Bab 18. Madu dan Racun
Adzan Magrib berkumandang sudah sekitar lima menit lalu ketika Yudhis sampai di kediamannya. Berderap berlari begitu turun dari kendaraannya, hendak membersihkan diri secepat mungkin kemudian menunaikan solat Magrib.
Huniannya merupakan, sebuah bangunan satu lantai bercat abu-abu dipadu putih bergaya minimalis yang tidak terlampau besar. Mencakup sekitar empat ratus meter total luas lahannya jika diukur dengan garasi dan taman berukuran mini di bagian samping.
Bukan rumah mewah, lebih pada kategori hunian kelas menengah, tetapi estetik, serasi, bersih dan rapi. Fasilitas di dalamnya pun terbilang lengkap untuk seorang bujangan, walaupun tidak selengkap seperti kediaman orang tuanya di Bali, yang berdiri di atas lahan seribu meter dengan luas bangunan kira-kira dua kali lipat dari rumah ini serta berlantai dua.
Selesai menunaikan kewajiban lima waktunya, Yudhis menuju meja makan dan bersegera mengisi perut laparnya dengan makanan yang dibelinya dari drive thru fast food tadi, lantaran selepas isya nanti dia berniat pergi ke rumah Ghaisan.
Ditengah-tengah kunyahan makanannya, Yudhis terpaku sejenak pada pembungkus makanan yang sedang disantapnya, teringat pada si bocah lucu yang menyebut kemasan itu sebagai mainan.
“Memangnya pembungkus ini amat lucu dan menarik bagi anak-anak?” gumamnya, meraba permukaannya bersama kedua birai bibirnya yang terangkat ke atas mengukir bulan sabit.
Sejumput rasa tak biasa merasuk dalam dada, menaruh burger yang baru disantap setengahnya. Semula merasa lucu, tetapi mendadak saja kerongkongannya kelat tercekat, dadanya pun ikut sebah.
“Apa ibunya enggak memiliki cukup uang untuk membeli mainan yang layak buat anaknya? Sampai-sampai bocah itu begitu posesif hanya pada seonggok kardus makanan yang lumrahnya dibuang ke tempat sampah,” ujarnya sendiri, terdengar sedih, merasa prihatin.
“Ke mana suaminya? Sudah dua kali gak sengaja ketemu, wanita muda itu berkeliaran hanya berdua saja dengan anaknya. Apa dia seorang ibu tunggal? Mungkinkah dia hamil di luar nikah sehingga di usia mudanya sudah memiliki anak balita?” tanyanya pada udara kosong yang memenuhi ruangan, benda tak kasat mata yang hanya membisu tak mampu memberi jawaban.
Berbagai prasangka mendadak bercokol di kepalanya. Namun, lamunannya buyar begitu ponsel di kamarnya berdering nyaring, siapa lagi yang menghubungi kalau bukan Ghaisan.
*****
“Hari ini Mas Dion pulang, aku masak apa ya buat makan malam nanti? Sekalian menyambutnya pulang.”
Keceriaan tergambar jelas di wajah Khalisa, sedari bangun tidur hingga tengah hari tak henti-hentinya mengukir senyum. Seluruh rumah mulai dari teras hingga dapur sudah dibersihkan sampai mengkilap. Baju-baju sudah rapi disetrika. Seprai di kamarnya diganti dengan yang bersih, tak lupa daster ruffle baru pemberian Windy sudah dicuci tadi pagi dan disetrika begitu kering, untuk dipakai sore nanti.
Membuka kulkas, Khalisa memeriksa beberapa bahan makanan tersisa. “Kayaknya bikin nasi kuning kesukaan Mas Dion bisa nih, manfaatin bahan-bahan yang ada buat lauknya, cuma enggak pakai ayam goreng saja.”
Penuh semangat, Khalisa mengeluarkan semua bahan dari lemari pendingin. Beras dicuci kemudian dibumbui. Enam butir telur direbusnya untuk dibuat telur balado, sepapan tempe yang dibelinya tadi pagi diiris kecil-kecil dan digoreng kering hendak dimasak menjadi tempe kering manis. Sisa-sisa sayur mayur mentah dibuat urap sederhana, lima buah mentimun dicuci bersih bersama bahan sambal sebagai pelengkap. Tidak ketinggalan Khalisa juga menggoreng kerupuk untuk teman makan nasi kuning nanti.
Ia lupa akan rasa lelah setelah berbenah menghabiskan separuh hari terang, memasak penuh sukacita sambil bersenandung gembira. Tak jauh darinya, Afkar asyik memainkan bekas pembungkus makanan kemarin, duduk beralaskan tikar bersih di dapur. Si mobil-mobilan super mini hadiah ciki yang biasa dimainkan Afkar pun tersingkir pamornya oleh si kertas karton berwarna merah kuning itu, kentara sangat gembira sembari beberapa kali berceloteh riang pada bundanya, mengatakan dia amat senang.
