"Pokoknya kamu harus sembuh. Kamu tidak boleh kemana-mana. Ingat itu lukamu masih basah," jawab Dewa.
"Enggak kak. Lukaku di dalam hatiku lebih perih. Ketimbang luka di perutku," jawab Sascha yang mulai meneteskan air matanya.
"Dengerin aku sa. Aku tidak mau kamu kenapa-kenapa. Lukamu baru dijahit. Luka di dalam hatimu tidak bisa sembuh... Aku sembuhkan," ucap Dewa secara tulus.
Sascha menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecut, "Biarkan aku menjadi gadis yang hina. Biarkan aku menjadi gadis miskin seperti ini. Biar kamu tidak ada beban sedikitpun. Kamu boleh menghina aku sesukamu."
Dewa segera bangun dengan mata menyalang, "Kamu bilang apa! Ha! Kamu bilang apa! Katakan sekali lagi!"
"Biarkan aku menjadi gadis hina! Biarkan aku menjadi gadis miskin! Biar aku tidak ada beban sedikitpun! Aku tidak pantas buat siapapun!" teriak Sascha.
"Kamu mengatakan itu lagi! Aku pergi dari hidupmu selamanya!" ancam Dewa.
"Kenapa kamu ingin berteman denganku! Kenapa kamu ingin menjadi sahabatku! Kamu orang terpandang. Nama keluarga kamu mendunia. Aku sementara apa? Aku hanya orang miskin. Orang miskin menjadi beban buat orang," ucap Sascha yang mengeluarkan air mata.
"Kamu tahu, kenapa aku menjadi sahabatmu? Kamu tahu kenapa aku menjadi sahabatmu! Karena ada timbal baliknya. Aku bisa merasakan kesusahan setiap orang. Aku bisa merasakan orang itu tidak makan selama berhari-hari. Aku bisa merasakan menjadi orang miskin. Karena aku belajar dari kamu. Aku beruntung kamu menjadi temanku. Aku sangat beruntung. Biarlah apa kata orang bicara? Tapi jangan katakan itu lagi. Aku mohon," ujar Dewa yang matanya memerah. "Sekarang kamu istirahat. Jangan pikirkan bahan meeting itu. Aku ingin kamu sehat."
"Bisakah aku pulang?" tanya Sascha.
"Kamu tidak boleh pulang terlebih dahulu. Aku berjanji akan membawamu pulang besok pagi," lirih Dewa yang sampai terdengar Sascha.
Sascha menganggukan kepalanya sambil tersenyum, "Baiklah."
Sascha memutuskan untuk tidur kembali. Siang ini Sascha sangat mengantuk sekali. Karena terkena obat tidur. Sementara itu Dewa tersenyum manis sambil membelai pipi Sascha. Lalu Dewa berkata dalam hati, "Jangan pernah meragukan perasaanku. Aku tulus berteman dengan kamu. Saat kamu banyak kekurangan. Kamu masih bisa berbagi dengan orang lain. Disitulah aku mulai belajar. Apa artinya hidup."
Dewa melangkahkan kakinya keluar lalu mengambil ponselnya. Kemudian Dewa menghubungi pengawalnya untuk segera ke sini. Beberapa menit berlalu pengawal setia menemaninya dari kecil hingga dewasa itu muncul. Pengawal itu membungkukkan tubuhnya sambil memberi hormat, "Selamat siang tuan."
"Aku tahu bapak selalu mengikutiku kemana aku pergi. Pak aku minta satu atau dua orang yang bisa mengikuti Sascha ke mana pergi. Aku enggak mau kalau Billi dan keluarganya menyakitinya!" perintah Dewa.
"Baik tuan. Ada lagi?" tanya Pak Aryo nama sang pengawal itu.
"Buatkan laporan penembakan tadi ke kepolisian. Suruh Marty mencari CCTV di mana Sascha tertembak!" titah Dewa. "Sudah itu saja."
"Baik tuan," balas Pak Aryo yang segera meninggalkan Dewa.
Setelah penembakan itu Billi masuk ke dalam rumah. Billi tidak merasa bersalah sama sekali atas kejadian itu. Billi sangat senang melihat Sascha tertembak. Bahkan Billi berharap Sascha mati. Tak lama datang Risa dengan membawa barang-barang mewah. Risa tak perduli masuk ke dalam rumah Billi walau tidak ada orang.
"Billi... Billi sayang!" teriak Risa.
Billi yang mendengar Risa berteriak sangat kesal. Billi hanya bisa menghembuskan nafasnya dan ingin menyakitinya. Namun semua itu diurungkan niatnya. Karena jika Billi menyakitinya akan merugi sendiri. Billi terpaksa keluar dan melihat Risa yang bahagia.
