Study tour yang ditunggu-tunggu akhirnya terlaksana juga. Para siswa-siswi angkatan akhir yang terdiri dari lima kelas, mengadakan kunjungan ke sebuah museum sejarah yang berada jauh di kota lain.
Butuh waktu lima jam untuk sampai di tempat tersebut menggunakan bus pariwisata.
Perjalanan terasa semakin berkesan, ketika bus yang mereka tumpangi mulai memasuki wilayah pedesaan yang asri. Hamparan padang rumput luas dan peternakan sapi yang mereka lewati, membuat para murid tampak antusias dan gembira. Tak hanya itu saja, bus juga melintasi perkebunan anggur, apel, dan kiwi yang menyegarkan mata.
Jenny yang duduk sebangku dengan Elena pun tak kalah heboh. Gadis itu mengabadikan setiap pemandangan indah dengan kamera polaroid yang dibawanya.
“Sekali-kali, mata kita memang harus dimanjakan dengan pemandangan pedesaan seperti ini. Kamu, sih, enak, punya dua pemandangan yang sama-sama menyegarkan mata!” celetuk Jenny tiba-tiba.
“Hah? Pemandangan yang mana?” tanya Elena heran, alisnya bertaut bingung.
“Ck! Itu, loh, Albern dan kakakmu yang super duper tampan!” seloroh Jenny sambil terkikik genit.
Elena tertawa getir. Di satu sisi, ia tak bisa membantah pernyataan Jenny. Tapi di sisi lain, ia tidak menyetujui ketampanan pria satunya yang memiliki hati sebengis iblis!
Bus akhirnya berhenti di sebuah pelataran gedung megah berarsitektur klasik. Ornamen dan patung-patung yang tersebar di sekeliling bangunan, membuat tempat itu tampak begitu berkelas sekaligus mencekam.
Sebuah air mancur besar terletak di tengah-tengah halaman museum. Di atasnya berdiri sesosok patung kuda yang ditunggangi pria berjubah emas, simbol keangkuhan masa lalu yang enggan mati.
Para siswa dipersilakan turun dari bus.
“Wow, ternyata semegah ini Museum Kerajaan Oswald!” seru Jenny. Matanya nyaris tak berkedip menatap bangunan di hadapannya.
Museum yang didirikan pada tahun 1880-an ini memang diperuntukkan bagi peninggalan Kerajaan Oswald, kerajaan yang telah runtuh sebelum masehi.
Awalnya, museum tersebut hanya terdiri atas satu bangunan. Namun, pada akhir tahun 1990-an, pemerintah membangun sebuah hotel di atasnya, mengingat kawasan itu termasuk dalam wilayah agrowisata.
Mr. Edward, guru sekaligus kepala koordinator study tour, menyuruh para siswa membentuk barisan, agar dapat masuk secara bergiliran untuk menerima kartu identitas sesuai nama dan kelas masing-masing. Rencananya, mereka akan menginap di sana selama satu malam.
Interior museum tak kalah menakjubkan. Jenny bahkan nyaris kehilangan kendali, jika saja Elena tidak segera menahan dagunya.
“Wajahmu jadi mirip ikan mas koki!” ejek Elena.
Jenny mendelik kesal. Mereka lalu naik ke lantai atas untuk melakukan check-in kamar.
Elena akan berbagi kamar bersama Jenny, Bella, dan Abigail.
“Perhatian semuanya! Kalian dipersilakan masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat terlebih dahulu. Kita akan berkumpul kembali saat jam makan siang! Jangan lupa kenakan id-card kalian!” seru Mr. Edward sambil mengangkat tinggi kartu identitas di lehernya.
Semua murid serempak mengiyakan. Mereka lalu mencari kamar masing-masing dengan tertib.
“Wah!” pekik Elena dan teman-temannya ketika membuka pintu kamar. Interiornya bergaya klasik dan mewah, dengan dilengkapi dua ranjang besar yang sangat empuk.
Elena meletakkan tas di lemari, lalu bergegas menuju balkon. Matanya langsung dimanjakan oleh pemandangan Gunung Oswald yang megah dan memesona.
Jenny, Bella, dan Abigail segera menyusul gadis itu.
“Indah sekali! Rasanya sayang kalau hanya semalam,” gumam Abigail dengan suara sendu. Ia merentangkan tangannya, seolah ingin memeluk seluruh langit.
