Bab 6 : Air Mata Luka.

"Apa!” teriak Elena, tanpa memedulikan kenyataan, bahwa ia kini tengah duduk di meja makan bersama seluruh anggota keluarga.

“El!” tegur sang ibu dengan nada memperingatkan.

“Ma ... af,” ucap Elena lesu. Pandangannya kembali jatuh pada sang ayah, yang tampak tidak terbebani setelah mengucapkan pernyataan barusan.

Elena menggaruk kepalanya dengan frustrasi. “Pa, aku tidak akan bisa fokus kuliah, kalau harus bekerja di kantor juga!” pekiknya lagi.

“El...!” lagi-lagi sang ibu menegurnya.

“Iya, Ma, maaf,” keluh Elena sembari mengerucutkan bibirnya. “Lagi pula, Pa, aku sama sekali tidak punya pengalaman. Kalau memang Papa ingin aku bekerja, lebih baik aku mulai dari bawah saja, ya? Seperti, hmm ... bagaimana kalau aku jadi OG dulu?” usul gadis itu asal-asalan, yang langsung berbuah pukulan manis di kening dari sang ibu tercinta.

“Sakit, Ma!” seru Elena sambil mengusap keningnya.

“Dengarkan ayahmu, Sayang!" titah sang ibu lembut namun terdengar tegas.

Elena bungkam. Kepalanya tertunduk lesu.

“Kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi, El? Kakakmu saja sudah membantu Papa sejak SMA, dan dia tidak pernah mengeluh padahal tinggal di luar negeri.”

"Bukan itu masalahnya, Pa! Aku tidak keberatan kalau harus bekerja tapi kalau jadi sekretaris pribadi Kak Evans? Yang benar saja!" batin Elena penuh penolakan, yang tak mampu terucap secara nyata. Sorot mata gadis itu kemudian menatap pria yang duduk di hadapannya, berharap ada satu pernyataan yang dapat membelanya.

“Kak Evans juga pasti keberatan!” seru gadis itu yakin. Matanya memohon agar sang kakak juga berkata demikian.

“Papa sudah memberi tahu kakakmu tadi pagi di kantor, dan dia sama sekali tidak keberatan dengan usulan itu. Benar, kan, Vans?”

Evans tanpa disangka menyetujui pernyataan sang ayah, tanpa berkata apa-apa.

Elena terperanjat. Sejak awal, pria itu tidak menunjukkan minat pada percakapan ini. Ia hanya diam, menikmati makan malamnya dengan tenang. Namun, begitu sang ayah bersuara, ia dengan santai menanggapinya.

Kesal melihat ketidakpedulian Evans, Elena sontak berdiri dari kursinya.

“Lihat, kan, Pa? Bagaimana aku bisa bekerja sama dengannya, kalau keberadaanku saja tidak dihiraukan? Terima kasih atas makan malamnya. Aku permisi ke atas!” serunya sembari berlalu meninggalkan ruang makan, tanpa menunggu respons siapa pun.

“El,” panggil Samantha lirih. Netra birunya kini beralih kepada Evans. “Vans, tolong, Nak. Kamu tidak bisa terus-menerus bersikap seperti ini pada adikmu sendiri.”

Evans meletakkan sendok dan garpu ke atas piring. Tubuhnya berdiri tegak, lalu dengan suara pelan dan menusuk, ia berkata, “Sejak awal sudah kukatakan, aku akan pergi dari keluarga ini setelah Elena lahir. Tapi kalian tidak pernah mau mendengarkanku!"

Lelaki itu menundukkan tubuhnya singkat, lalu pergi begitu saja.

Samantha memegangi dadanya. Hatinya pilu mendengar ucapan sang putra. Harapannya untuk melihat mereka saling menyayangi, tak lebih dari sekadar angan-angan belaka.

“Bagaimana ini, Pa?” lirih Samantha.

“Mereka tidak akan selamanya seperti ini. Percayalah,” jawab Simon seraya menggenggam tangan istrinya, mencoba meredakan gelisah yang mulai menggerogoti.

...***...

