Ayah dari anakmu

Matahari mulai menyingsing, semburat jingga menghiasi langit. Lily tengah sibuk di dapur menyiapkan makan malam untuk untuk dia dan keluarga Ayu.

Sayur nangka muda, ikan, tahu, tempe dan ayam goreng dengan cekatan ia siapkan. Meskipun bukan makanan mewah, tetapi semua itu ia siapkan dengan sepenuh hati.

Tok ... tok ...tok ...

Suara ketukan pintu menghentikan tangan Lily yang hendak memasukkan tempe kedalam wajan.

"Assalamualaikum, Tante Lily!"

"Wa'alaikumsalam, sebentar," sahut Lily. Ia segera mematikan kompor kemudian mencuci tangannya.

Lily segera bergegas pergi ke ruang tamu, untuk membuka pintu. Lily tersenyum lebar menyambut kedatangan Ayu dan keluarganya.

"Ayu, Rafa. Ayo masuk," ujar Lily.

"Mereka aja, aku nggak di suruh masuk?" tanya seorang laki-laki yang sedang mengendong balita, ia tak lain adalah suami Ayu, Joko.

"Masuk aja Mas, Bintang tidur ya?"

"Iya Nih, dari tadi rewel sepertinya ngantuk," jawab Joko sambil menatap wajah mungil putranya.

Mereka pun masuk, dan duduk bersama di tikar yang ada di ruang tengah.

"Kak Rafa akhirnya datang!" pekik Adam senang

Adam sudah sejak tadi, duduk sambil menonton televisi di sana.

"Stt ... jangan keras-keras, adik Bintang lagi bobo," ucap Lily lirih. Adam pun mengangguk mengerti.

"Sebaiknya, Bintang di tidurkan di kamar aja Yu, kasihan kalau digendong begitu.

"Iya." Ayu mengambil Bintang dari gendongan suaminya, kemudian ia membawa balita berusia dua tahun itu ke kamar Adam.

Sementara ketiga laki-laki sedang asik menonton televisi bersama, Ayu dan Lily sibuk menyelesaikan masakan di dapur.

"Li, aku bener-bener minta maaf ya. Mungkin kalau hari itu aku nggak kasih izin Adam buat ikut Rafa jualan, mungkin semua ini nggak akan terjadi.

Maaf juga, aku nggak nengok kamu sama Adam di rumah sakit, maaf ya Ly ... maaf," ucap Ayu dengan penuh penyesalan.

"Astaga Ayu, kamu ini ngomong apa? ini semua musibah. Kalaupun hari itu Adam nggak ikut Rafa, dia juga akan jatuh atau terkena hal lain. Jangan menyalahkan dirimu, kita keluarga kan." Lily meletakkan mangkok yang baru selesai ia isi dengan sayur nangka muda.

"Kamu adalah satu-satunya keluarga yang aku punya, aku yang banyak hutang budi sama kamu." Lily memeluk erat tubuh Ayu.

"Heh ... Kenapa kok jadi bahas hutang budi? Kamu memang hutang apa sama aku? Kalau kamu menganggap aku keluarga, kita nggak ada istilah utang budi."

"Kamu juga nggak harus minta maaf seperti ini kalau begitu," rengek Lily.

"Udah ...Ah melow-nya. Laper," ujar Ayu. Lily melepaskan pelukannya, ia menyengir memamerkan jajaran giginya.

"Hehehe .... iya, kita bawa ke depan yuk."

Malam malam pun siap tersaji, mereka semua makan dengan khidmat, menikmati sajian sederhana yang di siapkan Lily. Sesekali Lily memperhatikan Adam yang tengah menatap Rafa yang disuapi sang ayah. Tak sekalipun Adam bertanya tentang ayahnya, setelah terakhir kali Lily menangis karena tak mampu menjelaskannya. Namun, Lily tahu dalam hati Adam, ia merindukan sosok seorang Ayah.

Hatinya seakan diremas, melihat wajah Adam. Lily sadar betapapun ia berusaha, ia tidak bisa memenuhi sosok seorang ayah bagi Adam. Lily mengusap lembut rambut sang anak.

"Adam mau bunda suapi?"

Adam menoleh, menatap kearah sang bunda dengan senyum yang merekah, tak terlihat lagi tatapan sendu nan merindukan. Sungguh ia tahu bagaimana cara agar Lily tidak merasa sedih. Adam menggelengkan kepalanya.

"Adam udah gede Bunda!" tegasnya.

"Kamu masih kecil, belum juga genap lima tahun." Lily mencubit gemas hidung mungil Adam.

Kadang Lily merasa Adam bersikap terlalu dewasa untuk anak seusianya.

"Cuma kurang dua bulan aja kan Bunda," sahut Adam sambil menggosok hidungnya yang memerah.

Ayu tersenyum melihat Adam dan Lily bisa bahagia, dan menjalani kehidupan mereka dengan baik seperti sekarang. Ia ingat bagaimana sang mendiang ibunya pertama kali mengajak Lily pulang bersamanya. Wanita itu kurus dan dalam keadaan hamil besar, saat itu keadaan sangat tidak baik.

