Elena berdiri kaku di sebelah Jemima, seolah tubuhnya tertambat di tanah. Di hadapan gadis itu, hampir seluruh karyawan kantor berkumpul untuk menyambut kedatangannya sebagai sekretaris baru pimpinan mereka, Evans.
Belum genap sebulan sejak kelulusan sekolah, Simon Wileen, sang ayah, tanpa ragu langsung menyerahkan putri bungsunya ke dalam genggaman dunia kerja. Elena ditunjuk menjadi sekretaris pribadi Evans, sang kakak, untuk bekerja berdampingan bersama Jemima, sekretaris senior di Evans.
Selama tiga bulan ke depan, sebelum waktu perkuliahan dimulai, Elena harus bekerja penuh waktu di sana.
Tak ada ruang untuk menolak. Tak ada celah untuk melarikan diri. Elena hanya bisa tunduk dan pasrah. Impiannya untuk fokus hanya pada pendidikan, kini harus terbagi dengan tanggung jawab yang tak pernah ia harapkan.
“Sekali lagi, selamat datang, Nona Elena,” ucap Mr. Raymond, Kepala HRD Wileen Group, sembari mengulurkan tangannya.
“Tolong, panggil saya Elena saja. Perlakukan saya seperti karyawan lainnya, dan salam kenal semua. Mohon bimbingannya, dan jangan ragu menegur bila saya melakukan kesalahan,” balasnya dengan senyum simpul sembari membungkuk hormat.
Beberapa karyawan membalas sopan, meski sikap mereka masih terasa kaku dan ragu. Mereka tahu siapa Elena, mereka tahu siapa ayah dan kakaknya, dan mereka tahu, tidak semua orang bisa disamakan di tempat ini, meskipun permintaan itu datang dari anak bos sekali pun.
Elena menelan ludah. Hatinya tercekat. Ia hanya bisa berharap, dirinya tak menjadi bahan pergunjingan dan aib bagi nama keluarga.
...***...
Usai sesi perkenalan singkat, Jemima segera mengajak Elena berkeliling kantor, lalu membawanya masuk ke ruang kerja mereka yang saling berseberangan. Di tengah-tengah meja mereka, berdiri sebuah pintu besar, yaitu pintu menuju ruang kerja Evans.
“Ini mejaku, dan itu mejamu, El,” ucap Jemima, menunjuk pada meja di seberang. Nada bicaranya masih terdengar sopan, meski Elena telah memintanya untuk bicara dengan santai.
Tiba-tiba, suara dering telepon di meja Elena berbunyi. Jantungnya seketika berdegup kencang.
“Ke ruangan saya sekarang!" ucap suara di seberang. Datar tapi terasa tajam. Suara itu milik sang kakak, Evans.
“Aku disuruh masuk, Kak,” gumam Elena gugup. Ia memang diperintahkan memanggil Jemima dengan sebutan ‘Kakak’, daripada 'Mrs.' yang membuat Jemima agak sedikit senewen.
"Menikah saja belum,” batin wanita itu saat mendengarnya.
“Masuk saja,” kata Jemima sambil mengendikkan dagu.
Elena dengan ragu mengetuk pintu dua kali, lalu masuk ke dalam ruangan Evans.
“Permisi, Pak,” sapa Elena pelan, yang kini menunjukkan sikap formal di lingkup kantor.
Gadis itu melangkah ke depan meja sang kakak, sembari mencoba menyembunyikan kegugupan.
“Apakah ada yang bisa saya—”
Perkataannya terpotong. Sebuah berkas tiba-tiba dilemparkan ke atas meja oleh Evans.
“Pelajari semua ini! Besok ada rapat penting. Jangan pikir kau bisa bersandar pada Jemima dan menjadi benalu di sini!” suara Evans tajam, dingin, menusuk.
Elena terpaku. Dengan tangan gemetar, ia meraih berkas-berkas itu lalu memeluknya erat. “Baik, Pak. Apa ada lagi yang perlu saya kerjakan?” tanyanya sopan, sambil menahan luka yang mulai terjejak.
“Buatkan kopi. Jangan terlalu manis, jangan juga terlalu pahit!” perintah Evans tanpa menoleh.
“Baik, Pak,” ucapnya seraya menunduk, lalu keluar dari sana dengan langkah gontai.
