"Selamat datang Mr. Evans!" Seorang pria bertubuh tinggi tegap segera membungkuk hormat pada Evans yang baru saja tiba. "Saya Joe, yang akan menjadi supir pribadi Anda mulai saat ini."
Evans mengangguk singkat. Joe kemudian membukakan pintu mobil guna mempersilakan Evans dan Jemima masuk.
Suasana di dalam mobil tampak hening. Tak ada perbincangan di sepanjang perjalanan. Sejak awal keberangkatan hingga sampai di tempat ini, Evans berubah menjadi sosok yang lebih dingin dan pendiam.
Jemima sebenarnya tahu apa yang menyebabkan Evans berlaku demikian. Namun, wanita itu tak ingin ikut campur pada kehidupan pribadi tuannya tersebut.
"Anda ingin pergi ke suatu tempat terlebih dahulu atau langsung pulang, Mr. Evans?" tanya Joe tak lama kemudian.
Evans menatap jam tangannya sejenak. "Antar aku ke kantor dulu," jawab pria itu datar.
"Baik!" Joe menganggukkan kepalanya.
...***...
Hari ini Elena tiba di rumah tepat waktu. Albern yang sedang sibuk dengan tugas kuliahnya terpaksa membatalkan rencana untuk menjemput sang kekasih. Elena jadi tidak memiliki alasan lain agar bisa pulang terlambat demi menghindari seseorang, yang mungkin sudah berada di rumah.
Elena berdeham. Ia masuk ke dalam rumah dengan cara mengendap-endap.
"Nona El!" tegur Lily, salah seorang asisten rumah tangga yang paling sering melayani kebutuhan pribadinya.
"Ssstt!" Elena meletakkan jari telunjuknya ke bibir. "Sepi sekali! Kakakku sudah datang?" tanyanya sembari berbisik.
Lily menggelengkan kepala. "Nyonya bilang, Tuan Evans mampir ke kantor dulu. Nyonya baru saja menyusul ke sana. Beliau menitip pesan pada saya untuk disampaikan pada Nona."
Raut kelegaan langsung terpancar dari wajah cantik Elena. "Pesan apa?" tanya gadis itu dengan nada biasa lagi.
"Anda diminta menyusul ke kantor," jawab Lily santai.
Elena tentu saja menolak tegas. "No! Lebih baik aku tidur saja. Kalau mama telepon, bilang saja aku sedang berhibernasi hingga batas waktu yang tidak dapat ditentukan!" serunya dengan mematri wajah seketus mungkin.
Tanpa bicara apa-apa lagi, Elena lantas melenggang santai melewati Lily, menuju lantai dua.
"Tapi Non—"
Perkataan Lily terhenti saat Elena mengangkat tangannya ke atas sembari mengepal. Tanda bahwa dia menyuruhnya untuk diam.
Sesampainya di kamar, Elena langsung membasuh diri dan berganti pakaian. Ia juga meminta Lily untuk mengantarkan makanan ke kamar, melalui interkom.
Sambil menunggu makanan datang, Elena memilih menonton televisi dengan santai.
...*************************************************...
Hamparan ladang gandum membentang luas bak permadani indah di salah satu sudut desa terpencil itu. Seorang wanita muda terlihat sedang duduk tenang di atas papan beroda yang tampak ditarik oleh pria pujaan hatinya.
Mulut wanita itu bersenandung, mengiringi langkah kaki si pria yang sesekali menoleh ke belakang dan tersenyum padanya.
Tak butuh waktu lama, keduanya tiba di depan sebuah bangunan rumah sederhana yang semuanya tersusun dari papan dan batu saja.
Wanita muda itu turun dari atas papan beroda, sembari membawa dua buah kantong perca berisi sayur dan buah yang baru saja mereka tukar dengan dua helai mantel buatan sendiri.
Tak ada yang istimewa dari interior rumah tersebut. Lantainya hanya beralaskan tanah padat, sedangkan toilet terpisah di luar. Di dalamnya hanya ada satu buah papan berkaki yang dipakai mereka sebagai alas tidur, dan sebuah perapian kecil yang dipenuhi beberapa gerabah untuk memasak.
Meski hidup serba kekurangan, sepasang suami istri muda itu tampak sangat bahagia. Mereka terlihat saling membantu dan saling menguatkan satu sama lain.
...***...
Suasana gelap lantas tergantikan, saat si pria berhasil menyalakan obor untuk penerangan rumah mereka. Keduanya kini duduk di atas tempat tidur sederhana, sambil berpelukan untuk menghalau dingin yang mulai menerpa.