"Bagaimana Yu, enak?" tanya Lily tiba-tiba.

Ayu mengangguk. " Enak kok, kenapa?"

"Hehehehe ... tanya aja. Sapa tau ke asinan, kan jarang juga aku masak."

"Enak, kok cuman kurang sepertinya ada yang kurang," Seloroh Joko.

"Emang apa yang kurang Mas?" tanya sang istri. Lily pun mengerutkan keningnya ikut menanti jawaban Joko.

"Kurang sambalnya."

"Astaga, kamu ini Mas." Ayo menyenggol lengan suaminya.

Suasana begitu hangat dan penuh canda tawa, Lily sangat bersyukur bisa memiliki keluarga seperti mereka. Hidup dalam kesederhanaan dan saling menyayangi, tak ada lagi yang ia inginkan. Sangat jauh jika dibandingkan dengan kehidupannya yang dulu, bergelimang harta tapi tak ada rasa kasih di dalamnya.

Setelah menyelesaikan makan malam, Ayu dan keluarganya pun pamit undur diri.

"Makasih ya Ly, kapan-kapan gantian makan di rumah aku," ucap Ayu.

"Siap deh, asal dibikinin tempe mendoan."

"Siaplah, kalau cuma mendoan aja. Asal jangan sate kambing, mahal."

Keduanya pun tertawa bersama. Setelah mengantarkan Ayu dan keluarganya sampai di pintu depan. Lily kembali masuk.

"Di minum susunya Sayang, bunda tinggal cuci piring sebentar ya," ucap Lily sambil menyodorkan segelas susu coklat hangat untuk Adam.

"Iya Bunda," jawab Adam.

Lily tersenyum, ia kembali ke dapur untuk bertempur dengan tumpukan piring kotor. Belum lama tangan Lily bergulat dengan busa dan sisa makanan yang menempel di piring. Suara ketukan pintu kembali terdengar dari luar.

"Siapa?!" teriak Lily, suaranya sangat mungkin terdengar oleh sang tamu, karena letak dapur yang tidak begitu jauh dari rumah tamu.

Tak ada jawaban, tapi pintu itu kembali di ketuk, bahkan lebih keras.

"Siapa sih," gumam Lily. Ia membasuh kedua tangannya yang penuh busa lalu menutup kran air.

Tok ... tok .. tok ...

"Siapa? Tante Ayu ya?" kali ini Adam yang bertanya.

Lily berjalan mendekati putranya. Lily membantu Adam untuk berdiri, kemudian mendudukkannya di kursi roda.

"Siapa ya Bun?"

"Nggak tau, apa mungkin Ayu? tapi kenapa nggak jawab kalau di tanya?" Lily jadi merinding membayangkan siapa yang mengetuk pintu.

Apalagi ini sudah lebih dari jam sembilan malam, malam ini juga lumayan sepi tak seperti biasanya.

Suara ketukan pintu kembali terdengar. Lily semakin penasaran sekaligus takut, apa mungkin orang? atau hantu? Hais ... pikiran Lily jadi tidak karuan.

"Bunda buka pintu ya," ucap Lily dengan ragu.

"Adam ikut Bunda," sahut Adam, ia tidak tega melihat wajah bundanya yang ketakutan.

Adam tahu bundanya takut dengan hal-hal mistis. Meskipun Adam yakin yang mengetuk pintu adalah manusia bukan hal yang tak kasat mata, tetapi ia juga tidak tahu orang itu punya maksud baik atau buruk.

Lily mendorong kursi roda putranya, sampai di dekat pintu. Lily mengambil sapu untuk berjaga-jaga, jikalau seorang di balik pintu menyerangnya.

Tok ... tok ...

"Siapa?" tanya Lily lagi.

"Cepat buka," sahut seseorang dari luar. Suara itu sangat familiar bagi Lily.

Dengan takut-takut Lily akhirnya membuka pintu, saat pintu terbuka. Seorang laki-laki memakai kacamata hitam, tinggi tegap berdiri dihadapannya.

Lily mencengkeram kuat sapu yang di pegangnya.

"Siapa Anda?" tanya Lily.

Bukannya menjawab tersenyum kecil, seperti menyeringai menakutkan.

"Aku Adalah Ayah dari anakmu," ucapnya.

Terpopuler

Comments

Torabika Torabika

Torabika Torabika

jreeenngg kan Tian aric pasti yg datang tuh, kyknya ya pas donor darah di test DNA apa ya aric sm Adam jd tau itu anak dia... mknya tiba2 blng ayah anak mu

2024-04-17

0

Torabika Torabika

Torabika Torabika

hantumya cosplay jd si tuan ganteng, hayo gmn tuh

2024-04-17

0

Torabika Torabika

Torabika Torabika

sabar Adam bentaran lg ayah mu datang ya...gk mungkin tuan aric begitu peduli klo gk ikutin kt hati dan insting...jd Adam sabar dlu yaaa saatnya pasti datang.

2024-04-17

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!