Waktu telah menunjukkan pukul setengah enam sore, ketika Elena menuruni tangga sembari membawa piring kosong dalam genggamannya.
Gadis itu mengembuskan napas lega, seolah baru saja terbebas dari ketegangan yang menghantui, tatkala mendapati bahwa rumah ternyata masih sepi nan sunyi.
“Aman. Mereka belum pulang, dan mungkin baru tiba tengah malam nanti,” bisik Elena sambil menyunggingkan senyum.
"Non, seharusnya saya saja yang mengambil piring kosongnya!" Lily yang sedang merapikan dapur, terkejut mendapati kedatangan nona mudanya.
“Tak apa, aku sekalian ke bawah,” jawab Elena pelan. Ia meletakkan piring ke dalam bak cuci, lalu beranjak menuju ruang keluarga. Ada beberapa novel yang belum selesai dibacanya di sana.
Namun, langkah tiba-tiba terhenti, saat sebuah suara tiba-tiba memanggilnya.
Wajah Elena berubah panik dan ketakutan. Ia mundur perlahan, lalu buru-buru menaiki tangga menuju kamarnya kembali. Ia harus pergi dari sana. Sebisa mungkin ia tak boleh bersinggungan dengan sosok itu.
“El, Sayang!"
Langkahnya lagi-lagi terhenti. Suara meneduhkan itu, kini tepat berada di bawahnya.
Elena meringis. Detak jantungnya kini menggedor keras di dalam dada. Matanya menunduk. Tubuhnya menegang.
“Kamu belum tidur, Sayang?” tanya sang ibu, seolah tak menyadari gejolak di balik wajah pucat Elena.
Elena menggeleng pelan, nyaris tak terlihat.
“Sapa dulu kakakmu, Nak. Kalian sudah lama tidak bertemu, kan?” suara Samantha terdengar seperti beban baru yang harus ditanggung Elena.
Elena menggigit dalam pipinya penuh keraguan, lalu dengan napas yang tersengal, gadis itu turun kembali demi menemui seseorang.
Dan di sanalah sosok itu berdiri, Evans, sang kakak yang telah lama tidak berjumpa dengannya.
Tegap. Dingin. Tak tergoyahkan. Matanya membeku tanpa ekspresi, menatap Elena seolah dirinya tak berarti apa-apa.
Elena terpaku. Tubuhnya seakan kehilangan daya. Ada sesuatu dalam tatapan itu, sesuatu yang menusuk.
Namun, bukan karena kehadiran Evans, tapi karena kilatan asing di mata pria itu yang entah kenapa begitu akrab.
Dari sanalah, kerinduan itu tiba-tiba muncul dalam benaknya.
Bukan rindu biasa, tapi rindu yang meremas jantung, dan mengoyak dinding hatinya.
Elena gamam. Ia tak tahu siapa yang dirindukannya saat melihat sosok Evan. Tapi yang jelas, perasaan itu nyata, dan begitu sakit.
Tangan Elena kini mulai gemetar.
“Aku merindukanmu.”
Sebuah suara yang lirih dan menenangkan, seketika menyelinap masuk ke dalam pikiran gadis itu.
Suara asing yang terasa seperti rumah, sekaligus membawa luka lama yang telah terpendam jauh.
“Siapa?” bisik Elena dalam hati. Wajahnya kini tampak kebingungan dan putus asa.
Evans yang masih menatapnya datar, kini berubah menajam, saat tetesan airmata kini mengalir membasahi pipi ranum sang adik.
Samantha terperangah. Saat wanita itu hendak menghampiri Elena, Simon yang menyadarinya lebih cepat, segera menahan sang untuk tetap ditempat.
"Aku sangat mencintaimu, meski Tuhan menutup mata dan membiarkan kekejaman ini memisahkan raga kita ...."
" ... ku akan tetap mencintaimu," bisik Elena, meneruskan sepenggal kalimat yang tiba-tiba hadir diingatan gadis itu.
Evans mengangkat alisnya. Ia jelas melihat bibir Elena yang bergerak, seolah sedang mengatakan sesuatu. Namun, ia tak mampu menangkap satu pun kata yang dimaksud.
Ketika ia hendak menyentuh bahu sang adik, Elena tersentak. “Ma—maaf!” ucap Elena terbata. Ia berlari menaiki tangga dan mengunci pintu kamarnya, sebelum kemudian jatuh bersandar di sana.
Tubuh Elena kini tengah gemetar hebat.
“Kenapa aku menangis?” tanyanya dengan serak nan penuh luka.
“Berhenti! Brengsek, berhentilah mengalir!” umpat Elena, ketika air mata yang diharapkannya hilang, malah semakin deras mengalir.
Elena menangis sesenggukan.
