Di rumah Billi, Santi dan Fatin sangat kesal sekali terhadap Sascha. Kebencian semakin bertambah karena Sascha menginjakkan kakinya di rumahnya. Lebih baik mereka memilih Risa yang ternyata anak pengusaha yang super tajir ketimbang Sacha yang notabenenya dari keluarga miskin.
"Gue kesel kalau Sascha ke sini!" bentak Billi.
"Lu bukannya sudah mutusin hubungan sama si Sascha?" tanya Santi.
"Udah. Gue memang enggak suka saja sama Sascha," jawab Billi.
"Ya udah. Enggak usah pusing!" geram Santi.
"Lu punya cara apa biar Sascha celaka?" tanya Billi.
"Lu mau dia celaka? Tumben lu pengen membuat mantan celaka?" tanya Santi balik.
"Iyalah. Supaya dia enggak nemuin lagi," jawab Billi.
"Ok. Tunggu besok gue panggil orang untuk mencelakai Sascha," ucap Santi.
Tak lama datang Fatin dengan membawa dompet yang kosong. Lalu Fatin mendekati Santi dengan melemparkan dompet itu ke wajah Santi, "Lu berdua udah sebulan lebih kagak ngasih uang!"
"Maaf ma," jawab Santi yang buru-buru membuka tas dan mengeluarkan uang berwarna merah segepok. "Ini buat mama."
Santi menyodorkan uang itu ke Fatin dengan senyum mengembang. Kemudian Fatin meraihnya sambil tersenyum manis, "Terima kasih."
"Tumben. Lu banyak duit?" tanya Billi.
"Iyalah bang. Masa orang cantik kagak punya duit," jawab Santi dengan menyombongkan dirinya.
"Darimana itu?" tanya Billi.
"Enggak perlu tahu dari mana uang itu," jawab Fatin. "Tengkyu sayang. Kamu memang terbaik."
Sementara itu Billi tidak menaruh curiga pada uang itu. Meskipun curiga Billi tidak perduli sama sekali. Biarkanlah uang itu menjadi misteri. Kemudian Fatin menatap tajam wajah Billi yang tidak pernah memberikan uang sedikitpun.
"Dasar pelit!" ejek Santi.
Sascha terbangun dari pingsannya lalu melihat Dewa. Kemudian Sascha bingung, kenapa dirinya berada di kamar? Sedangkan tadi dirinya berada di dapur untuk memasak. Sascha langsung menatap wajah Dewa yang penuh tanda tanya, "Di mana aku?"
"Kamu berada di kamar," jawab Dewa.
"Bukannya aku berada di dapur ingin memasak?" tanya Sascha.
"Memang. Tapi kamu pingsan di dapur. Gara-garanya kepalamu kejedot pintu kulkas," jawab Dewa.
"Apakah itu benar?" tanya Sascha.
''Itu benar," jawab Dewa.
"Ya...sudah dech aku memasak," ucap Sascha yang bangun.
"Kamu enggak nanya, berapa lama kamu pingsan?" tanya Dewa.
Mata Sascha membulat sempurna. Entah kenapa Dewa menanyakan balik berapa lama dirinya pingsan. Sangking penasarannya, Sascha bertanya, "Memang sudah berapa lama aku pingsan?"
"Hampir dua jam," jawab Dewa dengan senyuman yang merekah.
"Apa?" pekik Sascha.
"Ya. Kamu pingsan selama itu," jawab Dewa.
"Apakah kamu sudah makan?"
"Sudah. Aku tadi memesan makanan lewat online. Kamu makan gih," suruh Dewa.
"Baiklah," balas Sascha.
Lalu Sascha turun dari ranjang. Sascha melihat Dewa yang begitu kelihatan aneh ini hanya bisa menghembuskan nafasnya. Sebelum keluar dari kamar Dewa berteriak, "Persiapkan dirimu. Kita kembali ke Bekasi. Kamu harus mempersiapkan semuanya tentang bahan meeting yang dikasih sama Mas Kobe."
"Kita kembali sekarang?" tanya Sascha yang masih di ambang pintu.
"Pokoknya makan dulu. Jangan sampai kamu lapar karena berantem sama Keluarga Billi," pinta Dewa.
"Kamu benar. Terima kasih selama ini aku baru sadar siapa mereka," ucap Sascha.
"Harusnya kamu sadar terlebih dahulu. Billi memang tidak baik untukmu. Keluarganya juga tidak baik. Ibu juga enggak suka sama Billi," ujar Dewa. "Setelah ini apa yang kamu lakukan?"
"Aku pengen jadi orang sukses. Aku ingin sekolah mengambil S2," jawab Sascha.
"Baguslah. Kamu tinggal pilih mana? Antara Harvard atau Oxford?" tanya Dewa.
"Apa?" pekik Sascha. "Apakah kamu sudah gila masuk ke sana?"
