"Apa!” teriak Elena, tanpa memedulikan kenyataan, bahwa ia kini tengah duduk di meja makan bersama seluruh anggota keluarga.
“El!” tegur sang ibu dengan nada memperingatkan.
“Ma ... af,” ucap Elena lesu. Pandangannya kembali jatuh pada sang ayah, yang tampak tidak terbebani setelah mengucapkan pernyataan barusan.
Elena menggaruk kepalanya dengan frustrasi. “Pa, aku tidak akan bisa fokus kuliah, kalau harus bekerja di kantor juga!” pekiknya lagi.
“El...!” lagi-lagi sang ibu menegurnya.
“Iya, Ma, maaf,” keluh Elena sembari mengerucutkan bibirnya. “Lagi pula, Pa, aku sama sekali tidak punya pengalaman. Kalau memang Papa ingin aku bekerja, lebih baik aku mulai dari bawah saja, ya? Seperti, hmm ... bagaimana kalau aku jadi OG dulu?” usul gadis itu asal-asalan, yang langsung berbuah pukulan manis di kening dari sang ibu tercinta.
“Sakit, Ma!” seru Elena sambil mengusap keningnya.
“Dengarkan ayahmu, Sayang!" titah sang ibu lembut namun terdengar tegas.
Elena bungkam. Kepalanya tertunduk lesu.
“Kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi, El? Kakakmu saja sudah membantu Papa sejak SMA, dan dia tidak pernah mengeluh padahal tinggal di luar negeri.”
"Bukan itu masalahnya, Pa! Aku tidak keberatan kalau harus bekerja tapi kalau jadi sekretaris pribadi Kak Evans? Yang benar saja!" batin Elena penuh penolakan, yang tak mampu terucap secara nyata. Sorot mata gadis itu kemudian menatap pria yang duduk di hadapannya, berharap ada satu pernyataan yang dapat membelanya.
“Kak Evans juga pasti keberatan!” seru gadis itu yakin. Matanya memohon agar sang kakak juga berkata demikian.
“Papa sudah memberi tahu kakakmu tadi pagi di kantor, dan dia sama sekali tidak keberatan dengan usulan itu. Benar, kan, Vans?”
Evans tanpa disangka menyetujui pernyataan sang ayah, tanpa berkata apa-apa.
Elena terperanjat. Sejak awal, pria itu tidak menunjukkan minat pada percakapan ini. Ia hanya diam, menikmati makan malamnya dengan tenang. Namun, begitu sang ayah bersuara, ia dengan santai menanggapinya.
Kesal melihat ketidakpedulian Evans, Elena sontak berdiri dari kursinya.
“Lihat, kan, Pa? Bagaimana aku bisa bekerja sama dengannya, kalau keberadaanku saja tidak dihiraukan? Terima kasih atas makan malamnya. Aku permisi ke atas!” serunya sembari berlalu meninggalkan ruang makan, tanpa menunggu respons siapa pun.
“El,” panggil Samantha lirih. Netra birunya kini beralih kepada Evans. “Vans, tolong, Nak. Kamu tidak bisa terus-menerus bersikap seperti ini pada adikmu sendiri.”
Evans meletakkan sendok dan garpu ke atas piring. Tubuhnya berdiri tegak, lalu dengan suara pelan dan menusuk, ia berkata, “Sejak awal sudah kukatakan, aku akan pergi dari keluarga ini setelah Elena lahir. Tapi kalian tidak pernah mau mendengarkanku!"
Lelaki itu menundukkan tubuhnya singkat, lalu pergi begitu saja.
Samantha memegangi dadanya. Hatinya pilu mendengar ucapan sang putra. Harapannya untuk melihat mereka saling menyayangi, tak lebih dari sekadar angan-angan belaka.
“Bagaimana ini, Pa?” lirih Samantha.
“Mereka tidak akan selamanya seperti ini. Percayalah,” jawab Simon seraya menggenggam tangan istrinya, mencoba meredakan gelisah yang mulai menggerogoti.
...***...
Sejak malam itu, hubungan Elena dan Evans semakin dingin. Mereka bahkan tidak saling menyapa ketika tanpa sengaja berpapasan di rumah. Keduanya bak dua orang asing yang tak saling mengenal, seolah darah yang sama tak pernah mengalir dalam tubuh mereka.
Sebenarnya, Elena tidak terlalu mempermasalahkan keadaan itu. Ia bahkan merasa jauh lebih nyaman, andai sang ibu tidak selalu berusaha memaksa mereka untuk saling mendekat.
Selalu saja ada cara yang dilakukan Samantha. Dari mulai menyuruh Evans mengantar Elena ke sekolah, atau meminta Elena untuk mengantar minuman ke ruang kerja sang kakak, seperti saat ini.