Kerinduan itu kembali. Menjalar. Menyesakkan. Namun, siapa yang sedang dirindukannya?
Evans? Tidak. Ia tak pernah memperlakukannya sebagai adik, dan tak pernah menganggapnya ada.
Namun, mengapa sorot mata itu mengingatkan pada seseorang? Seseorang yang bahkan tak bisa ia ingat?
Ia sungguh tak tahu. Hatinya hanya mengetahui satu hal saja, yaitu kerindu yang sangat menyiksa.
“Ada apa denganku?” batin Elena menjerit.
...***...
"Mungkin Elena terlalu merindukanmu, Sayang."
Itulah sebaris kalimat yang diucapkan sang ibu, selepas mendapato tingkah aneh Elena tadi.
Evans sendiri sebenarnya tidak memerdulikan apa pun soal Elena. Namun, setelah melihat air mata gadis itu, Evans merasa sedikit terusik. Padahal jelas-jelas ini bukanlah pertama kalinya Evans melihat air mata sang adik.
Mungkinkah Elena sedang mencoba menarik perhatiannya, agar hubungan mereka tak lagi sedingin dulu?
"Ck!" Memikirkan hal tersebut, Evan malah terlihat sangat kesal. Pria itu memilih membuka laptopnya dan mulai mempelajari beberapa tugas kantor. Sebab, dalam beberapa hari lagi ia akan mulai menduduki jabatan sang ayah.
Mengelola kantor keluarga sebenarnya buka lagi hal asing dan sulit bagi Evans, karena sang ayah sering meminta bantuannya, saat ia masih tinggal di luar negeri.
...***...
Seberkas sinar mentari pagi menyelinap melalui celah tirai kamar Elena, menyapu wajahnya yang pucat dan lelah. Gadis yang biasanya terbangun dengan senyum hangat itu, kini hanya menatap kosong ke arah langit-langit kamar.
Ada sejumput luka di matanya, seolah malam tadi telah mengikis habis semangatnya.
Elena ingin sekali bolos sekolah, dan menyembunyikan diri seharian di tempat ini. Namun, dunianya tidak memberi pilihan, karena hari kelulusan sebentar lagi akan tiba.
Dengan tubuh yang terasa berat, Elena memaksakan diri bangun dan berbenah. Baru setelahnya, ia melangkah turun ke lantai satu dengan wajah biasa.
Tanpa memedulikan rasa gundah yang masih tersisa di dadanya, Elena menarik kursi dan duduk di meja makan, berhadapan langsung dengan Evans.
"El," tegur Samantha lembut, saat mendapati putrinya belum bersuara sedari tadi.
"Pagi, Pa, Ma..." jedanya panjang sebelum kemudian berkata pelan, "... Kak."
Suara Elena nyaris tak terdengar saat menyebut kata terakhir itu. Seolah satu kata itu membawa seribu beban dalam hatinya.
Simon membalas sapaan sang putri dengan anggukan hangat. Sementara Evans hanya menoleh sekilas, lalu kembali sibuk dengan rotinya.
Bagi Elena, meja makan itu kini terasa seperti medan perang. Senyap, tapi penuh percikan yang melukai.
Evans memang tidak melakukan apa pun, tetapi kehadirannya seperti hantu masa lalu yang tak bisa dijelaskan. Tatapannya tak menghina, tapi juga tak peduli. Mereka benar-benar layaknya orang asing.
Elena mempercepat makannya agar bisa segera pergi dari sana.
"Cepat sekali, El," tegur Simon, heran saat putri bungsunya sudah bangkit dari kursi, padahal belum lama berada di sana.
"Ada yang harus kulakukan di sekolah, Pa. Aku berangkat dulu." Suara Elena terdengar datar. Ia mencium kedua pipi orang tuanya sejenak, lalu segera melangkah pergi.
Namun, suara sang ibu menahan langkah gadis itu.
Elena memejamkan mata sejenak. Ia tahu maksud sang ibu.
"Yang benar saja," batinnya kesal. Mata gadis itu kemudian melirik Evans, yang masih sibuk mengunyah roti panggang dengan tenang.
"Aku pergi dulu, Kak," pamit Elena lirih.
Evans baru saja mengangkat wajahnya untuk menjawab perkataan sang adik. Namun, sebuah kecupan hangat tiba-tiba mendarat di pipi kanan pria itu.
Evans menegang. Wajahnya terkejut, nyaris tak percaya.
Setelahnya, Elena melangkah pergi tanpa sedikit pun menoleh ke arah Evans.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
ZhieLaa
kabuuuurr 😁
2022-11-15
0
Lovallena (Lena Maria)
jiayou kak...
2022-07-31
0
Siti Mariyam
mungkin Elena adik tiri nya, Jdi makin senapsaran aku🤣
2022-07-02
2