"Aku enggak gila. Mengingat nilai kamu saat kamu kuliah. IPK kamu bagus. Kamu bisa mengambil jalur beasiswa," jawab Dewa.
"Lalu aku tinggal di mana?" tanya Sascha.
"Tinggal di mansion Mama Tara," jawab Dewa.
Sascha menggelengkan kepalanya sambil menghembuskan nafasnya, "Aku enggak mau menjadi beban mereka."
"Maksudnya kamu enggak jadi beban buat mereka. Di sana banyak sekali kamar yang kosong. Kamu hanya tinggal pilih," saran Dewa.
Sascha menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Aku tidak mau."
"Kalau begitu kamu boleh tinggal di apartemen bekas pegawai D'Stars cabang New York. Kamu tidak perlu keluar uang untuk lainnya," usul Dewa.
"Apakah ada biaya sewanya tiap bulannya?" tanya Sascha.
"Tidak ada. Kamu boleh tinggal di sana."
"Apakah aku boleh bekerja?"
"Boleh. Kamu masuk saja ke D'Stars cabang New York. Tapi di sana mentalmu harus kuat menghadapi rintangan dan tantangan dari Papa dan mama. Kamu enggak boleh menyerah sama sekali. Karena mereka mempunyai watak yang keras sekali," jawab Dewa.
Sascha menganggukan kepalanya tanda setuju. Lalu Sascha tersenyum sambil berkata, "Baiklah."
Kemudian Sascha pergi dari kamarnya. Lalu Dewa tersenyum melihat Sascha yang tidak menangis atau kecewa. Seharusnya begitu orang kalau patah hati. Tidak perlu menangis atau sedih terus-menerus. Karena di depan masih banyak impian yang harus diraih.
Setelah makan Sascha bersiap untuk memanggil Dewa. Lalu Sascha mendekati Dewa sambil bertanya, "Aku rindu sama Dita."
"Dita masih menyelesaikan syutingnya. Sebentar lagi dia akan mengambil S2nya juga. Aku tidak mau Dita berlarut dalam dunia keartisan. Suatu hari nanti Dita juga mendapatkan jatah dari kakek memegang perusahaan di negara lain," jawab Dewa.
"Memang pendidikan nomor satu. Meskipun sudah tua juga harus mengenyam pendidikan untuk menjadi orang sukses," celetuk Sascha.
"Jangan kamu sia-siakan kesempatan emas ini. Aku juga mau mengambil S3ku di Amerika. Dan aku akan melanjutkan S2 teknik informatika. Aku harus mempunyai ini semua," jawab Dewa.
"Bukan ide yang buruk," puji Sascha.
"Sudah selesai?" tanya Dewa.
"Sudah. Apakah kamu ingin lihat Mr. Big?" tanya Sascha.
"Kayaknya enggak. Waktunya sedikit. Nanti pengen lihat kembaranku," jawab Dewa yang percaya dirinya.
"Siapa itu?" tanya Sascha yang mengerutkan keningnya.
"Jon Bon Jovi," jawab Dewa yang tersenyum mengerjai Sascha.
Pletakkkkk.
Sascha semakin kesal terhadap Dewa yang menyatakan dirinya seperti Jon Bon Jovi. Ingin rasanya Sascha menenggelamkan wajah sahabatnya di Pantai Selatan. Memang wajah Dewa mirip rockstar Jon Bon Jovi. Sangking miripnya Dewa bisa ngerjai Sascha. Sementara itu Dewa terkekeh melihat Sascha yang kesal. Dewa memang pandai mengerjai Sascha.
"Terserah kamu dech kalau kamu mirip dengan Jon Bon Jovi atau Eric Martin atau juga Joey Tempest," kesal Sascha.
"Ayo pulang," ajak Dewa yang pergi meninggalkan Sascha.
Sascha menganggukkan kepalanya dan mulai mengikuti Dewa. Meskipun sakit tidak berdarah Sascha tetap bisa mengambil hikmah di balik kejadian ini.
"Dua Minggu lagi kamu pergi ke Amsterdam!" titah Dewa.
"Kenapa aku ke sana?" tanya Sascha yang mulai melihat layar ponselnya.
"Kamu, Maya, Della dan Intan harus mengikuti seminar internasional di sana selama dua hari!" Jawab Dewa.
"Baiklah. Seminar seperti biasa yang diadakan setiap bulan," balas Sascha.
"Iya. David sudah menyiapkan tiket akomodasinya," jawab Dewa.
Sascha menuruti keinginan Dewa untuk pergi ke seminar bulanan yang sengaja diadakan oleh pusat. Dewa sering sekali mengirim Sascha beserta timnya. Karena menurut Dewa Sascha pandai berbicara bahasa Inggris dengan lancar. Selain itu Sascha sering mendapatkan ilmu dari sana untuk dibagikan untuk. karyawan lainnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 479 Episodes
Comments