Selesai pemakaman, satu persatu orang yang melayat pulang ke rumah masing-masing. Kini, tinggallah Anin dan adiknya yang tengah ditemani oleh keempat temannya.
Anin masih duduk termenung di ruang tengah, dimana ibunya sering duduk santai sambil menonton televisi bersama. Sekarang tinggal menjadi sebuah kenangan, yang tak lagi bisa untuk dilewati bersama ibunya di setiap harinya.
"Nin, aku pamit pulang ya. Aku minta maaf, kalau aku tidak bisa menemani kamu. Malam ini, aku ada kepentingan. Besok aku usahain untuk menginap di rumah kamu." Ucap Dinda berpamitan, Anin hanya mengangguk dengan pikirannya yang lagi berkabung.
"Kalian berdua menginap di rumah Anin, 'kan?" tanya Dinda pada kedua temannya.
"Ya, Din." Jawab Ayun dan Nilam bersamaan.
"Kalau gitu, aku pulang dulu ya. Burnan, aku pulang ya." Ucap Dinda berpamitan sebelum pulang.
Setelah Dinda pulang, ketiga temannya membantu beres-beres rumah Anin. Sedangkan Didit, membereskan tempat tidur ibunya.
Sedih, itu sudah pasti. Kehilangan orang yang disayangi dalam keluarga, begitu sakit dan hancur perasaannya. Didit sebagai anak laki-laki, hatinya terasa terenyuh saat kehilangan ibunya secara mendadak.
Sambil membereskan kamar, Didit juga mengingat sesuatu. Takutnya dirinya lupa jika ada ucapan atau pesan dari ibunya.
"Aku hampir lupa, ada sesuatu yang pernah ibu katakan padaku. Kotak, sebuah kotak yang berharga." Gumam Didit yang teringat dengan sebuah pesan dari ibunya sebelum meninggal.
Didit yang baru saja teringat, segera mencarinya di dalam lemari baju milik ibunya.
Berulang kali Didit mencarinya, masih juga belum menemukan barang yang dipesankan ibunya.
"Kata Ibu di lemari baju paling bawah, kenapa nggak ada ya? aku periksa lagi, coba." Ucapnya lirih sambil mencarinya.
"Oh ya, ini. Tapi, tidak mungkin aku menyerahkannya pada Kak Anin sekarang. Aku simpan aja, dulu. Sekarang Kak Anin pasti belum siap untuk melihatnya." Ucapnya lagi dan memilih menyimpannya di dalam kamar sendiri.
Setelah membereskan kamar ibunya, Didit membereskan ruang tamu yang dibantu oleh ketiga temannya sang kakak.
Malam yang semakin larut dan baru saja selesai acara kirim doa, Anin masuk ke kamarnya di temani Ayun dan Nilam.
Sedangkan Didit, tidur bersama Burnan. Persahabatan yang terus terjaga hubungannya, sama-sama saling bahu membahu.
"Sudah malam ini loh Nin, kita tidur yuk. Jangan siksa diri kamu dengan tidak tidur, kamu harus fit. Kita berdua tahu akan perasaan kamu saat ini, tapi bukan berarti kamu harus seperti ini. Relakan kepergian ibu kamu, Nin. Semua juga bakal kembali, dan kita tidak bisa menolak dan mengelak." Ucap Ayun sambil mengusap punggungnya.
"Ya, Nin, yang dikatakan Ayun itu benar. Sudah larut malam ini, Nin. Kita tidur yuk, kasihan kesehatan kamu kalau tidak dibuat untuk istirahat." Timpal Nilam ikut bicara dan juga mengingatkan.
Anin menoleh ke Ayun dan Nilam secara bergantian.
"Aku menyesal, karena aku belum memberi kebahagiaan pada Ibuku, Nil, Yun. Aku merasa gagal menjadi seorang anak, sama sekali aku belum membahagiakan Ibu." Jawab Anin dengan raut wajah yang terlihat sembab, lantaran dirinya terus menangis.
"Kamu masih ada waktu, yakni membuktikan bahwa kamu itu mampu untuk melewati semuanya dan menjadikan kamu berhasil menggapai impian kamu." Ucap Nilam memberi saran, Anin mengangguk pelan.
"Ya, aku akan membuktikan bahwa aku bisa. Tapi, semangatku hilang." Jawab Anin yang dengan lesu.
"Sudah malam, lebih baik kita istirahat dulu. Masih ada pagi untuk bercerita, ayo kita tidur." Ucap Ayun ikut menimpali.
