Khalisa Bab 7. Racun Tersembunyi
Cilacap, sama sekali bukan tempat yang dituju mobil Dion. Avanza merah hati itu mengambil jalur masih di dalam Kota Bandung, berbelok ke kawasan perumahan mewah. Kendaraan milik Dion berhenti di depan sebuah hunian yang terbilang megah. Rumah berpagar tinggi bercat putih bersih.
Rumah tersebut tampak ramai. Halaman yang merupakan garasi beserta taman didekorasi indah menggunakan kain satin gold juga rangkaian bunga-bungaan. Meja-meja dan kursi pun ditata, sepertinya kediaman tersebut hendak menyelenggarakan acara penting.
Gerbang pagar didorong terbuka oleh salah satu ART rumah tersebut. Tak lama kemudian, dari dalam muncul seorang wanita berambut pendek berperut buncit, menyambut gembira kedatangan Dion sekeluarga sembari mengelusi perutnya. Wulan yang lebih dulu turun, berderap antusias penuh semangat.
“Halo, Amanda, Gimana kabarnya?” tanya Wulan setelah berpelukan sebelumnya. Nada bicaranya begitu manis mendayu, mengalahkan gula-gula kapas.
“Aku tidak begitu baik, Bu. Tidurku mulai tak nyaman. Dedeknya kangen Papanya terus,” cicitnya mengeluh, melirik penuh arti pada Dion.
“Hei, Sayang. Tiga hari ini aku bakal di sini terus. Jangan cemberut gitu.” Dion merangkul dan mengecup mesra pipi wanita bernama Amanda itu, ikut mengelusi perut buncitnya.
“Tuh kan, dedeknya nendang pas dielusi Papanya. Dia kangen banget kayaknya, habisnya ditinggal-tinggal terus,” rajuknya manja.
“Halo anak Papa yang nanti malam mau dibuatkan pesta, baik-baik di dalam sana ya.”
“Kenapa jadi pada ngobrol di luar? Ayo masuk.” Seorang wanita berperawakan tambun usia enam puluhan yang tampilannya bak toko mas berjalan muncul dari dalam. Wulan bersemangat menghampiri, saling berpelukan, menyapa semringah.
“Jeng Kinara, makin muda dan cantik saja,” puji Wulan yang sebenarnya tidak sesuai fakta. Meluncur ringan dari mulutnya.
“Ah, besan bisa saja. Saya punya vitamin mahal yang diresepkan dokter kulit. Nanti saya bagi dua sama Bu Wulan.”
Dania yang sejak turun tadi tak tertarik berinteraksi dengan orang-orang di rumah itu, melirik sekilas kemudian bergumam pelan. “Hih, cantik apanya?” ujarnya sembari geleng-geleng kepala. “Bikin merinding juga.”
Dania kembali melanjutkan permainan game Candy Crush, duduk mepet di ujung teras. Memilih tak peduli dengan basa basi Wulan juga Kinara, maupun interaksi Amanda yang menempeli kakaknya bak lintah.
“Bu Bos,” sapa Dion begitu ramah pada Kinara.
“Hei, panggil Mami saja, ini bukan di showroom.” Setali tiga uang, ternyata wanita tambun itu adalah bosnya Dion. Pemilik beberapa showroom besar di Kota Bandung juga beberapa koperasi simpan pinjam. Yang sebetulnya merupakan praktik rentenir pemeras rakyat kecil, yang dikamuflase disamarkan di balik nama koperasi.
“Jadi kapan aku boleh ikut pindah ke rumah Mas? Masa di kehamilan yang sudah menjelang memasuki trimester tiga ditinggal-tinggal terus. Atau Mas saja yang pindah ke sini, gimana? Rumah ini dibuatkan Mami atas namaku, jadi berarti rumahmu juga.”
“Ibu juga inginnya Manda segera ikut ke rumah. Biar bisa ikut merawat dan jagain mantu sama cucu Ibu nantinya. Tapi rumah Ibu tidak seluas dan semewah rumah Manda, gimana, Jeng Kinara?” Wulan ikut bersuara kembali.
“Kalau saya terserah Manda saja. Apa pun yang Manda inginkan akan selalu saya penuhi dan dapatkan. Yang penting anak saya satu-satunya ini bahagia,” sahut Kinara tegas.
“Aku tidak keberatan kok, Mi, Bu. yang penting bisa sama-sama terus sama Mas Dion. ART juga bisa bawa beberapa dari sini. Cuma tentang istri pertama Mas Dion itu gimana? Memangnya sudah diberi tahu tentang pernikahan kita? Aku takut nanti dia malah jahatin aku dan anak kita.” kini Amanda balik bertanya pada Dion.
Bergelayut manja. Amanda kentara amat memuja Dion. Maklum saja, Dion masuk hitungan kategori tampan rupawan, sedangkan Amanda termasuk yang biasa-biasa saja. Andai boleh dibandingkan, parasnya amat jauh dengan Khalisa yang ayu dan jelita.
Dania refleks berakting muntah-muntah menghadap pojok teras yang tak begitu kentara menyaksikan adegan tersebut. “Huekkk, bucin!” umpatnya.
“Kita memang berniat membicarakan hal ini juga. Sudah saatnya Manda ikut Dion ke rumah, biar bisa terus bersama-sama menyambut momen kelahiran bayi kalian. Mengenai Khalisa, biar Ibu yang urus. Dia tidak punya tempat untuk pergi andai menentang pernikahan kalian, enggak akan berani macam-macam, dia itu penakut. Jadi jangan khawatir. Perihal ART juga jangan banyak-banyak, bawa satu saja. Nanti Khalisa jadi enggak ada kerjanya.” sahut Wulan lugas.
Tak ada setitik pun rasa berdosa telah memerah Khalisa dan kini menusuknya. Memandang sebelah mata, hanya karena cela noda yang Khalisa pun tak pernah menginginkannya. Khalisa terkena getahnya yang ternyata terus menempelinya sejak dia bisa mengingat hingga sekarang. Bak gelar juga titel yang kerap dipandang miring, yang memang seolah menjadi tolok ukur para manusia berpikiran sempit dalam memperlakukan sesamanya padahal sama-sama manusia. Merasa diri paling benar tak memiliki dosa.
Dua jam selepas keberangkatan Dion, Khalisa menghela napas sedih lantaran tidak diajak pergi. Namun, sejurus kemudian dia tersenyum merekah. Berjingkrak gembira.
“Selama tiga hari ini berarti aku bebas dari acara masak-memasak tiga kali sehari. Cuma masak buat Afkar saja. Ah senangnya bisa bersantai, punggungku pegal bukan main terus-terusan beraktivitas tiada henti,” cicitnya ceria.
Merogoh saku bajunya, senyum Khalisa kian mengembang. Ini adalah momen langka, di mana Wulan memberinya uang belanja untuknya juga Afkar sebesar 150 ribu rupiah. Nominal yang bagi Khalisa cukup besar.
Duduk bersandar, Khalisa tampak menimbang-nimbang. “Duh, kangen bakso di Ciroyom yang dekat Martabak Andir,” ujarnya nyaris meneteskan liur.
“Terakhir makan bakso di sana sewaktu hamil Afkar. Apa makan malam kali ini, aku ke sana saja ya? Makan bakso di sana, terus buat Afkar bisa beli bubur ayam kampung dekat kedai bakso. Afkar belum pernah dibelikan bubur itu yang katanya bubur sehat,” gumamnya sembari membolak-balikan tiga lembar uang lima puluh ribuan penuh sukacita.
Menghampiri Afkar yang sedang asyik bermain mobil-mobilan usang. Khalisa meraup sang anak dan mendudukkannya di pangkuan. “Afkar, sebentar lagi mandi sore ya. Kita jalan-jalan, digendong sama Bunda, naik angkot. Mau?” ujarnya gembira.
Si bocah tampan itu mengangguk antusias, bertepuk tangan. Sebetulnya bukan kata jalan-jalan yang menarik perhatiannya, tetapi kalimat 'digendong sama Bunda' yang selalu menjadi favoritnya. “Mau, mau,” sahutnya senang.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
Syarifah Ainun
hadeeeeee... khalisa bisa g ganti peran
2024-11-13
0
Ita Mariyanti
🥺🥺🥺🥺🥺 kasian e ...... afkar jd korban jg
2023-12-29
0
Ita Mariyanti
wong yoo pny anak perempuan kq g mkir py nek anak nya tar d sakiti suami nya kek gt..... ati2 karma otw Wul... Wulan 😁😁😁
2023-12-29
0