Bab 5. Cemoohan
“Sudah lama tidak kelihatan beli bubur, Khal? Kamu sehat?” Si bapak penjual bubur bertanya ramah pada Khalisa yang terus saja menunduk, memang sengaja demikian dalam upayanya menghindari bertemu pandang dengan orang-orang.
Celingukan, Khalisa mengangkat kepala sedikit. “Saya baik, Pak. Kebetulan akhir-akhir ini, Afkar lebih suka makan makanan rumah,” sahut Khalisa beralasan.
Suaranya pelan nyaris tak terdengar, sembari mengangguk sopan dan mengulas senyum pada si pria lima puluh tahunan yang sedang meracik bubur untuk Afkar. Satu-satunya orang di dekat tempat tinggalnya yang sering menyapanya tanpa cibiran menghinakan.
“Syukurlah kalau kamu baik,” ucap si bapak, nadanya khas seorang ayah yang sedang berbincang dengan anaknya. “Ini buburnya. Selamat makan.” Si bapak tersebut menyerahkan kantung plastik berisi wadah bubur untuk Afkar.
Khalisa mengerutkan kening saat hendak menyerahkan selembar uang lima ribu rupiah setelah memeriksa isinya. “Maaf, Pak. Kayaknya pesanannya salah. Saya pesannya setengah porsi pakai kuah bubur sama sedikit ayam suwir saja. Tapi ini kayaknya satu porsi, ayamnya banyak dan pakai pepes ati ampela juga.”
Khalisa menatap isi mangkuk bergantian dengan wajah si bapak. Ia mulai resah, telapak tangannya berkeringat dingin. Uang jatah untuk membeli bubur hanya dibagi lima ribu rupiah saja oleh ibu mertuanya, sedangkan jika porsi lengkap begini harganya di atas sepuluh ribu.
Entah omelan macam apa yang akan dilontarkan Wulan jika ia meminta uang tambahan untuk membayar. Sedangkan Dion terlalu tunduk pada ibunya, selalu mengiyakan apa pun perkataan Wulan dengan dalih demi kebaikan bersama, tanpa pernah meraba perasaan Khalisa sebagai seorang istri. Kendati perihal keuangan tersebut memang sudah Khalisa setujui sebelum pernikahannya dengan Dion berlangsung. Bahwasanya kuasa uang rumah tangganya tetap mertuanya yang mengatur selepas menikah nanti.
Khalisa muda yang naif tak berpikir panjang, dengan cepat setuju saja dengan syarat apa pun yang diajukan Dion dan keluarganya kala itu. Tak pernah menyangka ternyata pada praktiknya tak semudah yang dikira, dimulai dari keinginannya pindah rumah pun tak pernah dianggap dan didengar.
Kemauan terbesar Khalisa saat itu hanya ingin segera menikah dan bisa selalu bersama dengan pria yang pernah menyelamatkannya, membuatnya merasa aman terlindungi. Dion pernah menjadi penyelamat hidupnya dari cengkeraman mucikari yang beberapa tahun silam menjemputnya di panti asuhan, tepatnya ketika usianya menginjak angka sembilan belas. Walaupun setelah menikah dengan Dion harus Khalisa akui, rasa tentram yang digadang-gadangnya ternyata seumpama fatamorgana.
“Tidak apa-apa. Itung-itung bonus, kebetulan dagangan Bapak hari ini sudah mau habis. Lagi laris manis. Diterima ya, Khal. Pepes ati ampelanya buat kamu, seingat bapak, kamu paling suka pepes ati ampela ini sewaktu ngidam si anak ganteng ini,” ujar si bapak tulus, benar-benar tulus.
“Wah, pagi-pagi sudah dapat rezeki. Terima kasih, Pak,” ucap Khalisa penuh syukur, selalu menghargai pemberian orang lain dengan sukacita terutama dari orang tua. “Semoga dagangan Bapak laris terus. Saya permisi.”
Lima langkah kakinya menjauh, terdengar ribut-ribut dari kedai si bapak tukang bubur. Pekikan si istri tukang bubur kencang mengudara, seolah sengaja supaya sampai ke telinga Khalisa.
“Ngapain sih, Bapak ngobrol sama orang yang gak jelas asal usulnya itu? Pakai ngasih-ngasih bonus segala!”
“Sudahlah, Bu. Lagian apa salah anak itu sama kita? Gak ada kan? Beramah-tamah jangan pandang bulu, jangan pilih-pilih. Semuanya sama, sama-sama manusia.”
“Ya tapi tetap saja. Nanti Ibu dimusuhi tetangga-tetangga di sini kalau kita kedapatan terlalu akrab dengannya. Terus nanti kalau kedai kita ketularan sial dari kotornya dia bagaimana? Tahu sendiri panti asuhan dia berasal itu dekat dengan lokasi lokalisasi paling santer di kota ini. Semua orang juga hafal betul, bayi yang dibuang di sekitar daerah lokalisasi semuanya ditampung di panti asuhan Seruni, panti asuhan tempat di mana Khalisa berasal. Sudah bisa ditebak dari hasil apa anak-anak itu dan dilahirkan oleh siapa, sudah jelas mereka semua anak haram para pelacur! Atau jangan-jangan dia merayu Bapak? Dasar turunan perempuan gatal!”
“Makin ngawur saja Ibu ini. Sudah-sudah, Ibu layani kalau ada yang beli bubur, bapak mau cuci mangkuk.”
Khalisa melangkah lebar tak ingin mendebat, bergegas pulang meninggalkan keributan di belakang punggungnya. Tak dipungkiri, cemoohan familiar yang menyapa telinga bak godam tak kasat mata menghantam dada, menyesakkan. Walaupun sudah terbiasa, tetap saja bunyi koyak merobek hatinya setiap kali orang-orang mempergunjingkannya.
Tangan mungil lembut nan hangat mengusap air matanya yang entah sejak kapan membasahi pipi, luruh tanpa disadarinya.
“Unda, kenapa pipinya ada ailnya,” celoteh Afkar yang masih cadel, bertanya sembari menengadah. Mengamati paras ayu ibunya yang menyendu.
Cepat-cepat Khalisa menyusut air matanya, melebarkan senyumnya guna menutupi getir yang merundung jiwa. “Ini kayaknya ada air embun jatuh di pipi Bunda, makasih ya, sudah dikeringkan.”
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
Snow Kim Barbie
KASIHANNYA KHALISA ANAK PANTI ASUHAN YG KEMUNGKINAN ANAK PSK JUGA, DI JADIKAN PRT PADAHAL MENANTU. & DI BULLY TETANGGANYA JUGA 😓😡😓
2024-11-10
0
Syarifah Ainun
hrs sgtnya ya .. kek mrk manusia paling suci aja
2024-11-13
0
Danny Muliawati
sedih amat yah JD khalisa
2025-01-02
0