Anin mengangguk dan berbaring di atas tempat tidur ditemani ketiga temannya, meski terasa sempit sekalipun.
Rasa kantuk yang sudah menguasai diri masing-masing, Anin dan kedua temannya tertidur.
Berbeda di kamar Didit, keduanya masih terjaga kesadarannya.
"Kak Burnan, kabarnya Kak Andika bagaimana? kenapa tidak pernah datang ke kampung? setidaknya temui Kak Anin."
Didit yang penasaran dengan pacar kakaknya, terpaksa menanyakan pada Burnan selaku teman gengnya.
"Andika kuliah di luar negri dan sengaja untuk tidak pulang ke kampung, karena harus menuntaskan pendidikannya. Satu tahun lagi selesai, katanya akan langsung pulang ke kampung dan menjemput kakak kamu." Jawab Burnan selaku teman baik kakaknya.
"Kak Burnan beneran? tidak bohong, 'kan?" tanya Didit kembali memastikan.
Takut, jika kakaknya hanya dibohongi semata.
"Oh ya, kalau Kak Elang, bagaimana kabarnya? dia juga tidak pernah pulang ke kampung."
Tidak cukup menanyakan Andika, sekarang beralih menanyakan Elang.
"Elang sama juga dengan Andika, mereka berdua melanjutkan kuliahnya di luar negri." Jawab Burnan yang akhirnya menceritakan kebenaran.
"Jadi, Kak Elang juga kuliah di luar negri?" tanya Didit masih tidak percaya.
Pasalnya, Elang tidak pernah bercerita tentang jadi dirinya. Justru, selama ini Elang dikenal dengan lelaki biasa biasa saja dan tidak pernah bilang mengenai keluarganya. Semakin penasaran, Didit ketagihan ingin bertanya lagi.
"Kalau boleh tahu, Kak Elang kuliah di luar negri lewat jalur berprestasi kah? atau memang orang tuanya itu tajir." Tanya Didit kembali menyelidik karena rasa ingin tahunya.
"Ya, Elang anaknya orang kaya. Ceritanya panjang, itupun hanya aku dan kakek neneknya yang tahu tentang Elang." Jawab Burnan yang akhirnya berterus terang, dan tidak ingin menyembunyikan apapun dari Didit.
"Tolong ceritakan kebenarannya." Pinta Didit untuk melanjutkan ceritanya.
"Kamu janji, tidak akan menyampaikannya sama kakak kamu." Ucap Burnan dengan kode ancaman.
"Ya, aku janji." Jawab Didit meyakinkan.
"Baiklah, aku akan menceritakan semuanya padamu. Elang dulunya anak yang sulit untuk diatur, meski usianya masih sekolah dasar. Sejak selesai kelulusan dan mau menginjakkan kakinya ke bangku sekolah menengah pertama, Elang dipindahkan ke kampung dengan tujuan untuk bisa menghargai waktu dan memperbaiki diri hingga sosok Elang benar-benar sudah berubah. Ketika sudah dinyatakan berubah, Elang diminta kembali ke kota untuk menjadi penerus keluarganya." Ucap Burnan bercerita inti pokok isinya.
"Jadi, begitu ceritanya. Kalau Kak Andika, aku belum mengetahui asal usulnya. Yang aku tahu, Kak Andika mempunyai ayah yang kaya raya di kota, itu saja." Kata Didit.
"Kalau Andika, kedua orang tuanya berpisah karena ibunya tidak sederajat dengan keluarga ayahnya. Ingin tahu kenapa? ibunya Andika itu, dulunya menjadi pembantu di rumah ayahnya. Karena tidak mendapatkan restu, ayahnya tetap memaksa. Tapi pernikahannya tidak berlangsung lama, dan bercerai. Kemudian, ibunya Andika di usir bersamaan dengan Andika yang masih bayi. Karena sakit-sakitan, ibunya meninggal dan di rawat oleh kakek dan neneknya. Karena Andika adalah pewaris yang sebenarnya, makanya diminta untuk kembali ke kota." Ucap Burnan bercerita dari awal dan akhir.
Lagi-lagi Didit seperti tidak percaya dengan cerita Burnan.
"Sudah malam, ayo kita tidur. Kamu tidak perlu memikirkan mereka berdua, tujuan kamu untuk menjaga kakak kamu, 'kan? seperti yang kamu katakan padaku atas pesan dari ibumu." Ucap Burnan dan mengajaknya untuk istirahat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments