Ketukan pintu yang sedari tadi dilayangkan Evans sama sekali tidak digubris Elena. Pria itu bahkan sempat memanggil-manggil namanya. Namun, tidak juga ada tanggapan.
Evans mendecih. Ia baru saja akan pergi dari sana, ketika tiba-tiba tangannya tanpa sengaja menekan handle pintu kamar Elena dan terbuka.
Mengetahui bahwa pintu kamar sang adik tidak terkunci, Evans lantas berjalan masuk ke dalam sana.
Pria itu mengerutkan keningnya dalam-dalam, ketika mendapati sang adik sedang menangis dengan mata terpejam. Ia benar-benar sedang menangis terisak-isak sembari memanggil nama seseorang.
"Leon? Siapa Leon? Apa dia kekasihnya?" Batin Evans saat mendengar nama tersebut terlontar dari mulut Elena.
Tangisan Elena pun semakin menjadi, dan itu membuat Evans mulai sedikit panik.
Takut tangisan sang adik terdengar sampai keluar kamar dan menimbulkan kesalahpahaman, Evans pun memutuskan untuk membangunkannya.
"Elena!" panggil Evans seraya menusuk pipinya dengan jari telunjuk selama beberapa kali.
Berkali-kali Evans terus memanggil namanya, tetapi Elena sama sekali tidak terbangun.
Namun, begitu Evans memanggil namanya tepat di telinga, Elena sudah terduduk lesu di atas ranjang dengan mata terbelalak, tapi memiliki pandangan kosong.
Evans yang melihat, tentu merasa semakin khawatir dan bingung. "El," panggil pria itu sembari memegang bahu sang adik.
Elena yang terkejut saat disentuh, refleks menepis tangan Evans dan meneriaki pria itu untuk tidak memegang tubuhnya.
"Hei, ini aku!" seru Evans.
"Tidak! Pergi! Pergi!" Elena memejamkan mata dan menutup kedua telinganya rapat-rapat.
Hati Evans tiba-tiba melunak. Dengan gerakan selembut mungkin, pria itu mendekap tubuh adiknya dan mulai memberikan ketenangan.
"Hei, tenanglah! Tidak perlu takut, semua baik-baik saja!" kata Evans lembut tapi meyakinkan. Ia mengucapkan kalimat tersebut berkali-kali seraya mengelus kepala Elena.
Sadar bahwa dirinya kini berada dalam pelukan sang kakak, Elena akhirnya berhenti menangis.
Namun, tanpa sadar ia malah mencengkeram kuat kaos Evans, seolah meminta untuk tidak ditinggalkan.
Evans mau tidak mau tetap berada dalam posisi yang sama, hingga Elena benar-benar merasa tenang.
"Aku takut!" seru Elena dengan suara serak.
"Tenanglah, semua baik-baik saja," jawab Evans.
Setelah Elena benar-benar berhenti menangis, Evans kembali merebahkan tubuh sang adik dan memintanya beristirahat. "Tidurlah, nanti Lily akan mengantarkan makananmu ke sini," kata Evans.
Elena hanya bisa mengangguk. Ia memang tidak memiliki tenaga lagi untuk turun ke lantai bawah karena terlalu banyak menangis.
Mimpi yang baru saja dialaminya benar-benar terasa sangat nyata dan menakutkan.
...***...
"Kenapa lama sekali Sayang? Mana adikmu?" tanya Samantha begitu melihat sang putra muncul seorang diri.
"Tidur, Ma. Biar Lily saja yang mengantar makanan ke atas nanti." Jawab Evans.
Simon dan Samantha menanggukkan kepala. Sepertinya kedua putra-putri memang sedang tidak mengalami bentrokan kecil.
Keesokan paginya, Elena kembali bersikap biasa-biasa saja, seolah tak ada hal apapun yang terjadi kemarin.
Melihat itu, Evans merasa sedikit lega.
...***...
Hari libur biasanya menjadi hari yang sangat menyenangkan bagi Elena. Namun, tidak sejak kehadiran Evans. Ia jadi tidak pernah kerasan di rumah dan selalu pergi ketika ada kesempatan.
Namun, kali ini Elena terpaksa hanya menghabiskan waktu di rumah saja, karena kedua orang tuanya hendak pergi memenuhi undangan saudara jauh mereka.
"Kalian baik-baik di rumah ya," pesan Samantha. Beliau mencium pipi Evans dan Elena secara bergantian, begitu pula dengan Simon.