Sejak malam itu, hubungan Elena dan Evans semakin dingin. Mereka bahkan tidak saling menyapa ketika tanpa sengaja berpapasan di rumah. Keduanya bak dua orang asing yang tak saling mengenal, seolah darah yang sama tak pernah mengalir dalam tubuh mereka.

Sebenarnya, Elena tidak terlalu mempermasalahkan keadaan itu. Ia bahkan merasa jauh lebih nyaman, andai sang ibu tidak selalu berusaha memaksa mereka untuk saling mendekat.

Selalu saja ada cara yang dilakukan Samantha. Dari mulai menyuruh Evans mengantar Elena ke sekolah, atau meminta Elena untuk mengantar minuman ke ruang kerja sang kakak, seperti saat ini.

“Kenapa tidak suruh Maya atau Lily saja, Ma?” keluh Elena dengan enggan.

Samantha menggeleng pelan. “Kamu saja, ya, Sayang?” ujarnya, disertai seulas senyum manis, yang di mata Elena justru terlihat sangat mengerikan.

Mau tak mau, Elena menuruti permintaan itu, meski sembari bersungut-sungut.

Setibanya di depan ruang kerja Evans, ia mengetuk dua kali, sebelum kemudian membuka pintu ruangan tersebut secara perlahan.

Evans melirik sejenak dari balik laptopnya, kemudian kembali tenggelam dalam pekerjaan.

“Ini tehnya!” ujar Elena ketus, sambil menaruh nampan dengan sedikit hentakan.

“Hm.” Hanya gumaman dingin yang keluar dari bibir Evans.

Elena menahan diri untuk tidak melempar nampan itu ke wajah tampan sang kakak. Ia berbalik dan berjalan pergi dengan langkah menghentak.

“Aw!” seru Elena keras, saat kakinya menabrak kaki sofa tanpa sengaja.

Elena terduduk di lantai, guna memeriksa jempol kaki yang kini mulai membiru dan berdenyut-denyut menyakitkan.

Evans turut melihat keadaan sang adik. Namun, seperti biasa, ia tidak peduli.

“Sial ... sakit banget!” desis Elena sambil meringis. Air matanya nyaris pecah karena rasa nyeri yang begitu tajam.

Dengan langkah tertatih, ia berusaha bangkit kembali. Namun, belum sempat melangkah jauh, tubuhnya lagi-lagi jatuh terhuyung.

Ketika Elena mencoba berjalan lagi, secara tiba-tiba tubuhnya terangkat tinggi. “Kak! Turunkan aku! Aku bisa jalan sendiri!” pekik Elena terkejut, saat menyadari dirinya kini dalam gendongan sang kakak.

Evans tidak menanggapi. Ia membawa Elena menuju kamarnya yang tak jauh dari sana.

“Jangan salah paham. Aku hanya tidak ingin Papa dan Mama melihatku yang seolah tak peduli padamu!” ucapnya dingin.

"Sialan, kau 'kan memang tidak peduliku!" maki Elena dalam hati. Ia tak mungkin mengeluarkan kata-kata itu secara gamblang pada sang kakak, dan memilih diam sampai mereka tiba di kamarnya.

"Sudah, turunkan aku di sini saja!” perintah Elena saat mereka tiba di depan pintu kamarnya.

Namun, Evans tetap tidak menggubris. Ia membawa Elena masuk, lalu melempar tubuh sang adik dengan kasar ke atas tempat tidur.

“Aw!” Ringisan kesakitan keluar dari mulut Elena.

Evans pergi keluar dan kembali membawa kotak P3K di tangan. "Obati sendiri!" katanya dingin, seraya melempar benda tersebut ke arah Elena, hingga nyaris mengenai kakinya yang terluka.

Elena hanya bisa terdiam, membiarkan Evans yang kini telah pergi dari kamar.

Mata gadis itu seketika basah. Hatinya mulai terasa nyeri.

Elena seharusnya tidak terkejut dengan sikap Evans saat ini. Sebab dulu, pria itu bahkan pernah meninggalkannya sendirian di tengah badai salju, hanya karena ia mengikutinya terus.

Itulah salah satu alasan Elena menolak ikut kedua orang tuanya untuk menemui Evans di luar negeri.

Dengan tangan gemetar, Elena mengobati lukanya sendirian. Tangisnya pun pecah tanpa mampu ia bendung lagi.

