Evans terdiam cukup lama di dalam mobil, menatap sebuah bangunan tua bergaya klasik yang berdiri tegak di hadapannya. Dindingnya kusam dimakan waktu, namun tetap kokoh seolah enggan runtuh.
Bangunan itu menyimpan sebagian kecil masa lalu Evans, yang tak pernah benar-benar pudar.
Di halaman bangunan itu, Evans bisa melihat beberapa anak kecil yang berlarian ke sana kemari dengan tertawa riang tanpa beban.
Panti Asuhan Maria Joseph. Nama itu terukir di atas gerbang besi yang berkarat, sebuah tempat yang sudah lama Evans kenali, karena dari sanalah ia berasal.
Evans sendiri sebenarnya tidak terlalu akrab dengan tempat tersebut, karena ia hanya beberapa hari berada di sana, sebelum akhirnya diangkat menjadi anak oleh kedua orang tuanya yang sekarang.
Dari cerita yang pernah ia dengar, Evans adalah bayi yang dititipkan oleh seorang wanita tunawisma yang tak pernah kembali. Sejak saat itulah, ia dirawat dengan penuh kasih di sana.
Sampai pada akhirnya, Simon dan Samantha datang dan melihat bayi mungil itu, lalu jatuh cinta pada pesona matanya, sebab, warna mata mereka nyatanya serupa.
Lamunan Evans seketika buyar, ketika suara ketukan lembut di kaca mobil mengusiknya. Seorang gadis kecil bermata jade berdiri di sana, menatapnya polos dari balik kaca.
Evans membuka kaca mobil dan tersenyum hangat. “Hai,” sapanya lembut.
“Hai juga, Tuan! Maaf, sejak tadi aku memperhatikan mobil Tuan tidak bergerak sama sekali. Aku kira Tuan sedang mengalami kesulitan,” ujar gadis kecil itu sopan.
Evans tersenyum simpul, tersentuh oleh tutur kata yang begitu dewasa dari seorang anak kecil. Ia lantas turun dari mobil dan berjongkok sejajar dengan gadis itu.
“Siapa namamu?” tanya Evans seramah mungkin.
“Cecilia. Usiaku tujuh tahun, dan aku adalah anak tercantik di panti ini!” jawab Cecilia dengan mata berbinar.
Evans tertawa kecil lalu mengacak rambutnya pelan.
“Jadi, mengapa Tuan berhenti di sini?” tanya Cecilia, masih penasaran. Ia belum puas sebelum mendapatkan jawaban.
“Tidak apa-apa. Aku hanya sedang terpesona melihat kalian bermain di sana,” jawab pria itu.
“Kalau begitu, kenapa hanya melihat dari jauh? Tuan bisa masuk dan menyapa kami.”
Evans meringis kecil. Gadis ini benar-benar kritis dan tak mudah menyerah.
Baru saja ia hendak menjawab, suara seorang wanita tua terdengar dari kejauhan.
“Cecil, jangan ganggu Tuan itu!” tegurnya lembut.
"Maaf, Madame. Aku hanya penasaran mengapa Tuan tampan ini tidak mau masuk ke dalam panti,” balas Cecilia, tanpa sedikit pun merasa bersalah.
Wanita tua itu menghampiri, lalu mengusap kepala sang gadis dengan sayang. “Kembalilah bermain, Sayang. Ajak adik-adikmu makan kudapan, ya?”
Cecilia mengangguk semangat. “Dah, Tuan tampan!” serunya sambil melambaikan tangan, lalu berlari riang ke arah teman-temannya.
Evans membalas lambaian itu dengan senyum yang belum sepenuhnya reda dari sana.
“Maafkan kelakuan anak itu ya, Nak. Dia memang cerdas, tapi sedikit cerewet. Para suster sering dibuat pening olehnya,” kata wanita tua itu sambil tertawa kecil.
“Tidak apa-apa,” jawab Evans singkat.
“Omong-omong, saya Maria, pemilik panti ini. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya seraya mengulurkan tangan.
Evans mematung beberapa detik. Maria adalah nama yang tidak asing di hidupnya, sebab ia adalah wanita pertama yang menggendong dan memeluknya, saat pertama kali dititipkan di panti ini.
Evans menyambut uluran tangan itu dengan pelan. “Apa kabar, Madame Maria?”
Maria mengerutkan kening. Matanya sibuk menelisik wajah Evans dengan saksama, seolah sedang menyusun potongan-potongan ingatan yang nyaris usang.
“Saya Evans, putra angkat keluarga Wileen yang diadopsi dari sini tiga puluh tahun lalu.”
Sejenak, waktu seperti membeku.
Maria tertegun. Keluarga Wileen. Nama itu tak pernah hilang dari ingatannya. Donatur paling dermawan yang pernah dimiliki panti ini, sebelum akhirnya diambil alih oleh pemerintah.
Mata tua Maria mulai berkaca-kaca. Ia memandangi Evans yang kini menjelma menjadi pria dewasa dalam setelan jas rapi. Ada rasa haru dan kebanggaan yang menguar dalam diri wanita itu, ketika melihat penampilan Evans, si bayi mungil kesayangannya.
