Khalisa 17. Jangan Buang!
Tombol start dinyalakan. Yudhis menarik sabuk pengaman hendak memakainya. Gerakan tangannya berhenti saat melirik Khalisa yang malah celingukan di luar pintu mobilnya sembari sesekali mengusap tengkuk.
Yudhis amat tahu dirinya pun sedang diburu waktu. Namun, entah mengapa sekarang dia malah menambah kerepotan di waktu mepetnya akibat tergerus kepedulian yang timbul tak diundang.
Menurunkan kaca jendela, Yudhis berseru lantang. “Masuklah! Kenapa diam di situ?
“Eh, i-itu anu, sa-saya duduk di mana, Pak?” tanya Khalisa canggung bin kikuk.
“Duduk di depan. Saya bukan sopirmu!” ketusnya mulai pusing akibat kepeduliannya sendiri.
Dengan perlahan dan hati-hati, Khalisa membuka pintu mobil mengkilap warna hitam itu dan mendudukkan diri di jok sebelah kursi kemudi, duduk merapat ke jendela setelah pintu mobil terkunci.
“Pakai sabuknya,” perintah Yudhis sebelum menginjak pedal gas.
Khalisa mengangguk pelan sebagai jawaban. Kendati kikuk, ia mencoba mengendalikan tangannya yang gemetaran. Khalisa dilanda canggung bukan main, ternyata lebih nyaman duduk di bagian belakang mobil bak terbuka dibanding sekarang.
Yudhis merasa tangannya gatal juga gemas menyaksikan kerempongan ibu muda yang hendak diantarkannya ini. Menggendong balita menggunakan kain jarik, di tangan kirinya memegang kantung kresek, dan di tangan kanannya membawa kotak bungkus makanan yang sudah tidak ada isinya. Setahu Yudhis, bungkus tersebut merupakan kemasan menu makanan yang dikhususkan untuk anak-anak di restoran siap saji yang baru saja disambanginya.
“Kenapa bekas makanannya tidak dibuang saja? Untuk apa sampah dibawa pulang? Juga, bawaan Mbak terlihat sangat merepotkan.” Yudhis mengarahkan telunjuk ke tangan kanan Khalisa.
“Endak boyeh!” teriak Afkar, si bocah yang sejak tadi diam bergelung di pelukan ibunya itu, mengambil alih benda tersebut dari tangan Khalisa, memegangnya erat-erat, seumpama barang berharga yang takut dicuri. Maklum saja, ini merupakan momen perdana Afkar pergi membeli makanan semacam ini. Oleh karena itu Khalisa membawa pulang kemasan karton yang lumrahnya dibuang orang-orang, sebab Afkar sangat menyukainya.
“Ini mainan punya Af, endak boyeh buang,” imbuhnya lagi dengan bibir mencebik disertai dada kembang kempis.
“Eh, Sayang, kenapa Af teriak? Enggak boleh begitu ya, Nak. Enggak sopan,” ucapnya tetap lembut, memberitahu anaknya dengan kelembutan kasih sayang. Khalisa merasa tak enak hati akan reaksi anaknya terhadap si pengacara, melirik Yudhis sekilas kemudian berbisik lagi pada sang putra.
Termenung, Yudhis memperhatikan interaksi lembut berisi ketegasan Khalisa dengan anaknya yang tampak amat dekat secara emosional. Ditilik dengan benar, wanita yang duduk di kursi sebelahnya ini masihlah terbilang muda menyandang titel sebagai ibu dari anak balita. Menebak-nebak dalam benak, Yudhis memperkirakan usianya di kisaran 21 tahunan, usia yang bagi Yudhistira merupakan fase sedang gencar-gencarnya mengejar pendidikan juga meraih cita-cita.
Seberkas kekaguman beriak begitu saja, mengamati bagaimana seorang ibu muda memberi pengertian akan kesalahan sang anak tanpa bentakkan. Sabar menjelaskan dan mampu mengendalikan emosi sang anak, terlihat dari bagaimana si bocah lucu berpipi gembul itu mengangguk-angguk ketika ibunya bertutur pelan.
Yudhis terkesan, saat tak disangka-sangka si bocah lucu yang tadi melayangkan sorot permusuhan padanya menyodorkan tangan kanannya.
“Om, Af minta maaf,” cicit Afkar, menatap Yudhis yakut-takut dengan mata polosnya.
Tawa kecil terbit di wajah Yudhistira, kedua matanya melengkung ikut tersenyum, menambah ketampanan dan kharismanya berkali-kali lipat. Daya lihat Khalisa masihlah normal, tak menyangkal bahwa dirinya cukup dibuat terkesima dan terpesona. Ditambah si pengacara juga memiliki lesung pipit tunggal di pipi kanannya yang mempermanis pahatan rupawannya.
Yudhis menerima uluran tangan mungil Afkar sembari tersenyum lebar, merasa lucu juga iba pada si bocah dalam waktu bersamaan.
“Sebelum maaf-maafan, kita harus kenalan dulu, jagoan. Halo, nama Om, Yudhistira Lazuardi. Nama kamu siapa?” tanyanya, intonasinya ceria, membuat kecanggungan Afkar cair seketika.
“Halo, Om. Aku Af, Afkal. Anaknya Unda,” sahutnya bersemangat dengan pelafalan cadelnya yang menggemaskan. “Maafin Af ya Om, kata Unda Af halus minta maaf udah teliak malah, itu endak copan.”
“Sama-sama, Af. Om juga minta maaf, ya. Enggak tahu kalau itu mainannya Af. Enggak usah dipegang erat-erat lagi. Om janji enggak akan membuangnya.”
Perjalanan mengemudi Yudhis kali ini terasa berbeda, celotehan Afkar yang membuat atmosfer mengemudinya yang biasanya senyap menjadi riang. Khalisa sempat beberapa kali berbisik pada anaknya untuk jangan terlalu banyak bertanya pada Yudhis tentang apa saja yang terlihat di jalanan yang dilewati, tetapi Yudhis malah antusias menanggapi diselingi canda tawa hingga Afkar terlelap kelelahan.
“Terima kasih, Pak. Sudah membantu saya dua kali. Maaf, merepotkan lagi.” Khalisa menghaturkan terima kasih begitu sampai di depan rumah.
“Semoga tidak ada yang ketiga kalinya,” canda Yudhis, mengulum senyuman, merasa senang tanpa sebab.
“Hati-hati di jalan, Pak.” Khalisa mengangguk canggung, menutupkan pintu mobil dan X-Pander hitam itu melesat cepat tancap gas dari sana.
“Unda, tadi ada obil ayah,” cicit Afkar tiba-tiba, terusik dari tidurnya saat Khalisa membaringkannya di kasur.
“Ayah? Di mana? Ayah kan lagi pergi sama nenek. Kangen ya sama Ayah?” tukas Khalisa. Menaruh kain jarik dan duduk di tepian kasur. Membelai lembut permata hatinya.
Afkar tampak berpikir kemudian menggelengkan kepala. “Mau Unda aja. Mau Unda aja,” ucap Afkar berulang-ulang. Memegang erat lengan Khalisa, seolah takut ditinggalkan.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
Ita Mariyanti
yg k 3 mlh km jd supir tetap ibu negara Yudhis
2023-12-29
0
✨️ɛ.
yg ketiga kali langsung seret ke KUA aja bang.. 😌
2022-12-24
1
Dede Dahlia
yudhis jodoh masa depan khalisa calon ayah perpec buat afkar 😘
2022-12-15
0