“Bagaimana pekerjaan kalian hari ini? Apa semuanya berjalan lancar?” Suasana tenang di meja makan keluarga Wileen, kini mendadak terasa seperti ruang interogasi tak kasatmata, saat Simon akhirnya memecah keheningan di antara mereka. Pria itu sebenarnya tengah menanti cerita dari anak-anaknya, tetapi hingga pertengahan makan malam, tak satu pun dari mereka yang tampak berniat buka suara.
Elena mengangkat wajahnya perlahan dan melirik ke arah Evans yang duduk di seberangnya dengan raut beku tak bernyawa. Ia lalu mengukir senyum di wajahnya yang bahkan sudah terlalu letih untuk berpura-pura. “Iya, Pa, semua berjalan lancar,” jawab Elena dengan nada yang dibuat seramah mungkin, meski setiap katanya mengandung serpihan luka.
“Kakak juga sangat baik membimbingku, meski aku harus mengerahkan seluruh tenaga dan pikiran ekstra, untuk bisa mengimbangi ritme kerja di kantor.” Senyum itu masih bertahan di wajahnya, rapuh tapi tampak elegan, mengiringi kalimat dustanya.
Evans yang mendengar jawaban Elena, hanya mengangkat kepala dan mengangguk pelan.
Melihat sikap sang kakak yang seperti tidak memiliki perasaan bersalah, Elena tanpa sadar menggenggam garpunya erat-erat.
“Baguslah,” ujar Simon, mencoba terdengar optimistis, meski sorot matanya mengandung kekhawatiran yang sulit disembunyikan. “Papa harap kalian bisa saling dekat satu sama lain setelah belasan tahun terpisah. Kalau hubungan kalian membaik, hati Papa dan Mama juga akan tenang.”
Kalimat itu menghujam tepat di dada Elena, hingga membuatnya nyaris tak sanggup menelan makanan yang sedari tadi hanya dipindah-pindahkan di atas piring.
Kalimat itu terlalu penuh dengan harapan yang sia-sia.
“Benar!” sambung Samantha, ibunda mereka, dengan suara lembut yang menyiratkan pengharapan pada putra-putrinya. “Kalian harus saling mendukung, karena Papa dan Mama tidak tahu sampai kapan bisa terus mendampingi kalian.”
“Iya, Pa, Ma,” jawab Elena sambil menunduk, enggan menatap wajah kedua orang tuanya.
Di sisi lain meja, Evans hanya memberikan anggukan kecil tanpa sepatah katapun.
...***...
Pagi ini, Elena terlihat turun dari lantai dua dengan terburu-buru. Percakapan larut malam melalui telepon bersama Albern, yang kini sedang menemani ayahnya dinas ke luar kota, membuat Elena baru bisa memejamkan matanya sekitar pukul tiga pagi.
“Aku berangkat dulu, Ma!” serunya sambil menggigit roti gandum berlapis selai kacang buatan sang ibu.
“Hati-hati, Sayang,” balas Samantha dengan senyum simpul, yang tak pernah tahu betapa banyak luka yang sedang ditutupi oleh putrinya.
Elena terpaksa menyetir sendiri menuju kantor, dan sesampainya di sana, ia langsung melangkah menuju lantai sepuluh, tempat di mana rapat pagi akan digelar.
Dalam perjalanan tadi, Jemima telah menelepon dan menyampaikan pesan Evans, agar membantu menyiapkan ruang rapat yang akan dimulai dalam waktu setengah jam.
“Nona Elena, ada yang bisa saya bantu?” tanya Emma, salah satu office girl kantor, ketika mendapati Elena tiba di ruang rapat.
“Rapat akan dimulai sebentar lagi, kan?” Elena balik bertanya sambil memeriksa ruangan.
“Iya, Non. Saya dengar ruangan ini yang akan digunakan,” jawab Emma santun.
“Baiklah!” seru Elena bersemangat. Emma sempat menawarkan diri, tetapi gadis itu menolaknya halus.