"Sudah lebih hangat?" tanya sang suami pada wanita muda itu.
Si wanita mengangguk semangat. "Terima kasih," ucapnya riang.
Rumah yang mereka tinggali memang tak cukup menahan panas matahari dan dinginnya malam. Namun, keduanya sama sekali tidak mempermasalahkan keadaan yang ada. Terlebih, pada si wanita, karena hampir setiap malam pria itu akan memeluk tubuhnya demi memberikan kehangatan sampai ia tertidur.
"Terima kasih," ucap si pria lirih, sambil mengeratkan pelukannya.
"Untuk apa?" tanya wanita muda itu.
"Segalanya. Jujur saja, terkadang aku masih merasa malu karena telah membawamu dalam kehidupan yang penuh dengan berbagai kepedihan ini."
"Tidak, Sayang. Bukan kau yang membawaku, melainkan aku yang mengikutimu." Wanita muda itu mengelus pipi sang suami lembut.
"Berjanjilah Iris, bahwa kita akan terus bersama," ujar si pria.
Iris mengangguk mantap. "Meski bumi terbelah dua, dan semesta hilang dari peraduannya, kita akan terus bersama dan aku akan selalu mencintaimu, Leon." Matanya menatap sang suami penuh cinta.
Leon tersenyum, tangannya terulur memegang dagu Iris dan mulai mengecupi seluruh wajahnya dengan gerakan selembut mungkin.
Mata mereka saling terpejam satu sama lain. Tak ada satu kata pun lagi yang terucap dari kedua insan yang tengah dimabuk asmara itu. Mereka seolah saling berbicara melalui bahasa tubuh masing-masing.
Iris menyampirkan surai keemasannya, ketika bibir halus Leon sampai pada tulang selangka wanita itu.
Leon mengg*git, mengh*sap dan membelai tubuh Iris menggunakan bibir tipisnya. Ia juga membuat tanda kepemilikan di sana, sebelum kemudian beralih pada dua aset Iris yang hanya tertutupi oleh selimut tipis milik mereka.
Iris menggigit bibirnya sendiri, saat Leon mulai menyapu seluruh tubuh bagian depannya. Tangan wanita muda itu bahkan mulai mencengkeram erat pada selimut yang membalut tubuhnya.
Perlahan, sang suami merebahkan Iris dan mulai membuka seluruh kain yang ada di tubuh wanita tercintanya.
"Hmm!"
"Bunuh dia!"
Tiba-tiba suara bariton seorang pria terdengar menggelegar.
Iris sontak membelalakkan matanya, ketika sebuah kapak besar berada persis di atas kepala Leon dan hendak berayun.
"TIDAAAK!"
...********************************************...
"TIDAAAK!"
Elena terbangun dari tidurnya dengan wajah pucat pasi. Keringat dingin terlihat membasahi seluruh tubuh gadis berusia 18 tahun itu.
Ia lagi-lagi memimpikan gadis bernama Iris. Elena bahkan selalu ketakutan, setiap kali mengingat sebuah kapak besar yang hendak menghantam kepala pria pasangan Iris.
Sorot mata Elena berubah horor. Ia memeluk kedua bahunya sendiri dengan napas memburu.
Bagaimana tidak, mimpi yang baru saja terjadi tampaknya terasa lebih nyata dari pada kemarin-kemarin.
Elena sontak memegang tulang selangkanya. "Shit!" umpat gadis itu.
Suara ketukan pintu terdengar tak lama kemudian. Lily masuk ke dalam kamar dengan membawa nampan berisi makan siang dan segelas jus dingin untuk Elena.
"Lama sekali, sih! Aku sampai ketiduran tahu!" ketus Elena.
"Ma–maaf, Nona, saya harus menerima telepon dari Nyonya Samantha terlebih dahulu. Beliau juga sudah saya beritahu perihal penolakan Nona untuk pergi ke kantor."
"Baiklah, kamu boleh pergi." Elena mengambil nampan tersebut dari tangan Lily. Pelayan muda itu pun pergi meninggalkan kamar sang nona.
Tak ingin memikirkan mimpi aneh tersebut, Elena bergegas mengganti pakaiannya yang kini telah basah oleh keringat, sebelum menyantap makanan yang dibawa oleh Lily.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
ZhieLaa
hobinya ketiduran 😂
2022-11-15
0
ZhieLaa
masa lalu kah ini ??? ato di dunia berbeda ??
2022-11-15
1
ZhieLaa
hibernasinya kurang jauh sekalian ke kutub utara 😂
2022-11-15
1