“Sayang!” panggil Samantha lirih. Ia datang setelah diberi tahu Evans tentang kondisinya.

Melihat sang putri menangis sembari mengoleskan obat sendiri, Samantha segera mendekat dan mengambil alih obat tersebut.

“Sakit, Ma!” seru Elena dalam tangis.

“Iya, Sayang, kakimu sakit, ya? Mama bantu, ya?” Samantha mulai mengoleskan obat itu dengan lembut, tanpa tahu, bahwa sakit yang dimaksud Elena adalah sesuatu yang tidak tampak di permukaan.

Terpopuler

Comments

ZhieLaa

ZhieLaa

hahaha

2022-11-15

0

ZhieLaa

ZhieLaa

mereka ini saudara Kandung bukan sih 😌

2022-11-15

0

Siska Agustin

Siska Agustin

Evans kok gitu sih dia kan adikmu sendiri,apa seenggak sukanya dia oleh kehadiran seorang adik,ato memang Evans ad firasat apa gitu ttg Elena sampai dia g mau dket sama Elena??

2022-06-16

2

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 : Sepenggal Mimpi.
2 Bab 2 : Kepulangan Evans.
3 Bab 3 : Potongan Mimpi Kembali Hadir.
4 Bab 4 : Pertemuan Keduanya.
5 Bab 5 : Rencana Simon.
6 Bab 6 : Air Mata Luka.
7 Bab 7 : Terhina.
8 Bab 8 : Fakta Tentang Evans.
9 Bab 9 : Bayangan Leon.
10 Bab 10 : Perkenalan Albern dan Evans.
11 Bab 11 : Oswald Royal Museum (1)
12 Bab 12 : Oswald Royal Museum (2).
13 Bab 13: Panti Asuhan Maria Joseph.
14 Bab 14 : Prom Night.
15 Bab 15 : Hari Pertama Bekerja.
16 Bab 16 : Air Mata Elena.
17 Bab 17 : Tak Dianggap.
18 Bab 18 : Pertengkaran.
19 Bab 19 : "Elena!"
20 Bab 20 : Tragedi.
21 Bab 21 : Terbangun Di Tempat Asing.
22 Bab 22 : Sosok Leon di Mata Elena.
23 Bab 23 : Princess Airlea.
24 Bab 24 : Mimpi Evans (1).
25 Bab 25 : Mimpi Evans (2).
26 Bab 26 : Kondisi Elena.
27 Bab 27 : Aku Akan Terus Bersamamu.
28 Bab 28 : Seutas Janji.
29 Bab 29 : Elena Siuman.
30 Bab 30 : Semua Terungkap.
31 Bab 31 : Tanda Lahir Evans.
32 Bab 32 : Percaya Reinkarnasi?
33 Bab 33 : Mimpi Evans Kembali Hadir.
34 Bab 34 : Kandas.
35 Bab 35 : Nyaris Celaka.
36 Bab 36 : Satu Hati.
37 Bab 37 : Cinta Sejati?
38 Bab 38 : Break.
39 Bab 39 : Kecemburuan.
40 Bab 40 : Hilang?
41 Bab 41 : Ulah Albern.
42 Bab 42 : Iris.
43 Bab 43 : Leon - Evans.
44 Bab 44 : Penyelamatan Elena.
45 Bab 45 : Evans Mendapatkan Ingatannya.
46 Bab 46 : Vonis Albern.
47 Bab 47 : Takdir Tak Bisa Diubah.
48 Bab 48 : Sepenggal Ingatan.
49 Bab 49 : Hilang?
50 Bab 50 : Hidup Tanpanya.
51 Bab 51 : Kencan Buta.
52 Bab 52 : Dinas Luar Kota.
53 Bab 53 : Identitas Chris.
54 Bab 54 : Nyaris Bertemu.
55 Bab 55 : Pertemuan Kembali.
56 Bab 56 : Tak Akan Kubiarkan Kau Pergi.
57 Bab 57 : Ingin Bersamamu.
58 Bab 58 : Menyerah?
59 Bab 59 : Firasat.
60 Bab 60 : "Aku mencintaimu."
61 Bab 61 : Amnesia Disosiatif.
62 Bab 62 : Kasih Sayang Keluarga.
63 Bab 63 : Apartemen.
64 Bab 64 : Sebuah Pengakuan.
65 Bab 65 : Kembali atau Pergi?
66 Bab 66 : Princess Airlea.
67 Bab 67 : Pa Emër River.
68 Bab 68 : Perjodohan.
69 Bab 69 : Melarikan Diri.
70 Bab 70 : Akhir Kisah Kerajaan Oswald.
71 Bab 71 : Akhir Kisah.
Episodes

