Ayah dari anakmu.
Kata-kata itu begitu asing di telinga Lily. Tanpa berpikir panjang, Lily mengayunkan sapu yang di pegangnya.
"Dasar penipu! pergi ... pergi kamu!" teriak Lily.
"Hey ... wanita gila apa yang kamu lakukan!"
Tanpa persiapan Aric tak bisa menghindari gagang sapu yang mendarat di tubuhnya, ia hanya bisa melindungi wajah dengan mengunakan kedua tangan.
"Gila? kamu yang gila, penipu modus baru. Pakean rapi tapi nggak punya otak! Pergi! sebelum aku berteriak lebih kencang, biar warga ikut gebukin kamu!" tegas Lily, ia menatap laki-laki di hadapannya dengan bengis.
Lily berhenti memukuli Aric, ternyata capek juga mukulin orang pake sapu. Nafas Lily terenggah, dadanya naik turun menahan emosi, ia sungguh tidak menyangka orang ganteng seperti itu nyatanya penipu. Baru bertemu, tapi sudah berani mengaku ayah biologis dari putranya, memang benar-benar orang gila.
Aric menurunkan lengannya, ia melepaskan kacamata hitam yang menutupi mata hazel miliknya.
"Teriaklah, bukankah kau ingin semua orang datang dan melihatku!" ujar Aric, menatap tajam pada Lily.
"Dasar tidak tahu malu, Ayah Adam sudah mati ... dia sudah mati!"
"Apa kau sebodoh itu hingga tidak tahu perbedaan orang hidup dan mati," geram Aric.
Ia sungguh tidak habis pikir. Dia sangat sehat dan sempurna, bisa-bisanya wanita itu bilang dia mati. Apa matanya bermasalah?
"Pergi kau, atau aku akan memukul kepalamu biar waras!" Lily bersiap mengangkat sapu lagi.
Melihat Lily yang sudah berancang-ancang akan memukul sang Tuan, Hakim segera berlari kearah mereka.
"Nyonya, tolong hentikan!"
Aric dan Lily melihat kearah Hakim secara bersamaan. Hakim meletakkan banyak paper bag yang ia bawa di lantai, kemudian berdiri melindungi Aric.
"Nyonya, beliau adalah atasan saya Tuan Aric!"
"Aku tidak perduli dia atasanmu atau dewamu, suruh dia pergi dari sini. Dasar penipu!" Mata Lily menatap nyalang, tetapi juga menyiratkan kesedihan yang mendalam.
Hakim menelan ludahnya, Lily memang orang yang keras kepala sejak awal mereka bertemu. Namun, Hakim tidak pernah melihat dia semarah itu.
Luka di hati Lily kembali berdarah. Kilas balik peristiwa masa lalu, yang begitu pahit berputar dengan cepat di otaknya.
"Nyonya, sebaiknya kita masuk dulu. Ini sudah malam, dan ..." Hakim melirik kearah belakang Lily.
Lily pun turut menoleh kebelakang, ia hampir lupa. Adam masih di sana, tepat di belakangnya, dia tidak seharusnya memperlihatkan sikap arogan seperti ini. Perlahan Lily menurunkan sapu yang, dengan terpaksa ia mempersilakan kedua tamu itu untuk masuk.
Lily meletakkan kembali sapu di sudut belakang pintu.
"Silahkan, duduk," ucap Lily dengan ketus, setelah mereka berada di ruang tamu. Setelah itu Lily bergegas ke dapur.
Aric hanya berdiri, ia mengedarkan pandangannya. Memperhatikan keadaan rumah itu, bersih dan nyaman. Walaupun tak ada satu perabot yang berharga di sana. Rumah itu begitu sederhana, hanya ruang tamu dan ruangan lain yang disekat dengan kelambu. rumah ini tidak lebih besar dari garasi rumah Aric. Pria itu mendesah, ternyata selama ini anak dan wanita yang melahirkannya hidup sedemikian sederhana.
Terselip rasa sedikit bersalah dalam hatinya, tetapi Aric segera menepisnya. Perempuan itu bisa saja mencarinya dan meminta pertanggungjawaban atas malam itu, tapi dia memilih pergi. Itu kesalahannya, dia sengaja ingin menjauhkan Aric dari darah dagingnya sendiri.
Lily kembali dari dapur dengan membawa dua kopi panas untuk kedua tamunya.
"Kenapa tidak duduk? Apa rumah saya terlalu kotor untuk Tuan duduki? Kalau Anda merasa tidak nyaman, Anda tahu dimana pintu keluar berada," ucap Lily sembari meletakkan kopi di atas meja.
Astaga, Nyonya. Kenapa Anda mengatakan hal seperti itu? gumam Hakim dalam hatinya.
Tak ada seorangpun yang berani membantah atau berkata ketus, pada seorang Artama Aric Mahadev. Baru kali ini Hakim bertemu seorang wanita dengan jiwa baja, yang seberani ini.
"Apa Nyonya punya nyawa cadangan?" celetuk Hakim.
Aric mendelik tajam pada asistennya itu, membuat Hakim dengan susah payah menelan ludahnya.
"Maksud Pak Hakim?" tanya Lily heran, nada bicaranya sungguh sangat berbeda dengan saat ia bicara pada Aric.
Aric berdecak tak suka, apa bedanya dia dengan Hakim, kenapa Lily bertutur lembut pada asistennya itu. Aric pun akhirnya duduk di samping sang asisten yang sudah panas dingin karena aura dingin yang menusuk dari sampingnya.
"Langsung saja, apa maksud Anda datang ke rumah saya Tuan?" tanya Lily masih dengan nada tak suka.
"Sudah ku bilang, aku adalah ayah biologis Adam," Ucap Aric seraya menatap putranya yang duduk di kursi roda.
Mata Adam melebar, jantungnya berdetak kencang. Ayah, inikah sosok yabg selama ini ia rindukan. Laki-laki ini berkata dia adalah Ayah biologisnya, senyum mengembang sempurna di bibir mungilnya. Kantuk yang tadi mendera seketika hilang saat mendengar ucapan laki-laki itu.
"Apa yang membuatmu Anda kekeh untuk berkata seperti itu? saya sudah katakan, Ayah Adam sudah mati. Dia sudah tidak ada lagi di dunia ini!" Geram Lily. Tangan Lily mengepal kuat, menahan amarahnya.
"Golongan darah kami sama, A-," jawab Aric santai, ia mengambil kopi yang di sediakan Lily, kemudian meminumnya.
Tidak buruk.
Hakim memperhatikan tiap gerakan atasannya, ia hampir tidak percaya seumpama Hakim tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri. Aric yang biasanya begitu pemilih dalam hal makanan dan penyajiannya, meminum kopi sachet yang di seduh begitu saja. Apa Tuannya itu salah makan sesuatu?
"Hanya itu, ada 25 bayi yang terlahir dalam tiap lima detik di dunia ini, dan 25% kemungkinan orang memiliki darah yang sama. Anda jangan begitu saja sembarangan mengambil kesimpulan Tuan yang terhormat!"
"Oh benarkah, ternyata Nyonya Lily cukup pintar. Atau biarkan aku memanggilmu Nyonya Mahadev."
Lily memelototkan matanya, nama apalagi itu. Seenak jidatnya saja orang ini menganti namanya.
"Maaf sebaiknya Ada pergi, ini sudah sangat larut. Saya dan Adan harus istirahat!" tegas Lily.
"Hakim!"
"Baik Tuan," jawab Hakim, ia sudah mengerti dengan apa yang di inginkan Tuannya.
Pria itu segera bangkit dari duduknya, ia berjalan mendekat kearah Adam yang sedari tadi dia memperhatikan.
"Adam, bisa paman membawakan banyak mainan untukmu. Kita buka di kamar, biarkan Ayah dan Bundamu bicara sebentar," bujuk Hakim.
"Wah ... mainan, ayo Paman," jawab Adam dengan senyum manisnya. Hakim pun segera mengambil paper bag yang di bawanya. Dengan sigap ia mendorong kursi roda Adam masuk.
"Pembicaraan kita masih belum selesai Nyonya Lily," cegah Aric saat Lily hendak bangkit dari duduknya.
Lily melemparkan tatapan tajam pada pria tak tahu diri, yang duduk di hadapannya itu.
Sebenarnya ia sungguh malas meladeni pria ini, tapi sebagai seorang tuan rumah Lily tidak ingin bersikap tidak sopan pada tamu. Ia pun akhirnya terpaksa duduk lagi.
"Saya rasa ini sudah selesai Tuan. Jika memang Anda menginginkan seorang anak, Anda bisa mengambil satu dari panti asuhan, atau menikah seorang wanita untuk melahirkan anak Anda!" tegas Lily.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Anonymous
Kereen lili👍👍
2025-02-14
0
Truely Jm Manoppo
Lily ... 👍👍👍👍
2024-08-20
0
Ayachi
HEH LO GA NINGGALIN INFO KONTAK BADJINGAN, CUMA NARUH DUID DOANG
2024-08-15
1