"Kenapa wajahmu masam begitu, El? Habis bertengkar dengan Albern?" tanya Jenny pelan. Tatapannya terhenti pada raut letih yang terpampang jelas di wajah sahabatnya.
Elena datang terlambat hari ini. Sesuatu yang sangat jarang terjadi, mengingat kedisiplinan Elena selama ini.
"Tentu saja tidak!" jawab Elena, berusaha bersikap biasa saja. Ia memanyunkan bibirnya sedikit, seperti kebiasaan anak kecil yang enggan menjawab jujur.
"Lalu?" tanya Jenny penasaran.
"Yah, siapa lagi kalau bukan karena dia, yang memiliki nama keluarga yang sama denganku! Cih, wajahnya saja tak pernah kulihat selama lebih dari tujuh tahun!" jawab Elena ketus. Ia lalu menjatuhkan kepalanya ke atas meja, menenggelamkan wajah dalam keheningan yang menjengkelkan.
Jenny terkejut, lalu dengan cepat menggeser kursinya mendekat. "Kak Evans sudah pulang? Kamu sudah bertemu dengannya? Apa dia masih dingin terhadapmu? Apa dia membuatmu menangis lagi seperti dulu?"
Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian hadir, mengalir cepat dari mulut Jenny tanpa jeda.
Elena hanya bisa menghela napas panjang. "Rasanya menyesal menceritakan semua ini padanya!" batinnya lirih. Sejak ia mulai berbagi kisah tentang keluarga, Jenny jadi terlalu antusias sekaligus merasa aneh.
Bagaimana tidak aneh, bila ada seorang kakak yang membenci adik kandungnya sejak sang adik masih bayi? Bukan karena cemburu biasa, melainkan karena kebencian yang tumbuh seperti sesuatu yang menghancurkan.
Saat kebanyakan anak sulung memeluk adik kecilnya, Evans justru memalingkan wajah. Saat kakak lain mengajarkan adiknya berjalan, Evans memilih pergi meninggalkan rumah dan keluarganya, terutama Elena yang bahkan belum sempat memahami, kenapa ia tidak dicintai.
Jenny awalnya mengira itu hanya fase cemburu biasa. Evans pernah menjadi anak tunggal selama hampir dua belas tahun, dan ketika Elena lahir, wajar saja Evans merasa perhatian orang tua terbagi. Namun, sepertinya tidak demikian. Rasanya hal ini sudah terlalu jauh.
Lalu apa yang bisa membuat seorang kakak begitu membenci adiknya hingga sejauh itu?
Pertanyaan itu membekas di kepala Jenny, dan juga hati Elena.
Elena mendesah pelan. "Tak ada hal istimewa semalam. Kami hanya saling bertatapan, lalu aku pergi tidur!" Ia sengaja tak ingin membicarakan kejadian yang sebenarnya. Sebab, ia takut kesedihan itu akan kembali datang.
Jenny mengangguk, walau masih tampak penasaran. "Kuharap kalian bisa segera akur. Demi Mama dan Papa-mu juga, El. Cobalah untuk membuka hati duluan."
Elena menyentakkan bahunya pelan. "Entahlah. Melihat wajahnya saja rasanya sudah cukup membuatku ingin menangis!"
...***...
Evans menatap perangkat elektronik terbaru yang baru saja dirancang oleh Wileen Group. Benda-benda canggih berderet rapi di depannya, dan akan segera dirilis ke publik bulan depan.
Perusahaan yang Simon bangun memang bergerak di bidang elektronik modern, dan membutuhkan waktu selama dua puluh tahun baginya untuk dapat menduduki peringkat terbaik di negara ini.
Kini, tepat di usia ke-35 tahun perusahaan, Simon memutuskan beristirahat dan menyerahkan semua kepada putra-putrinya.
"Papa percayakan semua pada kalian berdua, anak-anak Papa," ucap Simon sambil menepuk bahu putranya.
Evans menaikkan alis. "Elena? Bukankah dia masih harus kuliah?"
Simon mengangguk. "Memang, tetapi dia juga perlu belajar dari sekarang. Papa minta kamu sudi membimbingnya, Evans."
Evans diam. Hatinya mencelos saat mendengar kalimat itu.
"Papa berencana menjadikannya sebagai sekretarismu." Simon kembali bersuara.
Evans terkejut. "Aku sudah punya Jemima, Pa!" sergahnya cepat.
Simon tersenyum. "Jemima tetap sekretaris utamamu, dan Elena akan jadi sekretaris kedua, di bawah Jemima."