Updated 71 Episodes

1
Bab 1 : Sepenggal Mimpi.
2
Bab 2 : Kepulangan Evans.
3
Bab 3 : Potongan Mimpi Kembali Hadir.
4
Bab 4 : Pertemuan Keduanya.
5
Bab 5 : Rencana Simon.
6
Bab 6 : Air Mata Luka.
7
Bab 7 : Terhina.
8
Bab 8 : Fakta Tentang Evans.
9
Bab 9 : Bayangan Leon.
10
Bab 10 : Perkenalan Albern dan Evans.
11
Bab 11 : Oswald Royal Museum (1)
12
Bab 12 : Oswald Royal Museum (2).
13
Bab 13: Panti Asuhan Maria Joseph.
14
Bab 14 : Prom Night.
15
Bab 15 : Hari Pertama Bekerja.
16
Bab 16 : Air Mata Elena.
17
Bab 17 : Tak Dianggap.
18
Bab 18 : Pertengkaran.
19
Bab 19 : "Elena!"
20
Bab 20 : Tragedi.
21
Bab 21 : Terbangun Di Tempat Asing.
22
Bab 22 : Sosok Leon di Mata Elena.
23
Bab 23 : Princess Airlea.
24
Bab 24 : Mimpi Evans (1).
25
Bab 25 : Mimpi Evans (2).
26
Bab 26 : Kondisi Elena.
27
Bab 27 : Aku Akan Terus Bersamamu.
28
Bab 28 : Seutas Janji.
29
Bab 29 : Elena Siuman.
30
Bab 30 : Semua Terungkap.
31
Bab 31 : Tanda Lahir Evans.
32
Bab 32 : Percaya Reinkarnasi?
33
Bab 33 : Mimpi Evans Kembali Hadir.
34
Bab 34 : Kandas.
35
Bab 35 : Nyaris Celaka.
36
Bab 36 : Satu Hati.
37
Bab 37 : Cinta Sejati?
38
Bab 38 : Break.
39
Bab 39 : Kecemburuan.
40
Bab 40 : Hilang?
41
Bab 41 : Ulah Albern.
42
Bab 42 : Iris.
43
Bab 43 : Leon - Evans.
44
Bab 44 : Penyelamatan Elena.
45
Bab 45 : Evans Mendapatkan Ingatannya.
46
Bab 46 : Vonis Albern.
47
Bab 47 : Takdir Tak Bisa Diubah.
48
Bab 48 : Sepenggal Ingatan.
49
Bab 49 : Hilang?
50
Bab 50 : Hidup Tanpanya.
51
Bab 51 : Kencan Buta.
52
Bab 52 : Dinas Luar Kota.
53
Bab 53 : Identitas Chris.
54
Bab 54 : Nyaris Bertemu.
55
Bab 55 : Pertemuan Kembali.
56
Bab 56 : Tak Akan Kubiarkan Kau Pergi.
57
Bab 57 : Ingin Bersamamu.
58
Bab 58 : Menyerah?
59
Bab 59 : Firasat.
60
Bab 60 : "Aku mencintaimu."
61
Bab 61 : Amnesia Disosiatif.
62
Bab 62 : Kasih Sayang Keluarga.
63
Bab 63 : Apartemen.
64
Bab 64 : Sebuah Pengakuan.
65
Bab 65 : Kembali atau Pergi?
66
Bab 66 : Princess Airlea.
67
Bab 67 : Pa Emër River.
68
Bab 68 : Perjodohan.
69
Bab 69 : Melarikan Diri.
70
Bab 70 : Akhir Kisah Kerajaan Oswald.
71
Bab 71 : Akhir Kisah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!