“Unda, Af nanti boyeh beyi ini yagi endak? Ini Bagus,” ujarnya riang, mengangkat tinggi-tinggi benda yang disukainya.
Menoleh sekilas, Khalisa terkekeh sama riangnya dengan sang anak. “Boleh dong, nanti kalau Bunda punya uang lagi, kita pergi ke sana lagi.”
Usai dengan acara memasak, Khalisa membasuh teliti setiap inci tubuhnya, dari ujung kepala hingga kaki. Menyisir rambutnya rapi, ia kemudian mengganti bajunya dengan daster baru. Sang anak pun sudah dimandikan. Tak kalah rapi, tak kalah wangi. Dalam rangka menyambut suami juga ayah dari anaknya pulang setelah tiga hari bepergian jauh.
“Af, duduk dulu di sini ya. Bunda mau ke dapur sebentar, mau siapkan teh tubruk kesukaan ayah biar seger. Kasihan ayah nyetir jauh, pasti capek pas pulang ke rumah.”
Afkar mengangguk-angguk patuh. “Iya, Unda. Tapi mau yihat Mail,” celotehnya, menunjuk letak televisi.
“Siap, anak ganteng.”
Menaruh remot setelah memindahkan saluran pada siaran kartun kesukaan anaknya, Khalisa beranjak ke dapur mengambil teko poci kecil. Satu sendok daun teh kering dimasukkan ke dalamnya sebelum dituang air mendidih. Menghasilkan sepoci teh panas yang menguarkan aroma harumnya ke seluruh penjuru ruangan.
Bunyi pintu garasi yang didorong juga suara gaduh Dania menarik Khalisa menyudahi urusan Khalisa di dapur, berlari kecil ke bagian depan rumah dan tergopoh-gopoh membukakan pintu.
“Selamat datang, Mas,” ucapnya manis dan ceria. Senyumnya mengembang bak sekuntum bunga baru mekar menghiasi paras ayunya.
Dania masuk lebih dulu tanpa membalas salam maupun menyapa Khalisa, disusul ibu mertuanya beserta seorang wanita hamil yang berdiri di samping Dion berhenti di ambang pintu.
“Eh, ini siapa? Pasti saudara ibu dari Cilacap, ya?” sapa Khalisa ramah pada si wanita hamil yang baru kali ini dilihatnya.
“Khal, aku mau ngomong sesuatu sama kamu, penting,” kata Dion tiba-tiba, nada bicara juga mimik mukanya datar. Sangat kontras dengan ekspresi Khalisa.
“Mas kan baru datang. Kita bisa ngobrol nanti malam. Masuk dulu saja, pasti capek sehabis nyetir jauh. Aku sudah siapin teh tubruk sama nasi kuning kesukaan Mas.” Khalisa belum tanggap situasi, masih tersenyum manis.
“Enggak bisa ditunda sampai malam, Khal. Kita harus bicara sekarang,” tukas Dion cepat, yang kini meraih dan menggenggam tangan Amanda di depan Khalisa yang perlahan mengerjap bingung.
“Memangnya, mau ngo-ngomong apa, Mas?” Khalisa mulai menangkap atmosfer keanehan di sini. Terlebih saat menyaksikan Dion merangkumkan jemari dengan si wanita hamil yang dari tadi tersenyum lebar di depannya.
“Biar Manda masuk dulu, kasihan lagi hamil kalau lama-lama berdiri. Kita bicara di dalam, Khal,” jawab Dion kemudian.
Benaknya bertanya-tanya. Melihat bahasa tubuh suaminya yang berbeda, senyum di wajah Khalisa surut dalam hitungan detik, mulai mengendus hal tidak beres. Menelan ludah ia bermaksud membuka suara lagi, akan tetapi Wulan yang tampak geram akan basa-basi Dion menyambar lebih cepat.
“Ini Amanda, istrinya Dion juga, sedang hamil enam bulan dan akan tinggal di sini mulai hari ini. Kamu harus baik-baik sama dia, Manda ini anak bosnya Dion. Sosok yang paling cocok mendampingi anakku, bukan kayak kamu yang melulu membawa malu!”
Bersambung.
Note:
Bagi yang ingin tahu orang tua dan asal-usul Yudhistira, wajib baca novelku yang berjudul 'Istri Arjuna', supaya lebih paham dengan alur kelanjutan kisah 'Suci Dalam Noda' ini nantinya.
Selagi menunggu update, baca juga ceritaku yang lainnya di Noveltoon. Selamat membaca 💜.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
Syarifah Ainun
nyesek atiku Mak... Mak lampir kejam sangat tak ingatkah dia juga punya ank perempuan
2024-11-13
0
Danny Muliawati
ya Allah Bu Wulan bahasamu mentang2 bahasa ga beli
2025-01-02
0
Cipika Cipiki
Wulan bener² Lambe Racun
2024-01-25
0