Sesampainya di rumah sakit, Lily bergegas turun dari mobil. Ia berlari tak tentu arah, yang ia tahu dia harus masuk dan menemui putranya. Hakim yang melihat itu hanya bisa menghela nafas, Hakim mengikuti langkah Lily sembari mengandeng tangan Rafa.
Nafas Lily tersengal, wanita itu terus berlari keluar masuk ruang rawat untuk menemukan Adam.
"Adam ... Adam dimana kamu Nak!" teriak Lily saat memasuki salah satu kamar pasien.
Seorang suster yang sedang bertugas segera mendekat Lily.
"Nyonya saya mohon untuk tidak membuat di rumah sakit," tegur seorang suster.
"Sa-saya mencari anak saya Suster," jawab Lily. Wajahnya terlihat begitu cemas.
"Mari saya antar ke tempat informasi, di sana Anda bisa tahu anak Anda dirawat di ruangan apa," ajak suster itu.
Lily mengangguk patuh, semua ini membuat ia lupa segalanya. Hanya Adan satu-satunya yang ia miliki. Ia tidak bisa membayangkan jika sesuatu yang buruk terjadi sesuatu pada putranya.
"Maafkan saya suster, saya terlalu panik," ucap Lily setelah merasa lebih tenang.
"Tidak apa-apa Bu, saya bisa mengerti. Mari."
Baru saja suster itu hendak mengantarkan Lily ke tempat informasi, seorang laki-laki berpakaian rapi datang mendekati mereka.
"Nyonya apa yang Anda lakukan di sini, Adam sedang di operasi. Sebaiknya kita ke sana sekarang," ujar Hakim.
"Operasi!" pekik Lily, seketika semua terasa gelap. Tubuhnya limbung, dengan sigap Hakim menahannya agar tidak jatuh ke lantai.
"Suster bagaimana ini?"
"Tolong baringkan dia di brankar itu, saya akan memanggil dokter untuk memeriksa kondisinya," ucap suster itu kemudian berlalu.
Hakim bergegas mengangkat tubuh Lily, kemudian membaringkannya di brankar yang kosong.
Sementara itu.
Aric masih menunggu di luar ruang operasi, hatinya tidak tenang memikirkan Adam yang ada didalam sana. Baru sekali ini Aric bertemu dengan anak itu, tetapi dia mampu menyedot perhatian Aric.
"Tuan, Adam baik-baik saja kan? Dua tidak akan kenapa-napa kan?" Rafa menunduk sambil meremas celana yang dipakainya. Rasa bersalah masih menyelimuti hati remaja itu.
"Tenanglah, semua akan baik-baik saja," ujar Aric, bukan saja untuk Rafa ucapan itu juga untuk dirinya sendiri.
.
.
.
.
.
.
Lily mengeliat kecil, ia berusaha untuk membuka matanya yang terasa berat. Satu tangannya memegangi kepala yang terasa pening.
"Dimana aku?" tanyanya lirih.
"Anda ada di rumah sakit," jawab seorang laki-laki.
"Rumah sakit? Adam!" Lily terhenyak, ia teringat tujuannya datang ke rumah sakit.
Lily berusaha untuk bangkit. Namun, kepalanya masih terasa berdenyut keras.
"Tenanglah Nyonya, anak Anda sudah selesai di operasi. Dia sedang beristirahat di ranjang yang ada di sana." Hakim mendekati Lily membantunya untuk berbaring kembali.
Lily dan Adam di tempatkan di ruangan VIP, tanpa sepengetahuan mereka. Aric yang meminta Hakim untuk melakukan itu semua, sebagai bentuk tanggung jawabnya. Ia juga akan menanggung semua biaya perawatan Adam sampai anak itu bisa kembali berjalan dengan normal.
"Apa yang terjadi padaku?" tanya Lily.
"Anda kelelahan dan butuh istirahat. Sebenarnya ada sesuatu yang harus saya jelaskan pada Anda."
Lily hanya diam, ia menoleh kearah kanan. Di mana ranjang Adam di tempatkan.
"Katakanlah," ujar Lily tanpa melepaskan tatapannya dari Adam.
"Sebenarnya, mobil yang menabrak Adam adalah mobil Tuan saya. Seperti yang saya katakan sebelumnya, sopir kami tidak sengaja menabrak anak Anda di area pembangunan pabrik yang sedang di kerjakan. Tuan menyerahkan urusan di sini pada saya, karena beliau harus segera kembali ke kantor."