"Ada apa?" tanya Billi kesal.
"Apakah Sascha kemari?" tanya Risa balik.
"Iya. Dia datang sama Dewa sialan itu," jawab Billi yang kesal.
"Apakah kamu ingin Sascha mati?" tanya Risa.
"Tentu," jawab Billi yang serius.
"Dimana Santi?" tanya Risa yang mencari keberadaan Santi.
"Enggak tahu. Paling ke mall," jawab Billi yang tidak perduli dengan Santi.
"Aku kesini ingin membicarakan rencana melenyapkan Sascha dari bumi agar tidak mengganggumu. Jika Santi ke mall sama mama biarkanlah," ucap Risa. "Kalau begitu aku ke kamarmu. Apakah kamu tidak rindu dengan belaianku?"
Billi tersenyum dan mengajak Risa ke kamar. Lalu mereka melakukan adegan ranjang. Malam telah tiba. Sascha bangun dan melihat Dewa yang sedang sibuk dengan benda pipihnya. Lalu Sascha memanggil Dewa secara pelan, "Kak... Kak!"
Mendengar ada yang memanggil, Dewa menaruh ponselnya. Lalu Dewa tersenyum melihat Sascha yang sudah bangun. Kemudian Dewa mendekati Sascha sambil memegang tangannya, "Apakah kamu sudah baikan?"
"Sudah. Bolehkah aku pulang?" tanya Sascha balik.
"Ya. Kamu boleh pulang malam ini. Aku sudah menebus obat dan salepnya. Kamu tinggal sama aku dulu," jawab Dewa.
"Ngapain aku tinggal bersamamu? Rasanya ada udang dibalik rempeyek?" tanya Sascha mengerutkan keningnya.
"Ah... Tidak. Aku akan meminta pelayan untuk merawat lukamu," jawab Dewa. "Atau kamu boleh milih?"
"Milih apa?" tanya Sascha yang tidak paham.
"Milih aku yang akan mengobati lukamu," jawab Dewa.
"Astaga," pekik Sascha. "Kakak kok tiba-tiba saja mesum begitu?"
Dewa tertawa terbahak-bahak. Dewa tidak marah dengan Sascha. Tetapi menurutnya Sascha itu sangat lucu sekali. Kemudian Dewa duduk di ranjang sambil menggelengkan kepalanya, "Enggak juga. Apakah aku mempunyai wajah mesum?"
"Bisa jadi," jawab Sascha.
"Aku bisa mesum karena kamu. Jika ada sesuatu dengan kamu tinggal nikah saja. Gitu aja kok repot," ucap Dewa yang tersenyum lucu.
"A... A... A... Apa yang kamu katakan? Apakah kamu ingin menikah?" tanya Sascha yang bingung.
"Ya. Aku memang ingin menikah. Tapi enggak sekarang. Aku masih bingung dengan siapa aku menikah?" tanya Dewa balik.
"Apa-apaan kamu. Kamu menjadi aneh. Ditanya dengan siapa menikah? Malah bingung dan balik nanya. Hufth... Ada-ada saja," ucap Sascha yang menggelengkan kepalanya.
"Aku ingin menikah dengan seorang gadis yang sudah aku incar dari dulu. Tapi sekarang aku masih bingung dengan gadis itu," ujar Dewa.
"Lalu? Apakah kamu perlu bantuanku? Siapa tahu kamu bisa menikah? Ingatlah umurmu yang akan menginjak kepala tiga."
Dewa tersenyum lucu melihat wajah Sascha yang imut itu. Dewa hanya bilang ke Sascha dengan serius, "Nanti ada masanya aku akan menikah. Aku ingin lihat kamu berhasil. Dan membuktikan bahwa kamu bisa."
"Aku harus mendapatkan S2. Aku ingin meraih cita-citaku."
"Raihlah cita-citamu. Aku bahagia bisa melihatmu sukses. Tahun depan kamu sudah boleh kuliah."
"Kalau begitu baiklah."
"Bersiaplah. Kamu boleh pulang."
Sascha menganggukan kepalanya dan mencoba turun. Meskipun perutnya cukup perih namun Sascha masih kuat menahan sakit. Mereka akhirnya memutuskan untuk pulang ke Bekasi.
***
Di Amerika Tara sangat bingung dengan keadaan Sascha. Tara ingin sekali pulang ke Jakarta. Namun niatnya diurungkan karena ada banyak pekerjaan. Beberapa saat kemudian datang pria paruh yang mendekati Tara. Lalu pria paruh baya itu memeluk Tara dari belakang sambil mencium leher Tara. Kemudian pria itu merasakan Tara yang sedang bingung, "Ada apa?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 479 Episodes
Comments