Bab 3. Jurang Kasta
"Khal, siang nanti aku mau antar ibu dan Dania ke rumah kerabat. Mau ada acara keluarga."
"Kerabat ibu?" Khalisa yang sedang menata baju-baju ke dalam lemari hasil menyetrika dini hari tadi, menghentikan kegiatannya dan melontarkan kata tanya pada Dion yang sedang merapikan rambut di depan cermin selepas mandi pagi. "Memangnya ada acara apa lagi? Kenapa akhir-akhir ini sering banget kerabat ibu mengadakan acara penting?"
"Entahlah. Aku juga tak tahu pastinya ada acara apa. Ibu baru kasih tahu aku tadi malam. Tapi sebaiknya kamu tunggu di rumah saja sama Afkar seperti biasa. Kasihan Afkar kalau harus dibawa-bawa. Tahu sendiri anak itu selalu saja dilanda mabuk perjalanan. Tapi karena jauh, aku berencana ikut menginap. Sekitar tiga hari. Nanggung kalau aku bolak-balik."
"Kenapa mendadak sekali?" Nada kecewa terdengar amat kentara terlontar dari bibir mungil Khalisa. "Memangnya acaranya di mana sampai harus menginap segala?"
"Di Cilacap. Di rumah adik sepupu Ibu. Dulu kita pernah ke sana waktu kamu ngidam Afkar. Masih ingat kan? Perjalanan ke sana memakan waktu tiga sampai empat jam. Kalau aku bolak-balik buat anter dan jemput ibu, pasti capek banget. Makanya aku mau ikut menginap," jelas Dion masih tetap di depan cermin sembari menata rambut menggunakan gel.
Membuang napas kasar, Khalisa menutup lemari pakaian dan menghampiri suaminya yang sejak tadi betah bercermin sembari bercakap-cakap dengannya.
"Padahal libur tanggal merah disambung akhir pekan ini tadinya aku ingin mengajak Afkar ke kebun binatang bareng kamu, Mas. Sudah lama kita enggak pergi bareng mengasuh Afkar untuk sekadar jalan-jalan," keluh Khalisa lirih. Ia sudah lama menanti momen ini, tetapi sepertinya angan-angannya harus kandas lagi.
"Ya mau bagaimana lagi, Khal. Acara penting kerabat ibu enggak tiap waktu. Sedangkan kalau jalan-jalan masih bisa di lain hari. Tahu sendiri, ibu tak mau bepergian jauh dengan orang lain, harus aku yang mengantar. Kamu pasti sudah hafal betul tentang hal ini," tuturnya ringan, berpura-pura tak melihat raut wajah Khalisa yang penuh harap agar dirinya tetap tinggal.
Obrolan mereka terhenti begitu ketukan ribut menginterupsi di balik pintu. Khalisa berderap cepat menyambar gagang pintu saat telinganya mendengar suara ibu mertuanya memanggil.
"Iya, Bu. Ada apa?"
"Khal, coba kamu lihat jam dinding, ini sudah jam berapa?" ketus Wulan dengan ekspresi tak sedap dipandang. "Kenapa kamu belum siapkan sarapan?"
"Oh, itu. Karena ini tanggal merah dan hari libur, Bu," jawab Khalisa pelan. Tetap menjaga sopan santun terhadap orang tua meski Wulan sangat jarang berbicara dengan intonasi manis padanya.
"Jadi maksud kamu, kalau hari libur kita juga libur sarapan begitu?" debat wanita paruh baya itu sengit.
"Bukan begitu, Bu. Tapi bukannya Dania yang bertugas membuat sarapan di setiap hari libur? Seperti yang sudah pernah kita bicarakan sebelumnya, yang ibu dan Mas Dion setujui juga dalam rangka melatih Dania supaya lebih mandiri, " jelas Khalisa apa adanya. Kendati tak jarang di tengah-tengah Dania membuat sarapan, tetap Khalisa yang harus menyelesaikannya.
"Ya tapi tetap harus tahu situasi. Masa kamu tidak tahu Dania sebentar lagi ujian akhir semester. Ipar macam apa kamu ini? Kamu bilang Dania itu adik kamu juga setelah kamu menikah dengan Dion!" cerocosnya dengan nada meninggi.
"Kenapa lagi, Bu?" Dion ikut menimpali, beranjak menuju ambang pintu.
"Istrimu ini selalu saja kurang peka. Dania itu lagi sibuk belajar, seharusnya lebih pengertian pada adik ipar sendiri yang sedang serius mempersiapkan ujian walaupun istrimu ini tidak pernah kuliah!" kesal Wulan tak terima dibantah oleh Khalisa.
"Benar kata Ibu, Khal. Kamu seharusnya peka situasi dan kondisi. Jangan samakan ujian kuliah dengan ulangan semester semasa SMA. Dania pasti sangat sibuk sekarang. Sebagai seseorang yang lebih dewasa dari Dania, tolonglah kamu harus belajar lebih pengertian." Kendati tanpa intonasi tinggi, lagi-lagi Dion membela ibu dan adiknya.
Meluaskan sabar dalam dada hanya itu yang bisa dilakukan Khalisa saat ini, disusul anggukan tipis. Dalam setiap kesempatan sudah menjadi langganan selalu dirinya yang salah. Juga strata pendidikannya yang tidak mengenyam bangku kuliah seolah menjadi kesenjangan tersendiri di rumah ini, bak jurang kasta pemisah.
Di hati kecilnya, Khalisa ingin Dion sesekali membelanya dan tentu saja itu hanya angan yang meletus di udara. Setiap kali Khalisa mengeluh, alasan berbakti pada orang tua juga alasan penyakit tua Wulan yang Dion lemparkan padanya selalu berhasil memukul mundur keinginan menyuarakan pendapat, membuatnya kalah. Baginya yang tumbuh di panti serba kekurangan tanpa pernah memiliki orang tua, sangat menghargai sosok Wulan sebagai orang tua Dion kendati bak menelan bara dalam sekam.
"Maaf, Bu. Aku salah. Kalau begitu, Ibu mau sarapan apa? Aku siapkan," tawar Khalisa tetap dengan senyuman meski sembari menahan sebah dalam dada.
"Kalau memasak pasti lama. Beli saja sarapannya. Ibu lagi kepingin makan ketupat sayur Bu Marsih yang dijual di ujung jalan. Cepat ya, jangan lelet," titah Wulan seenaknya seraya melenggang pergi. Tak peduli dengan air muka Khalisa yang kian tertekan mendengar nama Bu Marsih.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
Iriana Sudesy
pengen rasanya kudoakan kena stroke wahai dirimu ibu mertua yg kejam...
2024-01-08
1
Yantisejati
sabar ya khal semua pasti indah pd waktunya
2023-04-16
2
‼️n
Oalah...istri apa pembantu....seenak jidat main suruhsuruh
2023-01-12
0