“Kenapa tidak suruh Maya atau Lily saja, Ma?” keluh Elena dengan enggan.
Samantha menggeleng pelan. “Kamu saja, ya, Sayang?” ujarnya, disertai seulas senyum manis, yang di mata Elena justru terlihat sangat mengerikan.
Mau tak mau, Elena menuruti permintaan itu, meski sembari bersungut-sungut.
Setibanya di depan ruang kerja Evans, ia mengetuk dua kali, sebelum kemudian membuka pintu ruangan tersebut secara perlahan.
Evans melirik sejenak dari balik laptopnya, kemudian kembali tenggelam dalam pekerjaan.
“Ini tehnya!” ujar Elena ketus, sambil menaruh nampan dengan sedikit hentakan.
“Hm.” Hanya gumaman dingin yang keluar dari bibir Evans.
Elena menahan diri untuk tidak melempar nampan itu ke wajah tampan sang kakak. Ia berbalik dan berjalan pergi dengan langkah menghentak.
“Aw!” seru Elena keras, saat kakinya menabrak kaki sofa tanpa sengaja.
Elena terduduk di lantai, guna memeriksa jempol kaki yang kini mulai membiru dan berdenyut-denyut menyakitkan.
Evans turut melihat keadaan sang adik. Namun, seperti biasa, ia tidak peduli.
“Sial ... sakit banget!” desis Elena sambil meringis. Air matanya nyaris pecah karena rasa nyeri yang begitu tajam.
Dengan langkah tertatih, ia berusaha bangkit kembali. Namun, belum sempat melangkah jauh, tubuhnya lagi-lagi jatuh terhuyung.
Ketika Elena mencoba berjalan lagi, secara tiba-tiba tubuhnya terangkat tinggi. “Kak! Turunkan aku! Aku bisa jalan sendiri!” pekik Elena terkejut, saat menyadari dirinya kini dalam gendongan sang kakak.
Evans tidak menanggapi. Ia membawa Elena menuju kamarnya yang tak jauh dari sana.
“Jangan salah paham. Aku hanya tidak ingin Papa dan Mama melihatku yang seolah tak peduli padamu!” ucapnya dingin.
"Sialan, kau 'kan memang tidak peduliku!" maki Elena dalam hati. Ia tak mungkin mengeluarkan kata-kata itu secara gamblang pada sang kakak, dan memilih diam sampai mereka tiba di kamarnya.
"Sudah, turunkan aku di sini saja!” perintah Elena saat mereka tiba di depan pintu kamarnya.
Namun, Evans tetap tidak menggubris. Ia membawa Elena masuk, lalu melempar tubuh sang adik dengan kasar ke atas tempat tidur.
“Aw!” Ringisan kesakitan keluar dari mulut Elena.
Evans pergi keluar dan kembali membawa kotak P3K di tangan. "Obati sendiri!" katanya dingin, seraya melempar benda tersebut ke arah Elena, hingga nyaris mengenai kakinya yang terluka.
Elena hanya bisa terdiam, membiarkan Evans yang kini telah pergi dari kamar.
Mata gadis itu seketika basah. Hatinya mulai terasa nyeri.
Elena seharusnya tidak terkejut dengan sikap Evans saat ini. Sebab dulu, pria itu bahkan pernah meninggalkannya sendirian di tengah badai salju, hanya karena ia mengikutinya terus.
Itulah salah satu alasan Elena menolak ikut kedua orang tuanya untuk menemui Evans di luar negeri.
Dengan tangan gemetar, Elena mengobati lukanya sendirian. Tangisnya pun pecah tanpa mampu ia bendung lagi.
“Sayang!” panggil Samantha lirih. Ia datang setelah diberi tahu Evans tentang kondisinya.
Melihat sang putri menangis sembari mengoleskan obat sendiri, Samantha segera mendekat dan mengambil alih obat tersebut.
“Sakit, Ma!” seru Elena dalam tangis.
“Iya, Sayang, kakimu sakit, ya? Mama bantu, ya?” Samantha mulai mengoleskan obat itu dengan lembut, tanpa tahu, bahwa sakit yang dimaksud Elena adalah sesuatu yang tidak tampak di permukaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
ZhieLaa
hahaha
2022-11-15
0
ZhieLaa
mereka ini saudara Kandung bukan sih 😌
2022-11-15
0
Siska Agustin
Evans kok gitu sih dia kan adikmu sendiri,apa seenggak sukanya dia oleh kehadiran seorang adik,ato memang Evans ad firasat apa gitu ttg Elena sampai dia g mau dket sama Elena??
2022-06-16
2