Sejak kejadian beberapa hari lalu, tak ada satu pun hal yanh istimewa bagi Elena. Semua berjalan hambar tanpa warna. Dan Elena memilih untuk membalas sikap dingin Evans dengan ketidakpedulian yang sama.
Baginya kini, Evans hanyalah sesosok mahluk tak kasat mata yang tidak perlu dia hiraukan.
Elena hanya butuh fokus akan satu hal, yaitu hari ujian kelulusan saja.
Sorak sorai dari para penghuni kelas terdengar memekakkan telinga, tatkala guru mereka baru saja mengumumkan, bahwa jadwal study tour yang seharusnya dilaksanakan setelah ujian sekolah kini dimajukan beberapa minggu.
Hal tersebut dilakukan agar tidak mengganggu jadwal persiapan prom night.
"Jangan membawa barang-barang yang tidak perlu!" Sang guru memberi peringatan.
"Baik, Mr. Gerald!" jawab siswa-siswi serempak.
Rencananya mereka akan pergi mengunjungi museum sejarah kerajaan, sebelum kemudian mengunjungi wahana bermain yang letaknya tak jauh dari sana.
Kelas pun tetap riuh rendah saat guru tersebut meninggalkan kelas. Mereka sibuk berdiskusi kelompok perihal kegiatan apa saja yang akan dilakukan pada jam-jam bebas di sana.
"Omong-omong, untuk prom night nanti kamu mengajak siapa, Jen?" tanya Elena selanjutnya.
"Entahlah, aku malas memikirkannya. Ada beberapa siswa kelas lain yang mengajakku pergi. Namun, aku belum menjawab ajakan mereka," jawab Jenny.
Elena mengangguk-anggukan kepalanya. Gadis itu sama sekali tidak terkejut dengan fakta tersebut, sebab Jenny memang salah satu siswi tercantik yang ada di sekolah mereka. Jika saja ia mau bergabung dengan kalangan siswi popular, Jenny pasti akan sangat terkenal.
Namun, sayangnya Jenny tidak tertarik dengan kumpulan gadis-gadis yang hanya menjunjung tinggi kecantikan dan status sosial mereka itu.
Suara bel sekolah berbunyi beberapa saat kemudian. Para siswa-siswi sudah mulai berhamburan keluar kelas, terkecuali dengan Elena dan Jenny.
Mereka sengaja berdiam diri di kelas dan menunggu agak sepi terlebih dahulu, agar tidak saling berdesakan.
Setelah kira-kira menunggu selama sepuluh menit, keduanya pun melangkah ke luar gedung sekolah. Namun, saat tiba di lobi, hujan turun deras seketika. Mereka dan beberapa murid lain terpaksa harus menunggu di sana lebih lama.
"Ck, hujan!" Elena menghela napas pasrah, seraya menatap langit yang tak lagi cerah.
"Albern tidak datang menjemput?" tanya Jenny.
"Tidak. Dia sedang sibuk di kantor ayahnya." Jawab Elena lesu.
"Nanti ikut aku saja, sebentar lagi jemputanku datang." Jenny menawarkan tumpangan pada sahabatnya, yang langsung disambut dengan anggukan senang.
Tak lama berselang, deretan mobil mewah mulai berdatangan. Salah satunya adalah sebuah mobil Rolls-Royce hitam yang berhenti tepat di depan mereka.
"Yuk, jemputanku sudah datang!" ajak Jenny, ketika melihat supir pribadinya keluar dari dalam mobil sambil membawa sebuah payung.
Elena ikut melangkah maju mengikuti Jenny. Namun, langkah kakinya seketika terhenti, saat melihat sesosok pria tampan baru saja keluar dari mobil Lexus mewah di sisi lainnya.
Elena sama sekali tidak menyadari keberadaan Evans di sana.
"Aku juga sudah dijemput!" ujar Elena sembari menjulurkan dagu ke arah pria itu.
Jenny sontak mengikuti arah pandang Elena. "Itu Kak Evans?" tanya Jenny dengan wajah sumringah dan berbinar-binar.
Menyadari nada suara dan ekspresi wajah Jenny yang berubah, Elena lantas mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Matanya kemudian bergulir menatap ke arah para siswi lain, yang ternyata juga memasang ekspresi serupa.
Mereka bahkan mulai sibuk berbisik-bisik genit, menanyakan identitas pria tersebut.