“Kamu benar!” timpal Jenny setuju.
Mereka lalu kembali ke dalam dan duduk di atas ranjang sambil berbincang ringan, sambil menanti waktu makan siang tiba.
...***...
Evans menatap layar monitor dengan sorot mata dingin dan penuh fokus. Untuk pertama kalinya, pria itu menggantikan sang ayah memimpin rapat peluncuran salah satu produk unggulan Wileen Group, yang akan dipublikasikan awal bulan depan.
Tepuk tangan sontak bergemuruh mengisi ruang rapat, ketika gambar sebuah smartphone muncul di tengah meja bundar.
Anshel Phone, smartphone terbaru buatan Wileen Group yang memiliki keunggulan luar biasa. Salah satu keunggulannya adalah mampu mendeteksi kondisi tubuh sang pemilik secara otomatis. Bahkan, ponsel tersebut dapat menyala dalam gelap, hingga memudahkan pemilik menemukannya kapan pun dibutuhkan.
Namun, fitur paling unggul dari perangkat itu adalah layanan daruratnya, yang dapat menghubungi sejumlah kontak penting secara otomatis, saat pemilik mengalami kecelakaan atau tindak kriminal.
Hanya dengan satu tombol, lokasi kejadian akan langsung terkirim ke database kepolisian, tanpa perlu menunggu pelacakan manual.
Evans berdiri dari kursinya. Dengan sikap tegas tapi santun, ia menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam proyek smartphone ini.
Setengah jam kemudian, rapat resmi ditutup. Para petinggi perusahaan menyalami dan memeluk Evans.
“Simon memiliki putra yang luar biasa. Kami percaya Wileen Group akan berkembang pesat di tanganmu, Evans Cedric Wileen. Semua harapan kini kami titipkan padamu,” ujar Martin, salah satu direktur senior, sambil menepuk lengannya.
“Terima kasih atas kepercayaannya, Mr. Martin,” balas Evans dengan tenang.
Setelah rapat, Evans kembali ke ruangannya didampingi Jemima.
“Mau makan siang di mana, Vans?” tanya Jemima. Kedekatan mereka membuat Evans tak pernah keberatan dipanggil begitu, kecuali dalam forum resmi.
“Di sini saja. Pesankan makanan cepat saji dari restoran depan,” jawabnya singkat.
“Oke!” Jemima langsung menghubungi restoran.
Beberapa saat kemudian, Simon masuk ke dalam ruangan dan menghampiri Evans.
“Itu hanya rapat biasa, Pa. Aku baru layak diberi selamat kalau peluncuran Anshel Phone nanti berjalan sempurna,” ujar Evans datar.
“Tak masalah. Papa akan memberimu ucapan selamat dua kali, kalau begitu.” Simon tertawa ringan, membuat ruangan terasa sedikit lebih hangat.
Evans tersenyum kecil.
“Besok, temani Papa dan Mama menjenguk kolega Papa yang sedang sakit, ya? Kamu bisa, kan?”
“Bisa, Pa.”
Simon menepuk pundak putranya dan berlalu.
...***...
Elena, Jenny, Bella, dan Abigail memilih duduk di balkon restoran. Mereka berniat ingin menikmati makan siang sambil menatap pemandangan indah yang terbentang di depan mata.
Di sela-sela makan siang mereka, Mrs. Jane membunyikan gelas dan sendoknya, guna meminta perhatian semua siswa.
“Anak-anak, setelah makan siang, kita akan menuju lantai satu untuk tur keliling museum. Kalian akan dibagi ke dalam lima kelompok berdasarkan kelas. Malam harinya kita akan mengadakan pesta barbeque di taman belakang hotel. Ssst! Diam dulu, biarkan saya selesai bicara!” serunya, menghentikan sorak sorai yang mulai pecah.
“Keesokan harinya, dalam perjalanan pulang, kita akan singgah di taman wisata. Jadi, pastikan tidak ada barang yang tertinggal, dan jangan membuat keributan. Jaga sopan santun. Mengerti?”
“Mengerti, Mrs!” jawab para murid serempak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
ZhieLaa
aaah jadi kangen pariwisata jaman sekolah 😄
2022-11-16
1
Siska Agustin
😊🥰🥰 senengnya klo berwisata begini,tp ttp sama temen² brasa ikutan ada di sana aku...
2022-06-16
0