih menjauh dari Evans dan makan sendirian di kantin karyawan.
...***...
Elena tersenyum sumringah, ketika mendapati kekasih hatinya berdiri di depan kantor untuk menjemput Pria muda itu memang sengaja menjemput Elena karena ingin mengajak makan malam romantis di salah satu restoran favorit mereka.
"Padahal aku ingin mandi dulu sebelum pergi. Kalau begini, aku terlihat kusut sekali!" Elena memegang rok dan blouse-nya dengan raut wajah memelas.
"Tidak apa-apa, kamu tetap cantik di mataku," puji Albern seraya mengulas senyum. Pria itu lalu membukakan pintu mobil untuk mempersilakan Elena masuk, tetapi kehadiran Evans bersama Jemima membuat Albern dengan santun menghampirinya terlebih dahulu.
Melihat itu, Elena memilih masuk ke dalam mobil dan menunggu di sana.
"Sore, Kak Evans!" sapa Albern sembari mengulurkan tangannya.
Evans menyambut uluran tangan Albern dan berbincang sejenak. Mereka baru pergi setelah mempersilakan Evans dan Jemima pergi terlebih dahulu
...***...
Dua jam kemudian, Albern dan Elena tiba di salah satu restoran ternama yang letaknya tepat di pinggir pantai. "Pantas saja kamu tidak ingin menungguku pulang dulu," ujar Elena.
"Sudah lama kita tidak kemari." Albern keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Elena.
Mereka berjalan bergandengan tangan menuju restoran. Elena memilih duduk di luar, demi menikmati hawa dingin dan deburan ombat yang merdu.
Aroma pasir pantai dan angin yang berembus membuat Elena mampu melupakan masalah dan kesedihan-kesedihannya sejenak, terutama masalah yang terjadi antara dirinya dan sang kakak.
Di sisi lain, Albern sibuk melihat-lihat buku menu untuk memesan makanan. Tanpa bertanya pada sang kekasih, ia pun menyebutkan makanan kesukaan Elena.
"Ada lagi, Tuan?" tanya sang pramusaji setelah mencatat dan mengulang pesanan mereka.
"Itu dulu saja. Terima kasih," jawab Albern.
"Baik. Mohon ditunggu sepuluh menit lagi." Pramusaji itu pun pergi meninggalkan meja mereka.
Elena tersentak begitu menyadari tangan Albern tiba-tiba menyentuh tangannya. Pria itu menggenggam lembut lalu menciumnya penuh cinta. "Ada apa? Sepertinya pikiranmu sedang tidak berada di tempat ini," terka pria berusia 21 tahun itu.
"Tidak. Aku hanya sedang menikmati suasana yang menyejukkan ini, sambil memikirkan sedikit pekerjaan." Tak ingin membuat Albern curiga, Elena sengaja berbohong padanya.
"Pasti berat?" tanya Albern lembut.
Elena menggeleng. "Menyenangkan jika tidak bertemu dengan orang menyebalkan!" ungkapnya ambigu. Kali ini dia tak sepenuhnya berbohong. Evans dan pekerjaannya memang memiliki keterkaitan satu sama lain. Ia hanya tidak mau menyebutkan nama saja.
"Mungkin karena lingkungan kerja terdapat lebih banyak orang dewasa. Bertahanlah. Setelah masuk kuliah nanti, fokusmu akan terbagi dan kamu bisa bergaul dengan teman sebayamu." Suara Albern yang menenangkan membuat Elena terenyuh.
Tepat sepuluh menit kemudian, makanan yang mereka pesan pun akhirnya datang, dan seperti biasa Albern akan membantu Elena memotong steak miliknya, agar memudahkan gadis itu makan. Elena sebenarnya bisa melakukan hal tersebut sendiri, tetapi rasanya lain jika bisa bermanja dengan sang kekasih.
...***...
"Kamu tidak pulang bersama kami, El?" tanya Jemima, saat dia, Evans, dan Elena sampai di lobby kantor pada jam pulang kantor.
"Aku mau ambil mobil di bengkel dulu, Kak," jawab Elena.
"Bengkelnya di mana? Mau kuantar sekalian?" Wanita itu menawarkan bantuannya pada Elena tanpa persetujuan Evans.
"Tidak perlu, Kak, bengkelnya dekat, kok!" Elena menolak halus ajakan sekretaris utama Evans tersebut. Sementara Evans sendiri tampak tidak peduli dan memilih untuk masuk ke dalam mobilnya.
"Baiklah kalau begitu, kami pamit dulu." Jemima secara terpisah masuk ke dalam mobilnya sendiri, yang berada persis di belakang mobil Evans. Jemima memang tidak pernah lagi menyupiri Evans pulang-pergi dari kantor ke rumah maupun sebaliknya, sebab sudah ada Joe, sang supir pribadi, yang melakukan.
Setelah memastikan kepergian mereka, Elena berjalan keluar area kantor untuk mencari taksi. Beberapa karyawan yang berpapasan dengan Elena sontak menawarkan tumpangan, tetapi Elena dengan ramah menolaknya.
...***...
Mobil Evans yang dikendarai Joe memutar balik, setelah keluar dari area kantor. Tak berapa jauh, Elena pun terlihat sedang berdiri di dalam sebuah halte bus, yang berada di seberang kantor.
"Nona Elena sepertinya belum mendapatkan taksi, Pak," beritahu Joe pada Evans.
"Biarkan saja!" jawab Evans tak ambil pusing. Pria itu hanya menatap datar sosok Elena dari balik kaca mobil.
Mobil pun melaju melewati gadis itu, dan Elena tampaknya tidak menyadari hal tersebut, karena fokus menatap jam tangannya.
Namun, baru saja beberapa meter mobil Evans melewati halte, sebuah suara hantaman keras tiba-tiba terdengar memekakkan telinga.
Joe refleks menginjak pedal remnya, dan menoleh ke belakang untuk melihat apa yang telah terjadi. Begitu pula dengan Evans.
Mata Evans seketika membola, karena tepat di halte bus tadi, sebuah mobil SUV hitam sedang terbakar hebat.
Jantung Evans berdegup keras. Tanpa basa-basi pria itu keluar dari dalam mobilnya dan berlari menuju tempat tersebut.
Setelah berhasil menerobos kerumunan, Evans menemukan Elena yang sudah tergeletak bersimbah darah, tak jauh dari mobil SUV itu.
Tubuh Evans lunglai. Sekuat tenaga ia memangku kepala Elena dengan sangat hati-hati, dan mulai berteriak pada orang-orang yang berada di sana untuk menelepon ambulance.
"El, bertahanlah!" seru Evans sembari menyingkirkan rambut sang adik yang menutupi wajahnya. Pria itu sama sekali tidak peduli pada kemejanya yang mulai basah oleh darah Elena.
Elena tidak merespon. Matanya menatap kosong ke arah lain, sebelum kemudian terpejam tak sadarkan diri.
Seluruh tubuh Evans meremang seketika.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Widi Widurai
kesannya evan malah jd anak ga tau diuntung. hrsnya utk balas budi kl dia ngrasa bukan anak mreka, ya dia jaga anak kandung orang tua angkatnya dong. kl kaya gni kesannya, dia pengen yg jd utama, ortu angkatny gaboleh punya anak.
2022-07-05
1
Yen Lamour
Knp harus tutupin rasa peduli kamu sih evans 😔
2022-06-18
0
Siska Agustin
ngapa kok jadi khawatir,setelah Elena kesakitan aja kamu peduli tp klo Elena baik² saja kamu berusaha membuat dia susah dan kesakitan...
2022-06-16
0