Elena memgangguk0 lesu, seolah sudah bersiap ingin menangis.
"Oke, kalau begitu aku aka—"
"Jangan mengurung diri di kamar, El! Kamu juga Evans! Dan dari pada hanya berleha-leha di kamar, lebih baik kalian bersihkan taman belakang. Pak Bardon sedang pulang ke kampung halamannya, dan Papa belum menemukan pengganti beliau sementara!" kata Simon panjang lebar.
"Good! Semakin indah hari liburku ini!" Batin Elena jengkel. Keduanya pun mau tidak mau mengiyakan perintah sang ayah.
Setelah kepergian Simon dan Samantha, mereka pun pergi menuju taman belakang rumah bersama Lily.
"Mana saja yang harus dibersihkan?" tanya Evans pada Lily. Nadanya yang terkesan dingin dan kurnag bersahabat lantas membuat Lily meringis.
"Ini semua Tuan Muda. Anda harus memotong rumput menggunakan lawn mower, lalu membersihkan daun mati pada tanaman-tanaman tersebut, dan menggantinya dengan yang baru jika ada tanaman yang sudah mati."
Helaan napas keluar dari mulut Evans begitu selesai mendengar penjelasan Lily. Matanya kemudian mengerling pada sang adik, seolah sedang memberi isyarat.
"Aku memotong rumput saja!" jawab Elena cepat.
Lily berjalan menghampiri gudang untuk mengambil mesin pemotong rumput dan peralatan lainnya. Ia pun memberi pengarahan singkat pada Elena tentang bagaimana caranya menggunakan mesin tersebut.
Ada tiga lawn mower yang mereka miliki, dan Lily memberikannya mesin teringan, agar majikan mudanya tersebut dapat mengendalikannya dengan mudah.
Di sisi lain, Evans mulai berkutat dengan tanaman-tanaman yang perlu diperbaiki. Mereka berdua tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing, hingga tidak terasa setengah wilayah sudah selesai Elena bersihkan.
Lily memberikan Elena dan Evans masing-masing sebuah topi jerami besar untuk menghalau sinar matahari yang sudah mulai berada di atas kepala mereka.
"Beri aku waktu istirahat sebentar," pinta Elena dengan napas ngos-ngosan.
"Biar saya teruskan Nona!" Lily menawarkan diri menggantikan Elena, sementara gadis itu duduk di kursi taman yang berada tak jauh dari posisi Evans.
Anna, salah seorang maid lain yang tidak mengambil libur, datang menghampiri mereka sembari membawa nampan berisi seteko minuman dingin, dua gelas kosong, dan sepiring kue.
"Terima kasih, Anna," ucap Elena. Gadis itu menenggak minuman dinginnya, setelah Anna menuangkan minuman tersebut ke dalam gelas.
"Sama-sama, Nona."
Mata Elena kemudian bergulir pada Evans yang sedang merenggangkan seluruh otot-otot tubuhnya yang kaku.
Elena terpaku. Di bawah teriknya matahari, sosok pria yang semula dilihatnya sebagai Evans, tiba-tiba berubah seketika.
"Aku mencintaimu, Iris."
"Berjanjilah, kalau kita akan terus bersama."
Suara-suara asing tiba-tiba terdengar jelas di telinga Elena, hingga membuat kepala gadis itu mulai terasa berdenyut menyakitkan.
"Jangan pernah menangisi kematianku, Iris. Ingatlah, meski kita tak bisa meraih kebahagiaan pada kehidupan ini. Di kehidupan selanjutnya, aku berjanji akan membahagiakan dirimu!"
Gelas yang dipegang Elena pun jatuh seketika, seiring tetesan air mata yang mengalir membasahi pipi gadis itu.
"Nona El!"
"Nona Elena!"
Sebelum benar-benar tumbang, samar-samar Elena masih bisa mendengar teriakan Lily dan Anna, disusul siluet seorang pria yang berlari menghampirinya.
"Leon," ucap Elena lirih. Tubuh Elena pun melayang jatuh, nyaris menghantam rumput jika saja Evans tidak segera menangkapnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Siska Agustin
knpa harus Elena yg dihantui akan kehidupan masa lalu??knp g Evans aja,biar dia juga ngrasain gmn rasanya kek Elena...
2022-06-16
1
Yen Lamour
Ceritanya bagus nih kak 👍😍 aku suka ❤️
2022-06-13
1