Evans tak langsung menjawab. Ia menatap Jemima, lalu kembali memandang sang ayah. Ia tahu, niat sang ayah tidak sepenuhnya tentang pekerjaan.
Evans menghela napasnya. Ia tak bisa menolak lagi. Tidak kali ini. Ia telah mengecewakan sang ayah belasan tahun lalu, dan kini, ia tak punya alasan apapun lagi.
"Asal tidak menggangguku, tidak apa-apa." Jawaban itu nyaris seperti bisikan yang tidak terdengar.
...***...
"Kenapa Sayang? Hari ini wajahmu terlihat kurang bersemangat." Albern memegang dagu Elena yang baru saja masuk ke dalam mobilnya.
"Tidak apa-apa, aku hanya sedang tidak kerasan di rumah. Kamu tahu, kan, kakakku baru saja kembali pulang, setelah sekian lama menetap di luar negeri?" kata Elena lesu.
"Loh, bukankah itu kabar baik? Kamu sudah lama tidak bertemu dengannya, kan?" Albern terlihat begitu senang dengan kabar tersebut. Sangat berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan Elena.
"Memang, tapi kehadiran kakakku membuat Mama dan Papa jadi terlalu memperhatikannya." Elena sengaja berdusta, sebab sang kekasih memang tidak mengetahui apapun soal keretakan hubungannya dengan Evans.
Albern tertawa kecil. "Seperti anak kecil saja," ejeknya seraya mengusap kepala Elena gemas.
Diejek seperti itu oleh sang kekasih, membuat wajah Elena semakin masam. Ia pun mendengkus keras-keras sambil menyingkirkan tangan Albern pelan.
Albern tersenyum maklum. Melihat kekesalan sang kekasih malah jadi kesenangan tersendiri bagi pria itu.
"Supaya mood-mu kembali baik, bagaimana kalau kita makan ice cream kesukaanmu dulu?" tawar Albern.
Mendengar tawaran menggiurkan tersebut, Elena mengubah ekspresi wajahnya. Dengan cepat ia mengangguk kegirangan dan langsung mendaratkan ciuman singkat pada pipi Albern.
"Tidak ada rasanya. Coba lagi!" goda Albern sembari mendekatkan wajahnya pada Elena.
Elena memukul punggung Albern main-main, dan memintanya untuk segera menjalankan mobil, karena mereka masih berada di depan sekolah.
Albern tertawa. Tanpa diminta dua kali, pria muda itu pun mengemudikan mobilnya pergi dari sana.
...***...
Menjelang sore Albern baru mengantar Elena pulang ke rumah. Pria itu mampir sebentar untuk menyapa Samantha yang sedang sibuk membuat cookies.
"Bagaimana kabar kedua orang tua dan adikmu, Al?" tanya Samantha. Ibu Albern kebetulan merupakan kenalan lama Samantha semasa lajang dulu. Keduanya pun menjadi dekat setelah anak mereka menjalin hubungan.
"Baik Aunty. Mama mengundang Aunty akhir pekan ini untuk minum teh bersama," jawab Albern seraya menyampaikan pesan.
"Baiklah, nanti Aunty akan menelepon mamamu." Wanita itu pun menyuapi satu keping cookies yang baru matang untuk Albern.
Tak sampai satu jam Albern berada di sana, sebab dia harus menemani adik dan ibunya berbelanja bulanan.
"Hati-hati di jalan, Nak. Sampaikan salam Aunty pada mama, ya?" pesan Samantha sembari memberikan sekotak cookies buatannya pada Albern.
"Baik, Aunty. Terima kasih cookies-nya." Albern membungkukkan badannya. Ditemani Elena, mereka keluar dari rumah.
"Aku akan menjemputmu lagi besok," kata Albern begitu mereka sampai di depan mobil pria itu.
Elena mengangguk. "Terima kasih atas waktunya." Seulas senyum terpatri di wajah cantik gadis itu.
Albern menarik pinggang Elena dan mendekapnya erat.
Mata Elena langsung terpejam begitu bibir tipis Albern menyapu lembut permukaan bibirnya.
"Aku mencintaimu," ucap Albern di sela-sela ciuman mereka.
"Me too." Elena mengalungkan kedua tangannya pada leher sang kekasih. Di bawah sinar rembulan mereka saling memagut mesra.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
ZhieLaa
dikejauhan ada seseorang melihat mereka tanpa ekspresi 😂😂
2022-11-15
0
Siska Agustin
Albern dan Elena ini so sweet banget 😊🥰
2022-06-16
3
meli meilia
semngt smngt👍👍🥰🥰
2022-06-07
1