Jenny sendiri memang pernah melihat Evans dari foto yang ditunjukkan Elena. Namun, foto itu merupakan foto candid yang sengaja Elena ambil sembarangan.
Evans pun sebenarnya sudah tiga kali mengantar sang adik ke sekolah, tetapi ia tak pernah keluar dari mobil.
Para siswi memekik genit saat Evans berdiri tepat di depan undakan tangga. Tatapannya tajam, seolah menyiratkan niat untuk tidak berlama-lama di sana.
"Aku pulang dulu, ya?" pamit Elena pada Jenny.
"Oke, hati-hati di jalan, El!" Jenny melambaikan tangan pada Elena tanpa mengalihkan pandangannya pada Evans. Tak lupa, gadis itu juga menyapa Evans dengan anggukan sopan.
Evans membalas sapaan Jenny dengan anggukan yang sama. Keduanya pun segera meninggalkan tempat.
Selepas kepergian gadis itu, para siswi langsung menyerbu Jenny dan menanyakan identitas pria yang baru saja menjemput sahabatnya.
"Itu kakaknya. Jangan diganggu, dia sudah bertunangan dengan model internasional!" jawab Jenny asal, sambil melenggang pergi menuju mobilnya sendiri.
Mendengar jawaban Jenny, suara keluhan dari para siswi pun kontan terdengar.
"Dasar gadis-gadis genit!" seru Jenny tanpa menyadari kalau dirinya juga tak jauh berbeda dengan mereka tadi.
...***...
Tidak ada pembicaraan apapun yang terjadi di antara keduanya dalam perjalanan ini. Elena sendiri tidak perlu repot-repot menanyakan alasan Evans menjemputnya, karena pria itu pasti diperintahkan oleh kedua orang tua mereka.
Namun, kondisi mobil yang sangat sunyi membuat Elena lama-lama merasa sangat risih. Gadis itu pun berinisiatif menyalakan musik agar suasana tidak terlalu sepi seperti sekarang.
"Siapa yang mengizinkanmu mengutak-atik mobilku?" tanya Evans dingin.
Gerakan tangan Elena terhenti. "Aku hanya ingin menyalakan musik agar tidak sepi!" jawabnya tak mau kalah.
"Ini mobilku, kamu hanya diperbolehkan duduk diam di sana! Jangan pernah berani-beraninya menyentuh apapun yang ada di dalam sini!"
Perkataan Evans sontak menusuk jantung Elena.
Gadis itu tentu merasa sangat tersinggung. Ia menahan napas lantas menjauhkan tangannya dari sana. Wajahnya berpaling keluar jendela, sementara tangannya meremas ujung rok yang ia kenakan.
Sekali lagi Elena merasa terhina. Rasa sakit dan malu bercampur menjadi satu.
Mobil Evans kemudian berhenti di lampu merah, persis di depan halte bus yang terlihat disinggahi oleh dua orang pria dan wanita muda yang sedang asyik bergurau. Mereka sepertinya bukan sepasang kekasih, melainkan kakak beradik.
Elena dapat membaca gerak bibir sang pria yang berkali-kali menyebut si wanita muda dengan kalimat, 'adik kecilku'.
Melihat betapa harmonisnya hubungan orang asing tersebut, membuat batin Elena terdesak nyeri. Tangannya mengepal kuat di atas paha. Ada rasa iri yang mengalir dalam dada gadis itu. Rasa yang tak bisa ia usir, meski sekeras apapun mencoba.
Setibanya di rumah, Elena langsung turun dari mobil dan masuk ke rumah tanpa sepatah katapun.
Sementara Evans hanya menatap kepergian adiknya dengan wajah kosong. Pria itu rupanya sempat melihat air mata yang menetes di pipi Elena.
"Sayang! Syukurlah kamu sudah pulang. Tadi Mama khawatir ka— loh, kenapa menangis?" tanya Samantha panik, ketika melihat Elena masuk dengan wajah basah.
Elena tidak menjawab. Ia terus berjalan ke lantai dua dan menghilang di balik pintu kamarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Siska Agustin
klo jemputnya g ikhlas mending g usah aja deh bukanya Evan punya supir ya knp g suruh supir aja yg jemput,kasihan Elena g tau knp Evan bersikap kek gitu...
2022-06-16
1
Yen Lamour
Evans bnr”seram 😖
2022-06-13
1
Yen Lamour
Adik kecil jd bikin aku teringat deon 🤭😆
2022-06-13
1