Di luar, Jemima menatap Elena dengan pandangan perihatin. “Apa itu, El?” tanya wanita itu kemudian, seraya menunjuk dokumen yang dibawa Elena.
“Aku harus mempelajarinya untuk rapat besok. Tolong bantu aku, ya, Kak,” kata Elena dengan senyum tipis tapi sarat akan kesedihan.
“Baik, nanti kita pelajari bersama." Jemima tersenyum menenangkan.
Elena membalas senyum itu lalu berkata, "Aku juga disuruh membuat kopi. Kalau begitu, aku pergi dulu ke pantry," ucapnya.
Jemima mengangguk singkat. "Jangan lupa, tambahkan satu sendok teh gula, ya?" katanya mengingatkan.
"Oke!" jawab Elena yang langsung berjalan menuju pantry.
Sesampainya di sana, Elena menatap tiga jenis kopi sachet yang tertata apik di rak kaca. Setelah ragu sejenak, ia akhirnya memilih satu kopi dengan kandungan kafein paling rendah, kemudian menambahkan satu sendok teh gula dan mengaduknya perlahan. Setelah selesai, ia pun kembali ke ruangan Evans.
“Ini kopinya, Pak. Saya permisi dulu.” Elena sengaja ingin segera melarikan diri dari sana. Namun, Evans malah menyuruhnya menunggu.
“Diam di sana!" seru Evans dingin. Ia menyesap kopi itu, lalu tiba-tiba menyemburkannya dengan raut marah.
“Ini terlalu manis! Sudah kukatakan, jangan terlalu manis atau pahit, Bodoh!” hardiknya tajam.
Elena membeku. Tubuhnya seketika terasa sangat kaku. Ucapan yang keluar dari mulut Evans barusan, menampar lebih keras dari apa pun yang pernah ia rasakan.
Tidak pernah sekalipun ia mendapat bentakan seperti itu dari keluarga, dan kali ini ia mendapatkannya dari sang kakak.
“Kak Jemima bilang, Anda menyukai satu sendok teh gula,” jawabnya lirih, berusaha membela diri.
"Sekarang aku tidak suka! Cepat singkirkan minuman sampah ini dan bersihkan tumpahannya!" perintah Evans keras.
Segores luka tercipta di hati Elena. Ia tak pernah menyangka, kalau sikap Evans di kantor ternyata lebih menyakitkan. Evans mungkin sengaja memanfaatkan tempat ini untuk menyakitinya lebih dalam.
Elena tak boleh lemah. Ia tak akan mengadukan hal ini pada sang ayah, karena beliau tidak boleh banyak pikiran. Lagi pula, dunia kerja memang sangat menakutkan, dan ia harus mulai memahaminya dari sini.
Bergegas Elena membawa kopi tersebut ke dapur, lalu kembali ke ruangan Evans dengan membawa selembar kain lap.
Jemima yang mengetahui hal itu mencoba membantu Elena, tetapi Evans dengan tegas melarangnya.
"Biar aku saja, El, ka—"
Jemima sontak terdiam, tatkala mendapati sorot mata dingin yang Evans tunjukkan padanya.
Wanita itu akhirnya hanya bisa memerhatikan Elena dengan tatapan perihatin.
"Kalau membuat minuman saja tidak becus, bagaimana dengan bekerja! Awas kalau besok sampai mempermalukanku, aku tidak akan pernah menolerir kesalahan yang kamu buat!"
Mendengar hal tersebut, Elena lantas memegang tangan kanannya yang sedang membersihkan tumpahan kopi dengan gemetar.
"Baik, Pak! Sekali lagi maafkan kesalahan saya hari ini," ucapnya seraya berdeham, agar tidak terdengar menyedihkan.
Ini baru hari pertama, dan ia tidak boleh menyerah begitu saja.
"Kamu pasti bisa, El!" Batinnya menguatkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Siska Agustin
Elena jadikan itu cambukan untukmu jadi sukses yaa,ttp semangat jangan biarin Evans menang dg tingkahnya yg menyebalkan.anggap aja dia g ada otak jadi yg waras ngalah dulu,kesel aku lama² sama Evans!!
2022-06-16
1
Tyara Lantobelo Simal
Elena... yang terbaik untuk mu
Selanjutnya
semangat Thor
❤️❤️❤️
2022-06-08
1
Santai Dyah
Semangat Elena
2022-06-08
1