Mata Lily melebar mendengar ucapan Hakim, tangannya mengepal kuat. Ia menatap Hakim dengan penuh kemarahan, sejenak kemudian memejamkan matanya lalu mengambil nafas dalam.
Ia sadar ini bukanlah sepenuhnya kesalahan mereka, Adam dan Rafa juga salah. Tempat seperti itu memang bukan aman untuk anak-anak, mau marah juga percuma semua sudah terlanjur terjadi. Tetapi tidakkah orang itu ingin mengucapkan sepatah kata maaf pada Adam dan dirinya, sungguh orang yang sombong.
"Kami akan menanggung semua biaya perawatan di rumah sakit ini, sampai Adam sembuh dan bisa berjalan lagi. Kami juga akan memberikan bantuan selama Anda cuti berkerja," lanjut Hakim.
Lily tersenyum getir, bagi orang kaya apa saja bisa di selesaikan dengan uang tanpa ada kata maaf yang tulus yang terucap.
"Sampaikan rasa terima kasih saya kepada orang yang Anda sebut Tuan itu, tapi saya rasa. Cukup biaya rumah sakit saja yang sebagai rasa tanggung jawab kalian, selebihnya maaf jika saya menolak," tutur Lily dengan tenang, ia tidak ingin di anggap sebagai orang yang memanfaatkan keadaan. Lagi pula simpanan masih cukup untuk biaya hidup dua minggu kedepan.
"Tapi-
"Maaf Tuan, bisakah Anda meninggalkan ruangan ini. Saya dan anak saya butuh istirahat, dan tolong sampaikan pada Tuan Anda, terkadang uang tidak bisa mengantikan kata maaf!" tegas Lily.
"Baiklah, kalau begitu saya permisi."
Hakim segera keluar dari ruangan itu, ia memilih untuk tidak berdebat dengan orang yang sedang sakit.
Perlahan Lily bangkit dari tempat tidurnya, kenapa sudah tidak begitu pening. Dengan memegangi tiang infus, Lily berjalan mendekati ranjang dimana Adam berbaring. Lily duduk di tepi ranjang Adam, tangan lentiknya mengusap lembut wajah mungil Adam yang masih terlelap karena efek obat bius.
Beberapa luka gores menghiasi wajah dan tangan mungil Adam, air mata Lily jatuh perlahan melihat itu semua. Lily tidak bisa membayangkan betapa sakitnya Adam saat itu.
"Maafkan bunda Sayang," gumam Lily.
Andai saja ia bisa menemani hari-hari Adam seperti orang tua pada umumnya, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Namun, nasi sudah menjadi bubur.
Kehidupan Lily tidak seperti orang lain, ia harus banting tulang untuk berkerja agar Adam bisa hidup dengan layak. Lily tidak ingin anaknya merasa kekurangan meskipun ia seorang orang tua tunggal.
"Bunda," panggil Adam dengan matanya yang masih terpejam.
"Iya Sayang, bunda di sini." Lily segera mengusap air matanya, pantang bagi Lily Adam melihatnya menangis.
Adam mulai membuka mata kecilnya, ia menatap sayu pada wajah bundanya.
"Ada apa Sayang? Apa kau merasa sakit atau ingin sesuatu?"
"Haus."
Lily tersenyum, ia pun bangkit dari duduknya untuk mengambil air mineral di meja yang ada di sana.
"Ternyata laki-laki itu menyiapkan semuanya," gumam Lily lirih.
Selain air mineral, di atas meja juga terdapat buah-buahan dan beberapa camilan sehat.
Lily membantu Adam untuk sedikit meninggikan kepalanya, agar ia lebih mudah untuk minum.
Tak berapa lama dokter pun datang untuk memeriksa keadaan Adam pasca operasi.
"Kaki Adam kenapa dokter?" tanya Adam pada sang dokter yang memeriksanya.
"Tulang kaki Adam ada yang retak," jawab dokter itu.
"Tapi, Adam masih bisa jalan kan, Dok?"
"Bisa dong, Dengan istirahat yang cukup, minum obat dan terapi. Adam pasti bisa jalan lagi."
Wajah tampan nan imut itu kembali berbinar setelah tadinya terlihat muram, Lily mengusap lembut rambut anaknya.
"Adam harus semangat ya!"
"Iya Bunda, Adam pasti semangat!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
antha mom
lekas sembuh Adam,, tetap semangat ya nak
2025-03-01
0
Truely Jm Manoppo
Adam cepat sembuh ya
2024-08-20
1
cetom😘😘
tapi tadi Rafa sama hakim kok bisa sama aric lagi
2024-08-19
1