“Kalau begitu, saya bertugas di ruangan sebelah. Kalau butuh bantuan, silakan panggil saya, ya, Non?”
Elena tersenyum, berusaha tetap ramah meski tubuhnya akan terasa lebih berat dari biasanya.
Setelah menata semua kebutuhan rapat hingga sedetail mungkin, mulai dari botol air, fotokopi dokumen, AC, monitor, dan mikrofon, ia pun membiarkan pintu ruangan terbuka, demi memudahkan para peserta rapat masuk ke dalam ruangan tersebut.
...***...
"Beritahu mereka kalau rapat dipindahkan ke lantai dua belas. Pastikan semua orang tahu!” titah Evans mendadak, sesaat setelah Jemima memberitahukan bahwa Elena telah selesai menyiapkan ruangan.
Jemima terkejut. “Vans, Elena baru saja selesai menyiapkan ruangan!” tukasnya.
“Jangan membantah, Jem!” balas Evans tanpa nada, tapi terasa dingin dan tegas.
Jemima terdiam, lalu mengembuskan napas panjang. “Baiklah, aku akan menelepon Elena dulu.”
“Tidak perlu. Nanti juga dia akan tahu sendiri.”
Jemima mengatupkan bibirnya. Kali ini tampaknya Evans sudah sangat keterlaluan pada adiknya yang sedang mencoba bertahan.
Ia hanya bisa berharap, Elena bisa bertemu peserta rapat lain dan menemukan tempat yang sebenarnya.
...***...
Dua puluh menit pun berlalu. Namun, tidak ada satu pun anggota rapat yang datang ke ruangan itu. Wajah Elena sontak menegang kembali, saat menatap jam tangannya, karena rapat seharusnya sudah dimulai sejak tadi.
Gadis itu pun memilih untuk menunggu di depan lift, guna menunggu para peserta rapat di sana.
Namun, lagi-lagi lantai ini masih terasa sepi dan sunyi. Saat akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke ruangan, Emma pun muncul dengan tatapan iba yang menusuk hati.
“Nona Elena,” panggil Emma pelan.
“Ya, ada apa, Emma?” Elena tersenyum tipis.
“Tadi saya ke lantai dua belas dan bertemu Nona Jemima. Beliau menitipkan pesan, kalau rapat ternyata dipindahkan ke sana oleh Pak Evans.”
Elena tak menjawab. Dadanya terasa sesak seperti ada sesuatu yang meremas jantungnya.
Evans yang menyuruhnya untuk menyiapkan ruangan itu, tetapi ia pula yang mengubahnya tanpa memberi tahu apapun.
“Oh, iya! Ya ampun, aku lupa kalau beliau sempat bilang tadi!” dustanya dengan tawa kecil yang getir. Elena tak ingin membuat malu siapapun, termasuk dirinya sendiri.
Senyum tipis itupun kembali mengembang di bibirnya. “Terima kasih, Emma. Tolong rapikan ruangan ini, ya," pinta gadis itu lirih, tapi tetap terdengar biasa.
“Baik, Nona. Biar saya saja yang urus,” jawab Emma penuh simpati.
“Kamu baik sekali,” ujar Elena sambil menepuk lembut pundaknya, lalu berjalan pergi dengan langkah cepat nyaris tak berpijak.
“Jangan menangis, Bodoh! Jangan menangis!” batin Elena berteriak di sepanjang lorong kosong yang menggaung sepi.
Tak ada siapapun. Hanya ada dirinya, dan airmata yang kini mengalir membasahi pipi gadis itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Yen Lamour
Sungguh terlalu 😖
2022-06-17
1
Siska Agustin
Evans belum pernah digampar pakai sandal kah?!! sini klo mau coba aku dg senang hati mau gampar lu?!!!
2022-06-16
0
🔵◡̈⃝︎☀MENTARY⃟🌻
Makin Seru Kk
My Bestie mampir
2022-06-14
0