Tangan Maria yang bergetar kini terangkat, hendak menyentuh pipi Evans dengan sayang. Evans pun membungkuk, membiarkan dirinya disentuh oleh tangan penuh kasih itu.
"Syukurlah kau tumbuh dengan sehat, anakku," ucap Maria dengan suara parau. Ia pun mempersilakan Evans untuk masuk ke dalam panti.
Melihat kedatangan Evans, anak-anak panti yang sedang bermain sambil memakan kudapan di halaman, langsung mengerubunginya untuk berkenalan. Evans bercengkerama dengan anak-anak selama beberapa saat, sebelum kemudian pergi menuju ruang kerja Maria.
Di sana lah Maria memperlihatkan dua lembar foto Evans saat baru dititipkan di panti.
"Hanya ini foto yang aku miliki. Wanita yang aku kenal sebagai ibumu, tidak pernah terlihat lagi sejak itu. Ada selentingan kabar mengatakan, bahwa dia dipindahkan ke panti sosial. Namun, ada juga yang mengatakan kalau ibumu sudah meninggal."
Evans mengambil foto tersebut dari tangan Maria. Ia yang memang tidak pernah mengenal siapa ibunya, memilih untuk tidak berkomentar. "Boleh aku simpan foto ini, Madame?"
"Tentu saja! Simpanlah baik-baik."
Evans menatap foto tersebut dengan saksama, menatap lekat-lekat sesosok wanita bermantel tebal yang wajahnya tertutupi kupluk dan syal.
Maria kemudian mengajaknya berbincang-bincang mengenai panti asuhan, sekaligus kebaikan Keluarga Wileen yang sudi menolong disaat panti berada di ujung tanduk.
"Kalau bukan karena kedua orang tuamu, panti ini pasti sudah tutup sejak dulu," kata Maria. Wanita berusia hampir 70 tahun itu kemudian memegang tangan Evans dan menepuk-nepuknya lembut. "Berbahagialah dengan keluargamu, Nak. Madame tahu betul, kamu adalah segalanya bagi mereka."
Evans tertegun mendengar pernyataan tersebut.
...***...
“Sayang, kamu dari mana sampai pulang malam begini?” tanya Samantha, saat Evans masuk ke dapur, tempat wanita itu tengah memasak.
“Aku baru dari panti, Ma,” jawab Evans jujur.
Samantha menghentikan kegiatannya mengaduk makanan. “Mama sudah lama sekali tidak ke sana. Apa pantinya baik-baik saja? Bagaimana dengan Madame Maria?” tanyanya bertubi-tubi.
Evans tersenyum tipis. “Panti dalam keadaan baik, dan Madame Maria masih sangat sehat.”
“Syukurlah. Kapan-kapan ajak Mama ke sana, ya?”
Evans mengangguk. Ia lalu memeluk sang ibu erat-erat, dan mengecup pipinya dengan lembut.
“Eh, ada apa ini? Tumben sekali,” ujar Samantha setengah heran, dan setengah tersenyum.
“Tidak ada apa-apa, Ma. Aku hanya sedang teringat masa lalu,” jawab Evans lirih.
Samantha lantas membalas tatapan Evans, kemudian menyentuh pipi putranya penuh sayang. “Masa lalumu adalah sebagai anak Mama dan Papa.”
Evans tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, syarat penuh makna.
“Aku pulaaang!” Tiba-tiba, suara ceria Elena memecah momen itu. Gadis itu masuk bersama Lily dan Anna, yang membawa tas besar dan paper bag penuh oleh-oleh.
Elena mencium pipi Samantha, lalu menyapa Evans sekadarnya. Tapi pandangan sang ibu membuatnya buru-buru mencium sang pipi kakak juga.
“Wah, banyak sekali oleh-olehnya!” seru Samantha sambil menatap tumpukan barang di atas meja dapur.
“Aku bingung memilihnya, jadi kuborong saja semua,” kata Elena, menggaruk pipinya yang tak gatal.
Samantha menghela napas panjang. “Ya sudah, kalau begitu kalian cepat mandi dan ganti baju, ya? Kita makan malam bersama. Papa tidak ikut karena ada janji makan malam dengan temannya.”
“Siap!” jawab mereka hampir serempak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Siska Agustin
marathon baca karna penasaran kisahnya dan baru nemu ini keknya critanya seru..tp knp yg baca kok dikit yaa padahal bagus loh critanya..ayo kak othor semangat berkarya dan promoin critanya biar banyak yg baca dan like semangat semangat semangat 💪🏼💪🏼💪🏼
2022-06-16
1
🔵◡̈⃝︎☀MENTARY⃟🌻
Hwaiting Kk
My Bestie mampir
2022-06-12
0
@ᵃˢʳʏ ᵛᵃʳᴍᴇʟʟᴏᴡ🐬
weew mencoba baca GECe😂😂
2022-06-11
1